Pagi nan cerah
dengan nyanyian alam yang tak pernah jenuh untuk menghibur, pancaran sang
mentari sesekali memancarkan cahaya yang menggelitik mata, kesegaran tetesan
embun pagi masih terasa aroma kealamiahannya. Rerumputan bergoyang dengan sentuhan
musik sang bayu, menambah kekagumanku akan indahnya alam ini. Burung-burung
menari riang dibawah kapas putih nan
lembut, menyampaikan pesan cinta tuk seorang pejuang ilmu.
Ini adalah hari
pertamaku menduduki bangku kuliah. Aku bersama teman-teman berkumpul di sebuah
lokal setelah mendengarkan kuliah umum. Masih teringat olehku wajah-wajah lugu
yang mengisi ruangan saat itu. Kepala botak kaum adam mantan OPAK itu belum
tumbuh dengan sempurna. Kaum hawa pun
tampak malu-malu saat berhadapan dengan insan yang baru dikenal. Meski tampak lugu, namun rasa kebersamaan
seakan membuka tabir ketidak kenalan antara kami. Hari itu adalah hari ta’aruf
dan pemilihan kosma dikelasku. Aku berusaha mengenali temanku satu-persatu,
setidaknya aku tahu nama dan asal mereka. Mereka datang dengan background
kehidupan yang berbeda, almamater sekolah dan karakter yang berbeda pula.
Begitu semangat dan optimisnya mereka mengawali medan yang sangat berat ini, serasa
seorang laskar yang siap berperang dengan pedang dan panahnya. “We can if we
think we can”, inilah semboyan yang dijadikan pemicu dalam menempuh
perjuangan.
“Teman-teman bagaimana kalau hari
ini kita adakan pemilihan kosma, biar kelas kita ada yang menghendel” ajak
Fadli mengawali pembicaraan.
Fadly adalah salah seorang
temanku yang bergelar Lc. Eeeits, bukan alumni Al-Azhar Mesir lho, tapi Lulusan
Canduang, sebuah Madrasah Aliyah yang berada di daerah ku, hehehe.
“wah ide bagus tu..” semuanya
setuju dan meminta siapa yang bersedia menjadi ketua. Menurutku Fadly adalah
sosok yang pantas dijadikan kosma saat itu. Selain kritis dia juga berani dan
berpengalaman dalam kepemimpinan. Akhirnya setelah mengadakan pemilihan, suara
terbanyak jatuh kepada Fadly dan dia sah menjadi kosma perdana kami.
******
“vie..cepetan, udah jam berapa
nie!” teriak teman-temanku dari teras depan.
“okey fren..sebentar aku
ngambil sepatu dulu..” aku bergegas lari kearah mereka. Beberapa menit
kemudian kami sudah sampai di sebuah gedung yang berada tak jauh dari tempat
kos. Gedung yang lumayan besar, terdiri dari dua lantai dan beberapa kelas yang
luas. Di depannya tumbuh pepohonan yang rindang memberikan kesan kedamaian saat
kita berteduh di bawahnya. Seperti biasa aku selalu duduk-duduk di bawah pohon
ini menunggu dosen datang. Hanya untuk sekedar bercerita, saling bercanda dan
tertawa.
Tak lama muncul seorang laki-laki
bertubuh tegap dan tinggi. Sepertinya ini dosen yang ku tunggu-tunggu.
“ini semester berapa?” beliau bertanya dengan suara tegas.
“semester satu pak, eh..ustadz” dengan
terbata-bata aku menjawab.
“saya adalah dosen kalian,
kita belajar sekarang” sembari melangkah menuju kelas dan kami mengikuti
dari belakang.
”Vi,geser donk, aku duduk disamping kamu
aja” Sambil meluruskan posisi duduk Ririn kembali berbisik diteligaku, “Vivi,nama
dosen kita tu siapa…?”
“tadi waktu aku liat di
jadwal, kalau g’ salah sie nama beliau ustadz Herman. Emank kenapa Rin..?”
Belum sempat temanku menjawab, pembicaraan
kami terputus saat mendengar dosenku mengucapkan salam. Awalnya terkesan olehku
pak Herman adalah sosok dosen yang
serius dan sedikit killer. Eh ternyata dugaanku salah, Beliau sangat baik,
pengertian dan super pintar alias cerdas bin jenius. Kecerdasan intelektual
beliau tidak perlu diragukan lagi. Bahasa Arab oke, hapalan Al-qur’an lancar,
Structure ngewes. Nggak salah kalau waktu itu aku ngefens sama
beliau..heeheee.
******
“ma’dziratan ya thalabah,
ji’tu ana muta’akhkhiran” sambil tersenyum pak Herman meminta ma’af atas
keterlambatan beliau. Meski telah menunggu lama,
namun kami sangat senang atas kedatangan dosen pintar dan jenius seperti
beliau.
“ayuhaa..madza
‘indana-l-yaum?”
“indana-l-yaum almuhadatsah”
Lalu
Beliau menuliskan sebuah teks percakapan
berbahasa arab dan meminta kami mempraktekkannya. Setiap kali praktek di depan
kelas, kami dipanggil berpasangan putra dan putri, sehingga kami sedikit
malu-malu dan kadang ada saja yang dijadikan bahan lelucon dan ketawa. Namun
dari sinilah keakraban antara kami semakin terjalin dan rasa kekeluargaan itu
kian erat.
” wal an
taqaddam ila-l-amam Alviany ma’a Rendi Saputra” aku kaget saat namaku
dipanggil. Aku diminta mempraktekkan percakapan di depan kelas bersama Rendi.
Dia adalah temanku yang paling care diantara teman-teman pria, rame dan mudah
bergaul. Orangnya memang agak nyleneh dengan rambutnya yang kadang gondrong
seperti changcuter, tapi dia baik dan perhatian. Kami sama-sama jebolan pondok
pesantren di Pulau Jawa, sehingga aku dan Rendi tidak begitu canggung berteman
karena lahir dari satu almamater.
Rendi
juga tergolong usil di kelasku, sehingga tak jarang aku dan teman-teman menjadi
sasaran keusilannya. Bahkan dialah orang pertama yang memberi gelar trio
kwek-kwek kepadaku, Zahra, dan Ririn. Pada saat itu kami bertiga memang
berteman dekat bahkan sangat dekat. Selain karena tinggal satu kamar, kami juga
merasa satu ide dan sama-sama suka musik. Waktuku lebih sering kuhabiskan
bertiga, kemana-mana bertiga, sehingga tak sedikit teman-teman menyebut kami
trio macan, trio kwek-kwek atau tiga diva.
Meskipun
aku, Ririn, dan Zahra berteman dekat, namun hubungan kami dengan teman-teman
yang lain tetap terjalin dengan baik, seolah berwujud keluarga. Terasa dekat jiwa ini meski tak sedarah.
Bersatu dalam miliu wihdatul khoshah.
Bersambung.......
0 comments:
Posting Komentar