This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 30 Januari 2014

Kesetaraan Gender dalam Pelestarian Lingkungan Perspektif Al-Qur’an

Pendahuluan

Islam sangat mengedepankan sifat positif terhadap lingkungan, karena lingkungan merupakan makhluk Tuhan yang harus dilestarikan dan tidak boleh dirusak serta dieksploitasi. Sebagaimana Ali Syariati berpendapat bahwa manusia tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan, dikarenakan seluruh realitas yang ada merupakan satu kesatuan, satu kehidupan dan satu tatanan yang memiliki kehendak, pikiran dan tujuan yang sama.[1]

Namun tidak dapat disangkal bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini, baik pada lingkup global maupun lingkup nasional, sebagian besar bersumber dari perilaku manusia. Kasus-kasus pencemaran dan kerusakan seperti di laut, hutan, atmosfer, air, tanah, dan seterusnya bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri.[2] Sonny Keraf dalam bukunya “Etika Lingkungan Hidup” menyatakan bahwa krisis lingkungan hidup yang terjadi akhir-akhir ini berakar pada kesalahan cara pandang manusia tentang dirinya, alam dan hubungan antara manusia dengan alam. Oleh karena itu, krisis lingkungan hidup bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia.[3]

Salah satu paradigma yang menarik dalam melihat masalah kerusakan lingkungan adalah paradigma ekofeminis yang memandang faktor kerusakan lingkungan dari perspektif gender. Dimana para tokohnya seperti Jean Shinoda Bolen, Nawal Amar dan Carolyn Merchant berpendapat bahwa hipermaskulinitas laki-laki dalam mengelola lingkungan adalah salah satu faktor dominan penyebab kerusakan lingkungan.[4]

Aliran ini lahir dari keprihatinan mereka terhadap isu kerusakan lingkungan yang mereka anggap memiliki korelasi dengan perlakuan diskriminatif yang dialami kaum perempuan. Atas dasar ini, ekofeminisme merupakan salah satu tawaran alternatif mengenai masalah tersebut. Karena ekofeminisme merupakan sebuah bentuk etika lingkungan hidup yang menawarkan sebuah telaah kritis atas akar dari semua krisis lingkungan hidup dewasa ini. Ekofeminisme juga menawarkan visi-visi alternatif masa depan yang lebih ramah lingkungan.[5]

Tulisan ini berusaha mengemukakan mengenai keterkaitan antara manusia dengan alam, ekofeminisme, dan tanggung jawab manusia baik laki-laki maupun perempuan untuk menjaga lingkungan dalam perspektif Al-Qur’an.

 

B.     Interaksi Manusia dan Lingkungan Alam

Semenjak manusia purba hingga zaman modern sekarang ini, pada prinsipnya hanya ada tiga pola hubungan manusia, yaitu: pertama, hubungan manusia dengan Tuhan sepenuhnya diatur oleh ajaran agama. Kedua, hubungan manusia dengan sesama manusia sebagian diatur agama dan sebagian diatur manusia sendiri sesuai dengan keperluan dan kemashlahatan yang ingin dicapai. Ketiga, hubungan manusia dengan alam, sepenuhnya diatur oleh alam karena alam memiliki aturan-aturan tertentu yang disebut qadar atau sunnatullah; hubungan ini baru memerlukan aturan Tuhan jika sudah menyentuh hubungan manusia dengan manusia.[6]

Hubungan antara manusia dengan alam bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukan atau antara yang menundukkan dan yang ditundukkan, tetapi hubungan tersebut merupakan hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah Swt. Sebagai khalifah, manusia ditugaskan membangun dan memakmurkan.[7] Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam. Interaksi ini bersifat harmonis sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera dalam ayat-ayat-Nya, dan yang harus ditemukan kandungannya oleh manusia dengan mempertimbangkan perkembangan dan situasi lingkungannya.[8]

Leenen berpendapat bahwa manusia adalah sebagian dari ekosistem. Manusia adalah pengelola dari sistem tersebut. Kerusakan lingkungan adalah pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah akibat dari ambiguitas tindakan manusia. Manusia telah memasukkan alam dalam kehidupan budayanya, akan tetapi ia nyaris lupa, bahwa ia sendiri sekaligus merupakan bagian dari alam dimana ia hidup. Dengan demikian manusia ternyata tidak hanya bertindak sebagai penguasa terhadap alam, akan tetapi sebagai pengabdinya. Dengan kekuasaannya atas alam ia tidak dapat melepaskan diri dari ketergantungannya kepada alam. Kehidupan manusia memuat dalam dirinya sebagian alam dan ketergantungan kepada lingkungan materil. Manusia mempengaruhi alam, alam mempengaruhi manusia. Dengan demikian, alam dimasukkan dalam evolusi manusia dan sebaliknya.[9]

Alam merupakan unsur lingkungan hidup yang merupakan ciptaan Allah.[10] Dari alam itu akan terpecah lagi menjadi beberapa unsur lainnya yaitu berupa air, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Semua itu merupakan perwujudan lingkungan hidup yang diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia dalam mengembangkan potensi yang diberikan kepadanya. Karena itu anggapan bahwa manusia adalah  makhluk yang paling berkuasa tidaklah benar. Seyogyanya kita menyadari bahwa kitalah yang membutuhkan makhluk hidup yang lain untuk kelangsungan hidup kita.[11]

Memang tanpa bumi, tanah, langit, benda angkasa, udara, air, laut, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan berbagai sumber daya alam lainnya, umat manusia tidak akan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kehidupan manusia sangat bergantung kepada dukungan lingkungannya.[12] Oleh sebab itu, manusia diharapkan dapat memahami ketentuan-ketentuan yang terdapat pada alam. Karena sesungguhnya alam semesta ini diciptakan Allah untuk kepentingan manusia. Sebagaimana firman Allah:

uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ   [13]

 

M.Quraish Shihab mengatakan bahwa alam raya ini telah diciptakan Allah dalam satu sistem yang sangat serasi dan sesuai dengan kehidupan manusia. Tetapi manusia melakukan kegiatan buruk yang merusak, sehingga terjadi kepincangan dan ketidak seimbangan dalam sistem kerja alam. Dia menegaskan bahwa kerusakan-kerusakan yang ada di bumi karena perbuatan manusia yang durhaka. Akibatnya Allah memberikan balasan kepada sebagian manusia akibat dari perbuatan dan pelanggaran mereka sebagai khalifah, agar kembali ke jalan yang benar. [14]

Berbicara tentang amanat yang diemban oleh manusia sebagai makhluk Tuhan yang diberikan tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan alam, Hamka mengatakan bahwa Allah telah mengirim manusia ke bumi adalah semata-mata untuk menjadi khalifah Allah. Oleh karena itu menjadi khalifah fi al-ard} hendaklah menjadi mus}lih} yakni suka memperbaiki dan memperindah.[15] Bukan melakukan kerusakan dan pencemaran, karena dalam Al-Qur’an telah jelas Allah melarang manusia berbuat kerusakan dan ketidakseimbangan terhadap alam. Sebagaimana firman Allah: 

Ÿwur (#rßÅ¡øÿè? Îû ÇÚöF{$# y÷èt/ $ygÅs»n=ô¹Î) çnqãã÷Š$#ur $]ùöqyz $·èyJsÛur 4 ¨bÎ) |MuH÷qu «!$# Ò=ƒÌs% šÆÏiB tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÎÏÈ [16]

 

 

Dalam menjelaskan pengertian fasad dalam ayat ini, Muhammad Abdul Qadir al-Faqqi mengutip beberapa pendapat ulama dari tafsir Al-Jami’ li ahkam Al-Qur’an karya Al-Qurthubi. Diantara mereka ada yang menafsirkan fasad dengan syirik, ada juga yang menafsirkannya dengan kekeringan dan kurangnya tumbuh-tumbuhan serta hilangnya berkat, meningkatkan harga dan sedikitnya sumber penghidupan. Namun maknanya semua hampir sama, berkisar pada melakukan maksiat dan kezhaliman. Menurut Al-Faqqi, makna al-fasad juga dapat mengungkapkan perusakan yang terjadi di lingkungan akibat campur tangan manusia sendiri.[17]

Allah menganugerahkan kuasa atas ciptaan pada manusia, bukan sebagai hak absolut untuk bertindak sesukanya, melainkan sebagai ujian akan ketaatan, kesetiaan, dan syukur mereka kepada Allah. Manusia hanya diberi kekuasaan atas alam sebagai pengelola, pemelihara dan pemakmur. Merusak alam berarti melanggar kehendak Allah, memperhatikannya berarti memenuhi kehendak Allah.[18] Dari perspektif ini kedudukan manusia sebagai wakil berarti melaksanakan perhatian yang bertanggung jawab atas lingkungan, tidak dengan merusak atau mengeksploitasinya.

 

C.    Ekofeminisme, Cara Pandang Baru dalam Konservasi Lingkungan

Ekofeminisme merupakan sebuah bentuk telaah etika lingkungan hidup yang ingin menggugat dan mendobrak cara pandang dominan yang berlaku dalam masyarakat modern dan sekaligus menawarkan sebuah cara pandang dan perilaku baru untuk mengatasi krisis lingkungan hidup sekarang ini. Ekofeminisme menawarkan sebuah telaah kritis atas akar dari semua krisis lingkungan hidup dewasa ini.[19] Ekofeminisme adalah varian yang relatif baru dari etika ekologis. Teori ekofeminisme merupakan teori yang melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya. Aliran ekofeminis ini terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu: ekofeminis radikal, liberal dan sosial.

Ekofeminisme adalah sebuah istilah baru untuk gagasan lama yang tumbuh dari berbagai gerakan sosial yakni gerakan feminis, perdamaian dan ekologi.[20] Istilah ini dilontarkan pertama kali tahun 1974 oleh seorang tokoh feminis Perancis Francoise d’Eaubonne, dalam buku Le Feminisme ou La Mort. Dalam karyanya ini Francoise d’ Eaubonne mencoba menggugah kesadaran manusia, khususnya kaum perempuan, akan potensi perempuan untuk melakukan sebuah revolusi ekologis dalam menyelamatkan lingkungan hidup.[21] Sehingga ekofeminisme memiliki nilai lebih karena tidak hanya memfokuskan diri pada subordinasi perempuan tetapi juga subordinasi alam-lingkungan (ekosistem) di bawah kepentingan manusia. Dengan demikian, tujuan ekofeminisme adalah sekaligus mengkritisi pilar-pilar modernisme yakni antroposentrisme dan androsentrisme.[22]

Antroposentrisme adalah teori lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat ekosistem. Etika ini memposisikan manusia sebagai supremasi dalam ekosistem.[23] Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian.[24] Dalam paham Antroposentrisme manusia dipahami hanya sebagai makhluk sosial (sosial animal) yang eksistensi dan identitasnya ditentukan oleh milieu komunitas sosialnya sebagaimana dia membentuk komunitasnya. Paham ini mengajarkan manusia bersifat absolutis transcendental (ada di luar secara mutlak) yang berbeda dengan sifat transcendental sisi ajaran Islam.[25]  

Dalam kerangka ekologi, ekofeminisme merupakan sebuah teori dan gerakan etika yang ingin mendobrak etika antroposentrisme yang lebih mengutamakan manusia daripada alam. Bahkan yang dilawan oleh ekofeminisme bukan sekedar antroposentrisme, namun ekofeminisme juga melawan androsentrisme. Bagi ekofeminisme, krisis ekologi tidak sekedar disebabkan oleh cara pandang dan perilaku yang antroposentrisme. Krisis ekologi sesungguhnya disebabkan oleh cara pandang dan perilaku yang androsentrisme, cara pandang dan perilaku yang mengutamakan dominasi, manipulasi, dan eksploitasi terhadap alam.[26]

Karen J. Warren menspesifikasi lebih jauh asumsi dasar dari ekofeminisme. Ia mengatakan bahwa: pertama, ada keterkaitan penting antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam. Kedua, pemahaman terhadap alam dalam keterkaitan ini adalah penting untuk mendapatkan pemahaman yang memadai atas opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam. Ketiga, teori dan praktik feminis harus memasukkan perspektif ekologi, dan keempat, pemecahan masalah ekologi harus menyertakan perspektif feminis.[27]

Di sini ekofeminisme melihat adanya suatu hubungan yang sangat penting dan menentukan, baik bersifat historis, empiris, teoritis, maupun simbolis, antara dominasi terhadap perempuan dan dominasi terhadap alam. Bagi ekofeminisme, pemahaman akan hubungan yang erat ini memungkinkan kita untuk memahami krisis ekologi yang terjadi dalam era modern sekarang ini. Oleh karena itu, etika lingkungan hidup apapun yang kita kembangkan tidak akan memadai kalau tidak memasukkan ekofeminisme. Karena kontribusi utama ekofeminisme adalah membantu kita memahami akar permasalahan krisis lingkungan hidup, yang berakar pada dominasi.[28]

Ekofeminisme tidak hanya menawarkan cara pandang yang baru, yang melihat subyek -baik manusia maupun bukan manusia- dalam relasi intersubyektif, dalam konteks kebersamaan yang setara. Ekofeminisme juga menawarkan etika yang lain baik untuk relasi sosial maupun untuk relasi kosmis dengan alam. Dengan terutama mendengar “suara yang lain” dari perempuan dan dengan mempertimbangkan pengalaman dan relasi perempuan secara serius, ekofeminsme menekankan etika yang didasarkan pada nilai-nilai kasih sayang, hubungan yang harmonis, cinta, tanggung jawab, dan saling percaya.[29]

Adapun alasan ekofeminisme menawarkan kasih sayang, harmoni, cinta, tanggung jawab dan saling percaya, karena mengasumsikan bahwa manusia berada dan menjadi dirinya dalam relasi intersubyektif. Ada kesetaraan di antara semua makhluk ekologis yang mendorong manusia untuk mencintai, memelihara dan merawat makhluk lain sebagai sesama anggota komunitas ekologis. Model dari etika kasih sayang ini seperti ibu yang dengan kasih sayangnya merawat bayi, makhluk tak berdaya dan lemah. Kasih sayang ini muncul bukan sebagai prinsip yang diterima secara apriori, tetapi lahir dari relasi yang unik dan kontekstual, tanpa si ibu menuntut balik.

Etika kasih sayang ini juga dianggap berlaku dalam relasi manusia dengan alam dan segala isinya. Kepedulian manusia atas alam muncul bukan sebagai sebuah prinsip abstrak dalam kerangka hak dan kewajiban. Bukan pula muncul sebagai sebuah tuntutan yang lahir dari pertimbangan kepentingan manusia. Etika kepedulian muncul justru dalam relasi manusia dengan alam yang bersifat ontologis dan jauh sama sekali dari pertimbangan ekonomis dan politis. Manusia dan alam ada begitu saja dalam sebuah relasi yang diwarnai oleh kepedulian persis seperti ibu dan anak berada begitu saja dalam sebuah relasi yang diwarnai oleh kasih sayang. Air, tanah, udara, tumbuhan, dan binatang memberikan dirinya, memberi oksigen kehidupan, tanpa pernah menuntut dan mempersoalkan apakah manusia mempedulikan mereka ini adalah hukum alam, hukum kasih sayang dan kepedulian kehidupan yang bekerja secara alamiah demi kehidupan itu sendiri.[30]

Prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam merupakan prinsip yang paling ditekankan oleh ekofeminisme. Sebagai sesama anggota komunitas ekologis yang setara, manusia digugah untuk mencintai, menyayangi dan peduli kepada alam dan seluruh isinya, tanpa diskriminasi dan tanpa dominasi. Kasih sayang dan kepedulian ini juga muncul dari kenyataan bahwa sebagai sesama anggota komunitas ekologis, semua makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, dirawat, dan tidak disakiti. Dalam perspektif DE bahwa semakin mencintai alam, manusia menjadi semakin kaya dan semakin merealisasikan dirinya sebagai pribadi ekologis. Manusia semakin tumbuh berkembang bersama alam, dengan segala watak dan kepribadian yang tenang, damai, penuh kasih sayang, luas wawasannya seluas alam, demokratis seperti alam yang menerima dan mengakomodasi perbedaan dan keragamaan.[31]

Dengan demikian, ekofeminisme secara lebih kuat mampu menerangkan mengapa kesetaraan jender pada akhirnya bukan hanya menguntungkan kaum perempuan, tetapi juga laki-laki. Bila alam lingkungan rusak, semua manusia baik laki-laki maupun perempuan pada akhirnya akan menderita. Sebaliknya, bila alam-lingkungan lestari dan terjaga manusia akan lebih sejahtera.[32]

 

D.    Keterkaitan Gender dan Alam Perspektif Al-Qur’an

Wawasan gender dalam ekologi alam dapat diidentifikasikan dari isyarat berpasangan berbagai makhluk ciptaan Allah. Contoh pasangan yang menjadi representator dari alam raya ini adalah langit dan bumi. Langit diupamakan suami yang menyimpan air dan bumi yang diumpamakan istri yang menerima limpahan air yang nantinya melahirkan janin atau berbagai tumbuh-tumbuhan. Sebagaimana Allah berfirman:

Ïä!$uK¡¡9$#ur ÏN#sŒ Æìô_§9$# ÇÊÊÈ   ÇÚöF{$#ur ÏN#sŒ Æíô¢Á9$# [33]ÇÊËÈ  

Mengingat ekologi alam adalah cakupan ilmu yang sangat luas, maka perlu diberikan suatu pengertian tentang makna gender dalam ekologi alam itu sendiri. Secara umum indikasi adanya identitas gender bagi ekologi alam di dalam al-Qur’an dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1.       Identitas gender dalam keberpasangan secara biologis.

Salah satu contoh tentang keberpasangan tiap makhluk ciptaan Allah terdapat dalam surat Ya>sin ayat 36:

z`»ysö6ß Ï%©!$# t,n=y{ ylºurøF{$# $yg¯=à2 $£JÏB àMÎ7/Yè? ÞÚöF{$# ô`ÏBur óOÎgÅ¡àÿRr& $£JÏBur Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÏÈ [34] 

Ayat di atas menjelaskan bahwa seluruh makhluk diciptakan berpasang-pasangan. Penunjukan keberpasangan seluruh makhluk di alam raya ini diantaranya dapat diketahui dari isyarat al-Qur’an yang menggunakan kata jawj (pasangan). Arti zawj dalam al-Qur’an sangat luas, mencakup berbagai jenis pasangan yang ada di alam raya. Pada jenis manusia Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, begitu juga pada seluruh makhluk ciptaan Allah yang belum diketahui manusia.[35]

2.       Identitas gender dengan karakter maskulin dan feminim pada suatu makhluk.

Dalam penunjukkan identitas gender berdasarkan segi karakter feminim dan maskulin yang dimiliki, ada lima jenis pasangan makhluk yang diungkapkan Al-Qur’an, yaitu pasangan: langit dan bumi, daratan dan lautan, matahari dan bulan, awan dan angin, api dan air. Keseluruhan pasangan yang dijadikan contoh ini pada umumya menunjukkan identitas gender dalam hal keberpasangan dalam karakter yang koperatif dan komplementer.

Disini akan dipaparkan salah contoh pasangan yang sering disandingkan secara bersamaan dalam penyebutannya sebagai suatu indikasi keberpasangan, sekaligus indikasi adanya wawasan gender yang diisyaratkan al-Qur’an, yaitu langit dan bumi. Al-Qur’an mengisyaratkan langit memiliki keseimbangan karakter feminim dan maskulin. Karakter maskulin pada langit terlacak dari karakter dari posisinya yang di atas serta potensi informatifnya sebagai sumber sains, serta produktifitas langit yang merupakan ciri maskulin. Namun selain itu, langit juga memiliki karakter feminim seperti lemah dan senantiasa dijaga, dibina dan patuh terhadap ketentuan Allah yang merupakan indikasi dari karakter feminim.[36]

Isyarat bumi yang memiliki karakter feminim banyak didapati di dalam Al-Qur’an. seperti, bumi diidentikkan dengan ibu karena bumi dinilai memiliki sifat kasih sayang, memberikan kehidupan bagi manusia tanpa meminta balasan, lemah lembut karena memperbolehkan manusia menggunakan berbagai fasilitas yang ada padanya[37], bumi menyenangkan karena berbagai makhluk dapat bernaung dengan tenang di dalamnya,[38] manusia di buat dari bumi/tanah.[39] Berbagai ciri khas tersebut merupakan ciri khas dari karakter feminim. Selain itu Al-Qur’an juga konsisten menggunakan kata ganti/d{ami>r mu’annath pada ayat yang membicarakan tentang bumi.[40]

Namun, bumi juga memiliki karakter maskulin karena bumi menjadi salah satu sumber sains bagi manusia. Bumi juga produktif dalam menghasilkan berbagai kebutuhan hidup manusia. Bumi juga dikatakan sebagai informan sejarah bagi manusia lewat berbagai benda bersejarah yang masih dapat diteliti dan dipelajari manusia. Dari sini dapat diketahui bahwa bumi memiliki keseimbangan karakter feminim dan maskulin dalam dirinya.[41]

Allah mengisyaratkan hal ini dengan berfirman:

Îûur ÇÚöF{$# ÓìsÜÏ% ÔNºuÈq»yftGB ×M»¨Zy_ur ô`ÏiB 5=»uZôãr& ×íöyur ×@ŠÏƒwUur ×b#uq÷ZϹ çŽöxîur 5b#uq÷ZϹ 4s+ó¡ç &ä!$yJÎ/ 7Ïnºur ã@ÅeÒxÿçRur $pk|Õ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ Îû È@à2W{$# 4 ¨bÎ) Îû šÏ9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9  š[42]cqè=É)÷ètƒ  

Ayat di atas mengindikasikan tentang potensi bumi yang sangat produktif dalam menghasilkan berbagai macam jenis tumbuhan, baik yang hasilnya dapat digunakan untuk bahan makanan ataupun jenis tumbuhan yang bermanfaat untuk menopang kebutuhan hidup manusia  yang lain.

Dari sini dapat dipahami bahwa langit dan bumi memiliki keseimbangan karakter feminim dan maskulin. Dikatakan memiliki karakter feminim karena keduanya adalah makhluk ciptaan Allah yang tunduk (pasif) dan senantiasa memberikan kebahagiaan dengan berbagai macam kenikmatan yang bisa didapati manusia darinya (empati). Sedangkan karakter maskulin keduanya adalah bahwa langit dan bumi sama-sama memiliki karakter aktif, sebagai sumber sains dan pusat kehidupan dan perekonomian manusia.[43]

3.       Identitas gender dengan kata ganti (d{ami>r) yang berhubungan dengan jenis kelamin.

Ada dua jenis isim dalam kaidah bahasa arab yang berhubungan dengan jenis kelamin bagi ekologi alam, yaitu isim mudhakkar dan isim mu’annath. Kata ganti (d}ami>r) yang digunakan al-Qur’an dalam pembahasan identitas gender bagi ekologi alam adalah mudhakkar maja>zi dan mu’annath maja>zi>. Seperti kelima contoh pasangan dari sampel ekologi alam yang terdapat dalam al-Qur’an, yaitu: al-sama>’ dan al-ard} (langit dan bumi), al-barr dan al-bah}r (daratan dan lautan), al-shams dan al-qamar (matahari dan bulan), al-ri>h dan al-sah}a>b (awan dan angin), al-na>r dan al-ma>’ (api dan air). Kelima pasangan ini memiliki identitas gender dalam segi kata ganti d{ami>r (pronoun) yang berhubungan dengan jenis kelamin (mudhakkar dan mu’annath).[44]

Dari sini dapat dipahami bahwa fungsi dan tugas dari setiap makhluk bersifat koperatif dan komplementer. Baik manusia dan alam, memiliki keseimbangan karakter feminim dan maskulin dalam diri masing-masing. Bagi manusia, karakter feminim dan maskulin masih merupakan konstruk sosial yang sebenarnya dapat dibentuk melalui pendidikan dan pergaulan dalam lingkungan sosialnya. Namun bagi alam, keseimbangan karakter adalah sebuah konstruk universal, tentang keseimbangan dalam segala hal dan selamanya konstan, karena alam senantiasa patuh dan tidak akan memiliki pretense menyalahi ketentuan ynag telah diciptakan Tuhan.[45]

 

E.     Pandangan Al-Qur’an Mengenai Kesetaraan Gender dalam Pemeliharaan Lingkungan

Terkait pola pikir dan perilaku dominan manusia yang keliru tentang dirinya, alam, dan tempat manusia dalam alam, Islam juga mengharuskan manusia baik laki-laki maupun perempuan untuk memelihara dan mengelola lingkungan secara bersama-sama. Hal tersebut diharuskan karena pada hakikatnya manusia dan alam saling berelasi, sehingga kaum perempuan memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan laki-laki untuk memenuhi kepentingan bersama. Dan secara prinsip dasar al-Qur’an sangat egaliter dan universal terhadap segala persoalan yang terjadi dalam masyarakat.[46]

 Demi  tercapainya misi tersebut, laki-laki dan perempuan seharusnya dapat menjalin usaha melindungi lingkungan secara koperatif dan harmonis, sebagaimana keduanya diciptakan untuk saling melengkapi, menyayangi, mencintai, memberi ketenangan dan kebahagiaan satu sama lain. sebagaimana Firman Allah:

ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ [47] 

Motivasi al-Qur’an kepada umat Islam baik laki-laki dan perempuan untuk hidup harmonis, sekaligus menjadi pribadi yang aktif dan progresif banyak ditemukan dalam Al-Qur’an.[48] Keduanya dideskripsikan sebagai pribadi yang masing-masing memiliki kualitas/karakter feminim dan maskulin dalam dirinya. dengan keseimbangan karakter dan berbagai potensi yang sama-sama dimiliki laki-laki dan perempuan, keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk meraih prestasi dan kesuksesan di dunia dan akhirat.[49]

Allah mengisyaratkan tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam berbuat amal yang terbaik demi menunjang kehidupannya baik di dunia bahkan sampai di akhirat:

ô`tB Ÿ@ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhŠsÛ ( óOßg¨YtƒÌôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$Ÿ2 tbqè=yJ÷ètƒ [50]ÇÒÐÈ  

Dorongan untuk seorang mukmin baik laki-laki dan perempuan untuk secara kontinu berusaha melakukan usaha terbaik dalam hubungan vertikal dan horizontalnya, sangat ditekankan dalam ayat ini. Hubungan harmonis secara vertikal dengan Allah akan menambah rasa iman dan ketenangan dalam kehidupannya. Sedang hubungan secara horizontalnya  kepada sesama manusia dan sesama makhluk Allah lainnya, akan menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera bagi manusia dan alam lingkungannya.

Menurut Nasharuddin Umar, dalam konteks kehidupan sosial ayat di atas mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karier profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal. Meskipun kenyataan dalam masyarakat konsep ideal ini masih membutuhkan proses dan sosialisasi.[51]

Islam menghormati semangat kebersamaan dalam usaha manusia memperbaiki tatanan lingkungan yang rusak. Rekomendasi pemeliharaan lingkungan berwawasan gender ini, dapat ditemukan dalam sejumlah ayat seperti:

Ÿwur (#rßÅ¡øÿè? Îû ÇÚöF{$# y÷èt/ $ygÅs»n=ô¹Î) çnqãã÷Š$#ur $]ùöqyz $·èyJsÛur 4 ¨bÎ) |MuH÷qu «!$# Ò=ƒÌs% šÆÏiB tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÎÏÈ [52] 

Sebagai kitab pedoman hidup, al-Qur’an telah memberikan perhatian yang besar terhadap masalah lingkungan hidup. Kecaman terhadap tindakan fasad di bumi dikemukakan dengan berbagai ungkapan, diantaranya (لاتفسدوا) “janganlah kamu merusak”, (لا تبغ الفساد) “janganlah mencari kerusakan” dan (ولا تعثوا فى الأرض مفسدين) “janganlah kamu berkeliaran di bumi dengan berbuat kerusakan”.[53] Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa Allah sangat melarang manusia baik laki-laki maupun perempuan berbuat serikat kepada Allah dan merusak bumi, melarang berbuat kerusakan dalam bentuk sedikit ataupun banyak.[54]

Selain ayat di atas, Al-Qur’an juga memberikan inspirasi bagi laki-laki dan perempuan yang beriman untuk melakukan perbuatan yang baik. Allah berfirman:

ÆtBur ö@yJ÷ètƒ z`ÏB ÏM»ysÎ=»¢Á9$# `ÏB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB y7Í´¯»s9'ré'sù tbqè=äzôtƒ sp¨Yyfø9$# Ÿwur tbqßJn=ôàム#ZŽÉ)tR ÇÊËÍÈ[55]  

Amal sholeh bagi laki-laki dan perempuan pada ayat di atas, menekankan dimensi iman yang menjadi landasan segala tindakan manusia. Dikarenakan keimanan merupakan titik tolak seluruh kebaikan dan keberuntungan di dunia dan akhirat, dan dengan hilangnya iman berarti hilang pula semua kebaikan di dunia dan akhirat. [56]  Hal ini juga untuk memberikan direksi kepada manusia yang beriman, baik laki-laki dan perempuan untuk menjadi hamba yang sukses dalam kehidupannya yang sementara di dunia dengan tanpa berbuat kerusakan.

 

F.      Kesimpulan

Lingkungan hidup merupakan tanggung jawab semua penduduk di bumi ini. Namun, masih banyak pihak-pihak tertentu yang merusak lingkungan alam ini. Terbukti dengan banyaknya kasus pencemaran dan kerusakan yang terjadi, seperti pencemaran hutan, laut, air, tanah, dan lain-lain. Menyikapi permasalahan lingkungan ini, sebuah gerakan perempuan yaitu ekofeminisme menjadi salah satu tawaran alternatif yang perlu dibahas. Paham ini berusaha membantah paham antroposentrisme dan androsentris.

Ekofeminisme sebagaimana Al-Qur’an tidak membedakan potensi laki-laki dan perempuan. Baik laki-laki dan perempuan digambarkan memiliki fungsi dan potensi yang sama dalam mengamalkan apa yang diajarkan di dalam al-Qur’an termasuk dalam usaha pelestarian lingkungan.

 

Daftar Pustaka

 

Amstrong, Susan J. dan Richard G Botzler (ed). Enviromental Ethics: Divergence and Convergence. New York: McGraw-Hill, 1993.

Astuti, Tri Marhaeni Pudji. Ekofeminisme dan Peran Perempuan dalam Lingkungan. Indonesian Journal of Conservation, Vol. 1 No.1, Juni 2013.

Febriani, Nur Arfiyah. Ekologi Berwawasan Gender Dalam Perspektif Al-Qur’an. Tangerang: YPM, 2011.

Hamka, Tafsir Al-Azhar. Jilid X. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.

Husain, Muhammad. Fiqh Perempuan:Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKiS, 2001.

K, Rachmad. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.

Keraf, Sonny. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas, 2010.

Khaeroni, Cahaya. Konsep Ekofeminisme Vandana Shiva dan Implikasinya pada Pengembangan Paradigma Pendidikan Agama Islam Inklusif Gender Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009.

Mufid, Sofyan Anwar. Islam dan Ekologi Manusia. Bandung: Nuansa, 2010), 278.

Mujiyono. Teologi Lingkungan Islam. Disertasi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2001.

Nata, Abuddin, Dkk. Kajian Tematik Al-Qur’an tentang Konstruksi Sosial. Bandung: Angkasa, 2008.

Nurjanah, Siti. Konsep Al-Qur’an tentang Lingkungan Hidup dan Kaitannya dengan Perundang-Undangan Indonesia. Tesis. Jakarta: UIN Syarifhidayatullah,1999.

Shihab, Quraish. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Volume XI. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Soemarwoto, Otto. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan, 1987.

Suwito. Eko-Sufisme. Disertasi. Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah, 2010.

Tim, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an II. Jakarta: Biro mental Spritual DKI&Proyek Peningkatan LBIQ DKI, 1994.

Tucker, Mary Evelyn dan John A. Grim. Agama, Filsafat dan Lingkungan, terj. Hardono Hadi. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender  Perspektif al-Qur’an. Jakarta: Paramadina, 2001.

http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Jender3.html.

 



[1] Ali Syariti. On The Sociology of Islam (Mcc: Millan Press, 1989), 82 dalam Mujiyono, “Teologi Lingkungan Islam” Disertasi (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2001), 237.

[2] Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup (Jakarta: Kompas, 2010), 2.

[3] Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, 144.

[4] Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender Dalam Perspektif Al-Qur’an (Tangerang: YPM, 2011), 1.

[5] Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender, 226.

[6] Abuddin Nata, dkk, Kajian Tematik Al-Qur’an tentang Konstruksi Sosial (Bandung: Angkasa, 2008), 325.

[7] Q.S Hud: 11/61

[8] Siti Nurjanah, Konsep Al-Qur’an tentang Lingkungan Hidup dan Kaitannya dengan Perundang-Undangan Indonesia (Tesis UIN Jakarta tahun 1999), 10.

[9] Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender Dalam Perspektif Al-Qur’an, 36.

[10] Al-Qur’an menegaskan bahwa alam semesta dan isinya merupakan tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang mau berfikir. (QS. Al-Ra’du/13:3).

[11] Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Jakarta: Djambatan, 1987), 44.

[12] Tim, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an II, (Jakarta: Biro mental Spritual DKI&Proyek Peningkatan LBIQ DKI, 1994), 125.

[13] Artinya: Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. Q.S. Al-Baqarah/2:29

[14] Qurais Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Volume XI, 76.

[15] Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), Jilid X, 119-121.

[16] Artinya: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.  Q.S Al-A’raf ayat 56.

[17] Tim, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an II, 145.

[18] Mary Evelyn Tucker dan John A. Grim, Agama, Filsafat dan Lingkungan, terj. Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 110.

[19] Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup,144.

[20] Tri Marhaeni Pudji Astuti, Ekofeminisme dan Peran Perempuan dalam Lingkungan (Indonesian Journal of Conservation, Vol. 1 No.1, Juni 2013),  51.

[21] Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, 145.

[22] Susan J. Amstrong dan Richard G Botzler (ed), Enviromental Ethics: Divergence and Convergence (New York: McGraw-Hill, 1993), 430.Ynestra King dalam “Ecology In Women Percepctive” juga menyatakan, bahwa ada hubungan dialektikal antara penindasan terhadap perempuan dengan penindasan terhadap alam yang dilakukan oleh laki-laki, yakni budaya patriarkhi menjadi landasan progresivitas laki-laki dalam menindas perempuan secara global yang akhirnya memberikan efek ’sakit’ bagi alam, sehingga menjadikan posisi perempuan sama dengan alam yaitu sebagai objek,lihat di Rachmad K. Sosiologi Lingkungan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 120. Krisis lingkungan tidak hanya disebabkan pola pikir dan perilaku yang berpusat pada kepentingan manusia (antroposentris), namun juga disebabkan pola pikir dan perilaku yang mengutamakan dominasi, manipulasi, dan eksploitasi terhadap alam (androsentris).

[23] Suwito, Eko-Sufisme (Disertasi:UIN Jakarta, 2010), 40.

[24] Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, 47.

[25] Lihat Sofyan Anwar Mufid, Islam dan Ekologi Manusia (Bandung: Nuansa, 2010), 278.

[26] Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, 152.

[27] Cahaya Khaeroni, Konsep Ekofeminisme Vandana Shiva dan Implikasinya pada Pengembangan Paradigma Pendidikan Agama Islam Inklusif Gender (Skripsi, UIN Yogyakarta, 2009), 10.

[28] Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup,155.

[29] Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, 161.

[30] Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, 163.

[31] Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup,172.

[32] Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender Dalam Perspektif Al-Qur’an, 8.

[33] Artinya: “ demi langit yang mengandung hujan dan bumi yang mempunyai tumbuh-tumbuhan.” Q.S al-T{a>riq: 86/11-12

 

[34] Artinya: Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. Q.S Yasin: 36.

[35] Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender Dalam Perspektif Al-Qur’an, 178.

[36] Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender, 182-184

[37] Q.S al-Hajj: 22/65.

[38] Q.S Al-Mu’min: 40/64.

[39] Q.S Hu>d: 11/61

[40] Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender, 4.

[41] Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender, 187.

[42] Artinya: dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.

[43] Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender, 189.

[44] Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender, 204-217.

[45] Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender, 221.

[46] Muhammad Husain, Fiqh Perempuan:Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKiS Bekerjasama dengan Fahmina Institute, 2001), hal.20

[47] Artinya: dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Q.S Al-Ru>m: 30/21.

[48] Diantaranya terdapat pada Q.S al-Zalzalah:99/7-8, al-Nisa>’:4/124, al-An’a>m:6/132, Yunu>s:10/9, al-Fus}s}ila>t:41/46, al-Kahf:18/1-2, al-Ahza>b:33/47, al-Ja>thiyah:45:15, fa>t}ir:35/10, Ali-Imra>n:3/30, al-Zuma?r:39/70, al-T{u>r:52/21, T{a>ha>:20/112, al-Anbiya>’:21/94, al-Isra>’:17/19, al-Kahf:18/30, dan al-Mu’min:40/40.

[49] Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender, 228.

[50] Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Q.S al-Nahl:16/97.

[51] Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender, 231.

[52] Artinya: dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.

[53] Tim, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an, 146.

[54] Siti Nurjanah, Konsep AL-Qur’an tentang Lingkungan Hidup, 89.

[55] Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. Q.S al-Nisa>’:4/124

[56] Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender, 236-237.