Jumat, 21 September 2012

IC 08 In Diary



Pagi nan cerah dengan nyanyian alam yang tak pernah jenuh untuk menghibur, pancaran sang mentari sesekali memancarkan cahaya yang menggelitik mata, kesegaran tetesan embun pagi masih terasa aroma kealamiahannya. Rerumputan bergoyang dengan sentuhan musik sang bayu, menambah kekagumanku akan indahnya alam ini. Burung-burung menari riang  dibawah kapas putih nan lembut, menyampaikan pesan cinta tuk seorang pejuang ilmu.
Ini adalah hari pertamaku menduduki bangku kuliah. Aku bersama teman-teman berkumpul di sebuah lokal setelah mendengarkan kuliah umum. Masih teringat olehku wajah-wajah lugu yang mengisi ruangan saat itu. Kepala botak kaum adam mantan OPAK itu belum tumbuh dengan  sempurna. Kaum hawa pun tampak malu-malu saat berhadapan dengan insan yang baru dikenal.  Meski tampak lugu, namun rasa kebersamaan seakan membuka tabir ketidak kenalan antara kami. Hari itu adalah hari ta’aruf dan pemilihan kosma dikelasku. Aku berusaha mengenali temanku satu-persatu, setidaknya aku tahu nama dan asal mereka. Mereka datang dengan background kehidupan yang berbeda, almamater sekolah dan karakter yang berbeda pula. Begitu semangat dan optimisnya mereka mengawali medan yang sangat berat ini, serasa seorang laskar yang siap berperang dengan pedang dan panahnya. “We can if we think we can”, inilah semboyan yang dijadikan pemicu dalam menempuh perjuangan.
Teman-teman bagaimana kalau hari ini kita adakan pemilihan kosma, biar kelas kita ada yang menghendel” ajak Fadli mengawali pembicaraan.
Fadly adalah salah seorang temanku yang bergelar Lc. Eeeits, bukan alumni Al-Azhar Mesir lho, tapi Lulusan Canduang, sebuah Madrasah Aliyah yang berada di daerah ku, hehehe.
wah ide bagus tu..” semuanya setuju dan meminta siapa yang bersedia menjadi ketua. Menurutku Fadly adalah sosok yang pantas dijadikan kosma saat itu. Selain kritis dia juga berani dan berpengalaman dalam kepemimpinan. Akhirnya setelah mengadakan pemilihan, suara terbanyak jatuh kepada Fadly dan dia sah menjadi kosma perdana kami.
******

vie..cepetan, udah jam berapa nie!” teriak teman-temanku dari teras depan.
okey fren..sebentar aku ngambil sepatu dulu..” aku bergegas lari kearah mereka. Beberapa menit kemudian kami sudah sampai di sebuah gedung yang berada tak jauh dari tempat kos. Gedung yang lumayan besar, terdiri dari dua lantai dan beberapa kelas yang luas. Di depannya tumbuh pepohonan yang rindang memberikan kesan kedamaian saat kita berteduh di bawahnya. Seperti biasa aku selalu duduk-duduk di bawah pohon ini menunggu dosen datang. Hanya untuk sekedar bercerita, saling bercanda dan tertawa.
Tak lama muncul seorang laki-laki bertubuh tegap dan tinggi. Sepertinya ini dosen yang ku tunggu-tunggu.
 ini semester berapa?”  beliau bertanya  dengan suara tegas.
 semester satu pak, eh..ustadz” dengan terbata-bata aku menjawab.
“saya adalah dosen kalian, kita belajar sekarang” sembari melangkah menuju kelas dan kami mengikuti dari belakang.
 Vi,geser donk, aku duduk disamping kamu aja” Sambil meluruskan posisi duduk Ririn kembali berbisik diteligaku, “Vivi,nama dosen kita tu siapa…?”
“tadi waktu aku liat di jadwal, kalau g’ salah sie nama beliau ustadz Herman. Emank kenapa Rin..?”
Belum sempat temanku menjawab, pembicaraan kami terputus saat mendengar dosenku mengucapkan salam. Awalnya terkesan olehku pak Herman adalah sosok  dosen yang serius dan sedikit killer. Eh ternyata dugaanku salah, Beliau sangat baik, pengertian dan super pintar alias cerdas bin jenius. Kecerdasan intelektual beliau tidak perlu diragukan lagi. Bahasa Arab oke, hapalan Al-qur’an lancar, Structure ngewes. Nggak salah kalau waktu itu aku ngefens sama beliau..heeheee.

******
ma’dziratan ya thalabah, ji’tu ana muta’akhkhiran” sambil tersenyum pak Herman meminta ma’af atas keterlambatan beliau. Meski telah menunggu lama, namun kami sangat senang atas kedatangan dosen pintar dan jenius seperti beliau.
ayuhaa..madza ‘indana-l-yaum?”
 indana-l-yaum almuhadatsah
Lalu Beliau  menuliskan sebuah teks percakapan berbahasa arab dan meminta kami mempraktekkannya. Setiap kali praktek di depan kelas, kami dipanggil berpasangan putra dan putri, sehingga kami sedikit malu-malu dan kadang ada saja yang dijadikan bahan lelucon dan ketawa. Namun dari sinilah keakraban antara kami semakin terjalin dan rasa kekeluargaan itu kian erat.
wal an taqaddam ila-l-amam Alviany ma’a Rendi Saputra” aku kaget saat namaku dipanggil. Aku diminta mempraktekkan percakapan di depan kelas bersama Rendi. Dia adalah temanku yang paling care diantara teman-teman pria, rame dan mudah bergaul. Orangnya memang agak nyleneh dengan rambutnya yang kadang gondrong seperti changcuter, tapi dia baik dan perhatian. Kami sama-sama jebolan pondok pesantren di Pulau Jawa, sehingga aku dan Rendi tidak begitu canggung berteman karena lahir dari satu almamater.
Rendi juga tergolong usil di kelasku, sehingga tak jarang aku dan teman-teman menjadi sasaran keusilannya. Bahkan dialah orang pertama yang memberi gelar trio kwek-kwek kepadaku, Zahra, dan Ririn. Pada saat itu kami bertiga memang berteman dekat bahkan sangat dekat. Selain karena tinggal satu kamar, kami juga merasa satu ide dan sama-sama suka musik. Waktuku lebih sering kuhabiskan bertiga, kemana-mana bertiga, sehingga tak sedikit teman-teman menyebut kami trio macan, trio kwek-kwek atau tiga diva.
Meskipun aku, Ririn, dan Zahra berteman dekat, namun hubungan kami dengan teman-teman yang lain tetap terjalin dengan baik, seolah berwujud keluarga.  Terasa dekat jiwa ini meski tak sedarah. Bersatu dalam miliu wihdatul khoshah.
Bersambung.......

0 comments:

Posting Komentar