Senin, 06 Januari 2014

Pemberdayaan Perempuan Pada Masa Rasulullah SAW


By: Hidayati
 
Abstrak
Fakta sejarah menunjukkan bahwa perempuan adalah kelompok yang sangat diuntungkan oleh kehadiran seorang Nabi. Di tengah tradisi Arab yang memandang perempuan sebagai makhluk kelas dua, beliau justru menempatkan kedudukan perempuan pada proporsinya dan mengikis habis kegelapan yang dialami perempuan pada masa pra-Islam. Beliau memandang perempuan sebagai makhluk yang mulia dan memiliki berbagai hak di samping kewajiban. Sehingga banyak sahabat perempuan pada masa Nabi yang memiliki peran yang cukup signifikan, baik dalam ranah agama, pendidikan,  ekonomi, dan politik. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Nabi telah melakukan perubahan besar dalam kehidupan masyarakat, khususnya kaum perempuan.

A.    Pendahuluan
Dalam sejarah kebudayaan Arab pra-Islam, posisi perempuan sangatlah rendah dan secara umum perempuan dipandang sebagai komunitas kelas dua.[1] Kedudukan dan status sosial perempuan sangat tidak dihargai. Perempuan secara sosial, ekonomi, dan politik tidak bebas, dan tidak dapat memainkan peran yang independen yang dapat menunjukkan harkat dan statusnya sebagai seorang perempuan.[2] Bahkan mereka dihina, diperlakukan secara kasar, dan direndahkan martabatnya. Hal yang demikian ini menjadi sesuatu yang wajar dalam budaya bangsa Arab Jahiliyah.
Dalam suasana yang benar-benar kacau balau dan amburadul, Nabi Muhammad Saw diutus dan al-Qur’an diturunkan. Sejak Muhammad mendapat mandatory sebagai Nabi sekaligus Rasul, beliau banyak melakukan kritik dan perlahan-lahan melakukan pembaharuan budaya dengan mengangkat harkat dan martabat perempuan. Banyak sisi kehidupan pribadi Muhammad dalam interaksinya dengan perempuan-perempuan di sekelilingnya, terutama dalam tataran sosial, politik dan keagamaan, yang merupakan sikap yang revolusioner di dalam upaya mengembalikan hak-hak perempuan pada proporsi yang semestinya.[3]
Dalam tulisan  ini akan  dipaparkan bagaimana peran Rasulullah Saw dalam mengangkat harkat dan martabat perempuan, yang mana sebelum Islam perempuan sangat tidak dihormati dan bahkan tidak dianggap. Dan bagaimana Rasulullah membimbing perempuan, sehingga mereka memiliki kesempatan untuk mengaktualisasi diri dan memberikan kontribusi yang berarti dalam berbagai aspek kemanusiaan.

B.     Kedudukan Perempuan Pada Masa Jahiliah
Ada banyak adat dan kebiasaan buruk berkaitan dengan persoalan perempuan di zaman Jahiliah. Kebisaan menganggap rendah dan melecehkan perempuan tersebut dilakukan oleh sebagian masyarakat Jahiliyah.[4] Diawali dari kelahiran anak perempuan yang disikapi atau direspon dengan nada-nada gelisah, gundah gulana, rasa benci dan rasa malu. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an:[5]
#sŒÎ)ur tÏe±ç0 Nèdßymr& 4Ós\RW{$$Î/ ¨@sß ¼çmßgô_ur #tŠuqó¡ãB uqèdur ×LìÏàx. ÇÎÑÈ   3uºuqtGtƒ z`ÏB ÏQöqs)ø9$# `ÏB Ïäþqß $tB uŽÅe³ç0 ÿ¾ÏmÎ/ 4 ¼çmä3Å¡ôJãƒr& 4n?tã Acqèd ôQr& ¼çmßtƒ Îû É>#uŽI9$# 3 Ÿwr& uä!$y $tB tbqßJä3øts ÇÎÒÈ  
 “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah. Ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”
Mereka lebih memilih menguburkannya hidup-hidup tanpa dosa selain karena dia seorang wanita.[6] Kebiasaan menguburkan bayi perempuan tersebut tampaknya dipraktikkan bukan semata karena kemiskinan, tetapi karena takut kehilangan kehormatan.[7] Hal ini juga disinyalir dalam dua ayat dalam al-Qur’an, yakni surah al-An’a>m/6: 151 dan surah al-isra’/17:31.
Di kalangan nomad khususnya, perempuan rentan menjadi korban penculikan dan kawin paksa jika kelompok mereka diserang. Menjadi aib yang sangat memalukan jika seseorang tidak mampu menjaga sanak saudara perempuannya. Kelompok yang lemah sangat rentan terhadap pelecehan semacam itu sehingga mereka memilih membunuh bayi perempuan daripada menyaksikan anak perempuan mereka yang tidak mampu mereka lindungi tertangkap dan dibawa lari.
Kemungkinan lain, pembunuhan bayi dilakukan untuk ide pengorbanan yang diserukan oleh kepercayaan agama. Kasus penyembelihan putra Ibrahim pernah difahami secara keliru oleh kalangan pengikutnya, yang menganggap setiap keluarga harus menyembelih salah seorang putranya. Alasan lainnya, yaitu mereka membunuh anak perempuan karena khawatir nantinya akan kawin dengan orang asing atau orang yang berkedudukan sosial rendah misalnya budak atau mawa>li. Disamping itu, khawatir jika anggota sukunya kalah dalam peperangan yang akan berakibat anggota keluarga perempuannya akan menjadi harem-harem atau gundit para musuh.[8]
Sosiolog Divale dan Harris melihat bahwa pembunuhan bayi-bayi perempuan merupakan akibat kompleks supremasi laki-laki. Keterampilan dan kekuatan memainkan senjata adalah profesi laki-laki. Agresivitas laki-laki merupakan suatu keharusan dalam upaya berhasil dalam perannya sebagai pelindung keluarga dan kabilah. Sebagai imbalannya, perempuan dilatih mejadi manusia pasif sebagai bentuk dukungan keberhasilan peran laki-laki. Laki-laki dalam pandangan ini dianggap sebagai komunitas militer yang senantiasa siap untuk berperang.[9]
Jika dikaitkan pada kesulitan hidup dan kejamnya adat kebiasaan Arab Jahiliyah, Wildana Wargadinata menyimpulkan dalam sebuah tulisannya yang dimuat dalam Jurnal bahwa ada beberapa hal yang menjadi penyebab mereka membunuh bayi perempuan, sebagaimana berikut:[10]
a.       Cara hidup mereka adalah berpindah-pindah tempat (nomaden) yang dilakukan secara bedol desa. Membawa wanita dalam rombongan yang besar membuat gerakan menjadi tidak licah, bahkan perhatian harus banyak diberikan untuk membantu perempuan-perempuan ini. Di gurun pasir yang kejam itu perempuan tidak saja sulit memberikan partisipasinya untuk hal-hal yang diperlukan, bahkan mereka tidak mampu menolong dirinya sendiri. Menurut mereka fisik perempuan terlalu lemah menghadapi alam yang kejam itu.
b.      Setiap mulut yang terbuka membutuhkan makanan. Sedang bahan makanan yang tersedia sangat terbatas. Oleh karena itu laju pertambahan penduduk harus dihambat. Pada tingkat pengetahuan mereka pada waktu itu mereka menganggap perempuanlah yang menjadi penyebab lajunya pertambahan penduduk, karena mereka melihat perempuanlah yang melahirkan. Oleh sebab itu jumlah wanita harus dikurangi, agar yang memproduksi manusia menjadi berkurang. Di samping itu perempuan tidak bisa membantu dalam meningkatkan produksi bahan makanan di alam yang kejam itu.
c.       Dalam peperangan, anak-anak dan perempuan-perempuan dari pihak yang kalah menjadi milik yang menang. Hal ini sudah barang tentu sangat menjatuhkan martabat dan kehormatan diri dari suku yang mengalami musibah itu. Untuk menghindari terjadinya hal yang seperti ini, maka lebih baik anak-anak perempuan itu dibunuh sejak bayi, agar mereka tidak mengalami derita hidup dan aib.
Dalam konteks penanaman hidup-hidup anak perempuan perlu digarisbawahi bahwa tidak semua suku melakukan hal itu. Suku-suku besar seperti Quraisy dapat menghindari praktik tersebut karena mereka percaya dapat melindungi diri dari penistaan semacam itu. Beberapa sumber menunjukkan bahwa orang Quraisy melarang penguburan bayi perempuan tidak lama sebelum kedatangan Islam, karena menurut mereka tindakan semacam itu memalukan. Meskipun demikian, reaksi negatif atas lahirnya bayi perempuan telah menjadi norma budaya di kalangan bangsa Arab pra-Islam.[11]
Pandangan serupa juga dikemukakan ‘A`isyah Abd ar-Rahman (Bint asy-Syathi’), yang menjelaskan bagaimana pembunuhan terhadap anak perempuan sudah sedemikian membudaya di hampir semua kabilah bangsa Arab, meskipun ada yang tetap bertahan memelihara putrinya sampai dewasa dengan kesabaran dan ketahanan, kemudian dapat diserahkan kepada peminangnya yang sederajat, atau melilih kuburan sebagai menantu setianya.[12]
Selain itu perempuan juga dipandang sebagai makhuk kelas dua. Perempuan tidak mendapat izin budaya saat itu sebagai manusia seutuhnya yang merdeka, memiliki hak-hak sebagaimana dimiliki laki-laki. Perempuan tidak berhak mendapat warisan walaupun hidup dalam kemiskinan dan kebutuhan yang tinggi, sebab pewarisan tersebut hanya berlaku bagi kaum pria saja, bahkan perempuan tersebut bisa diwariskan setelah suaminya meninggal sebagaimana harta diwariskan. Lebih dari itu banyak wanita yang hidup di bawah satu lelaki sebab masyarakat jahiliyah tidak membatasi diri dengan batasan jumlah istri-istri, dan merekapun tidak menghiraukan terhadap berbagai pengekangan dan kezaliman yang terjadi pada wanita.[13]
Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahihnya dari Umar RA bahwa beliau berkata, “Demi Allah!, pada masa jahiliyah wanita tidak kami anggap apapun, sehingga Allah menurunkan bagi mereka tuntunan yang menjelaskan kemaslahatan bagi mereka dan Allah memberikan bagian harta tertentu dalam perkara pewarisan”
Dalam struktur ekonomi masyarakat Arab Jahiliyah, perempuan diperdagangkan, bahkan juga diwariskan seperti harta benda dan kekayaan. Perempuan diperbudakkan di samping juga laki-laki, dan secara legal-formal budak perempuan yang dikenal sebagai amah atau jariyah harus melayani kebutuhan biologis tuannya, bahkan sudah menjadi tradisi para jariyah itu diganggu dan dijaili oleh setiap lelaki yang mendapatinya, sehingga perempuan hampir tidak lagi memiliki harkat dan martabat kemanusiaannya.[14]
Kebejatan dan pelecehan yang dilakukan sebagian masyarakat jahiliyah khususnya kepada perempuan, sudah cukup untuk membuktikan betapa umat manusia di seluruh penjuru bumi sangat membutuhkan bimbingan untuk mewujudkan nilai-nilai yang rahmatan lil alamin.

C.    Misi Rasulullah dalam Mengangkat Harkat dan Martabat Perempuan
Kehadiran sebuah agama sesungguhnya adalah untuk membebaskan manusia dari segala bentuk kezhaliman dan kesewenang-wenangan. Dan inilah misi utama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw sehingga menciptakan kehidupan yang penuh kasih sayang, tanpa kekerasan, pelecehan terhadap siapapun baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Sebagai implementasi dari misi kenabian yaitu menebar nilai-nilai akhlakul karimah yang dapat dilihat dengan penghargaan dan penghormatannya kepada sesama.[15]
Salah satu yang menjadi tolok ukur akhlak adalah sikap terhadap perempuan. Sejak dahulu hingga kini diakui bahwa salah satu tanda budi pekerti yang luhur atau sikap gentle adalah sikap dan perlakuan baik terhadap perempuan.[16] Rasulullah adalah orang yang paling pintar berinteraksi dengan kaum perempuan, beliau merupakan Rasul yang diutus untuk mengangkat harkat dan martabat wanita dengan dimensi yang tak terhingga. Banyak hadis yang mendeskripsikan kepada kita, bagaimana kaum perempuan melakukan tuntutan dan keluhan kepada Nabi saw atas tindakan yang menimpa mereka, termasuk yang dilakukan oleh suami-suami atau orang-orang di sekitar. Dari sinilah Rasulullah Saw dengan kalimat yang tegas bersabda :
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا  ( رواه الترمذى )
 “Sesungguhnya orang yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya dan paling ramah terhadap istrinya” (HR. Turmudzi)[17]

Pada lain kesempatan beliaupun bersabda:
ما أكرم النساء إلا كريم وما أهانهن إلا لئيم
“Tidak ada yang menghargai perempuan kecuali orang mulia dan tak ada yang melecehkannya kecuali orang bejat”. (HR. Ibn ‘Asakir)

Dalam suatu hadist dikisahkan, bahwa seorang perempuan bernama Jamilah istri sahabat Tsabiq bin Qais mengajukan khulu’ karena sudah tidak bisa lagi hidup serumah dengan suami, sekalipun suaminya seorang yang baik dan taat beragama. Nabi Saw menanggapinya dengan tidak melecehkan atau menyalahkan perempuan tersebut karena mengungkapkan keadaan rumah tangga yang seharusnya tidak boleh diketahui orang lain dan juga tidak menganggap sebagai perempuan atau istri tidak berbakti. Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa misi utama kenabian dalam konteks kemanusiaan adalah akhlak mulia. Siapapun baik laki-laki atau perempuan berkewajiban menegakkannya dengan saling memuliakan, menghormati dan menghargai.[18]
Nabi Muhammad sejak awal terlihat lebih mengutamakan pertimbangan rasional dan profesional daripada pertimbangan emosional dan tradisional dalam menjalankan misinya. Nabi juga sering mempercayakan sesuatu kepada perempuan yang menurut adat dan tradisi Arab tidak lazim, seperti mempercayakan Rabi>’ bint Mu’awwizh[19] dan Umm ‘At}iyyah[20] sebagai perawat korban yang luka di dalam beberapa peperangan di samping bertugas sebagai juru masak di medan perang. Bahkan Nabi juga pernah memerintahkan seorang perempuan Umm Waraqah menjadi imam shalat di lingkungan keluarganya. [21] Rasulullah bersabda:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ قَالَ حَدَّثَتْنِى جَدَّتِى عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ بِنْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ الأَنْصَارِىِّ وَكَانَتْ قَدْ جَمَعَتِ الْقُرْآنَ وَكَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم قَدْ أَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا وَكَانَ لَهَا مُؤَذِّنٌ وَكَانَتْ تَؤُمُّ أَهْلَ دَارِهَا ( رواه أحمد )[22]

Diriwayatkan bahwa Umm Waraqah termasuk sahabat perempuan yang gigih membela kepentingan Islam, ia pernah meminta izin untuk ikut serta dalam perang Badar tetapi Nabi tidak memenuhi permintaannya dan ia disuruh untuk tinggal di rumah. Dan di rumahnya terdapat anak-anak kecil dan orang tua sepu. Di antara mereka itulah ia dikabarkan memimpin shalat. Meskipun hadis ini dapat dinyatakan s}a>h}i>h, tetapi masih perlu diteliti lebih jauh sebab munculnya hadis tersebut.[23]
Begitulah Islam, melalui tangan seorang Rasul dapat merombak budaya yang tidak sehat khususnya dalam menempatkan perempuan. Bahkan perempuan diberi hak untuk menolak calon yang diajukan orang tuanya/walinya, bila dipandang tidak cocok. Demikian juga perempuan dibenarkan oleh Islam untuk menolak lamaran seorang laki-laki yang tidak diinginkannya.[24] Hal ini sebagaimana  terdapat dalam Hadis Nabi yang Diriwayatkan oleh Bukhari:
حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنِ الْقَاسِمِ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ وَلَدِ جَعْفَرٍ تَخَوَّفَتْ أَنْ يُزَوِّجَهَا وَلِيُّهَا وَهْىَ كَارِهَةٌ فَأَرْسَلَتْ إِلَى شَيْخَيْنِ مِنَ الأَنْصَارِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَمُجَمِّعٍ ابْنَىْ جَارِيَةَ قَالاَ فَلاَ تَخْشَيْنَ ، فَإِنَّ خَنْسَاءَ بِنْتَ خِذَامٍ أَنْكَحَهَا أَبُوهَا وَهْىَ كَارِهَةٌ ، فَرَدَّ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم – ذَلِكَ.
“ Seorang perempuan dari keluarga Ja’far merasa khawatir akan dikawinkan paksa oleh walinya. Kemudian perempuan itu mengirim utusan untuk mengadukan nasibnya kepada dua orang sesepuh Anshar yaitu Abdurrahman dan Majma’, kedua-duanya anak Ibu Jariyah. Kedua orag tokoh itu berkata: Kamu tak usah khawatir kerena Khansa binti Khidam dikawinkan paksa oleh ayahnya kemudian Nabi membatalkannya”.[25]

Jika dilihat sejarah perkembangan karier kenabian Muhammad, maka kebijakan rekayasa sosialnya semakin mengarah kepada prinsip-prinsip kesetaraan gender. Perempuan dan anak-anak di bawah umur semula tidak bisa mendapatkan harta warisan atau hak-hak kebendaan, karena yang bersangkutan oleh hukum adat jahiliyah dianggap tidak cakap untuk mempertahankan qabilah, kemudian al-Qur'an secara bertahap memberikan hak-hak kebendaan kepada mereka.[26] kelahiran perempuan yang pada awalnya dianggap sebagai sebuah aib, Nabi justru mengharuskan  perayaan bayi perempuan dengan aqiqah, sebagaimana dilakukan terhadap bayi laki-laki.[27] Semula perempuan tidak boleh menjadi saksi kemudian diberikan kesempatan untuk itu, meskipun dalam beberapa kasus masih dibatasi satu berbanding dua dengan laki-laki.[28] Semula laki-laki bebas mengawini perempuan tanpa batas, kemudian dibatasi menjadi empat, itupun dengan syarat yang sangat ketat.[29] Nabi juga mengubah hak kepemilikan mahar sebagai hak mutlak perempuan, yang mana sebelumnya mahar itu menjadi hak penuh para wali yang semuanya laki-laki.[30]
Terkait praktek poligami yang dilakukan Rasulullah, selalu dijadikan dalil pembenaran bagi kebolehan poligami dalam masyarakat muslim. Padahal poligami Rasulullah adalah upaya transformasi sosial, sebagaimana yang dikutip oleh Zaitunah Subhan dalam kitab Ibn al-Atsir. Dalam artian, mekanisme poligami yang yang diterapkan Nabi Saw merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi.[31]

D.    Peran Perempuan pada Masa Nabi
Disamping para laki-laki yang berada di sekitar Rasulullah Saw, tentu ada para wanita yang berpengaruh di sekitar kehidupan beliau. Para wanita ini mempunyai peran dan tugas masing-masing dalam koridor keimanan dan keikhlasan. Keberadaan para sahabat dari kalangan wanita ini menyempurnakan keseimbangan fundamental yang berlaku dalam kehidupan manusia, yaitu adanya laki-laki dan wanita. Hal ini tampak jelas dalam beberapa contoh mengagumkan yang dapat ditemukan dalam sejarah mengenai perempuan-perempuan yang diajak dan diizinkan oleh Nabi untuk berperan dalam berbagai aspek dan kegiatan. Berikut ini penulis mengemukakan peranan sahabat nabi dalam bidang politik, ekonomi, dan pendidikan.

1.      Keikutsertaan Perempuan dalam Kegiatan Politik
Masuk Islam dengan segala resiko, seperti yang ditentang keluarga dan para penguasa, sangat lazim dalam berita perkembangan Islam. Banyak yang harus menghadapi ancaman dan siksaan karena mengikuti Islam dan terpaksa meninggalkan tanah kelahiran demi memperjuangkan Islam, Dalam istilah sekarang hal-hal seperti itu diistilahkan dengan kegiatan politik. Dalam hal ini, kaum wanita pun terdorong untuk turut serta melakukan kegiatan politik bersama kaum laki-laki dengan tujuan membela dan memenangkan agama Islam.[32] Diantara kegiatan politik kaum wanita antara lain:
-          Kaum perempuan ikut serta berhijrah bersama Nabi ke Madinah dalam rangka mencari suaka politik, bersama-sama ikut membentuk komunitas persahabatan yang menciptakan persaudaraan antara kelompok Muhajirin dan Anshar. [33] Kemudian kaum perempuan juga ikut hijrah bersama kaum pria ke Habsyah, sebagaimana tercantum dalam riwayat berikut:
عن أبي موسى رضي الله عنه قال  وقد كانت هاجرت إلى النجاشي فيمن هاجر…….
Dari Abu Musa r.a ia berkata: ‘Asma binti umais berhijrah ke Najasyi bersama orang-orang yang hijrah….. (HR Bukhari)
-          Berbai’at dengan Nabi Saw.[34]
-          Kaum perempuan juga terlibat aktif dalam kegiatan dakwah Islam sehingga banyak perempuan kafir Quraisy yang kemudian menjadi Muslimah karena ajakan mereka.
-          Wanita ikut peduli terhadap masa depan politik negara yang menganut sistem kekhalifahan, sebagaimana riwayat berikut ini:
عن قيس ابن أبي حازم قال: دخل أبو بكر على امرأة…. قالت : ما بقاؤنا على هذا الأمر الصالح الذي جاء الله به بعد الجاهلية ؟ قال بقاؤكم عليه ما استقامت بكم أئمتكم قالت وما الأئمة ؟ قال أما كان لقومك رؤوس وأشراف يأمرونهم فيطيعونهم ؟ بلى قال فهم أولئك على الناس.
“Dari Qais bi Abu HAzim ia berkata bahwa Abu Bakar mendatangi seorang wanita. Wanita itu berkata: Apakah ynag menetapkan kami atas perkara yang baik ini (Islam), yang didatangkan oleh Allah setelah zaman Jahiliyah? Abu Bakar menjawab: Yang menetapkan kalian atas perkara ini ialah selagi para pemimpin tegak pada jalan yang benar besertamu. Wanita itu bertanya lagi: Siapakah para pemimpin itu? Abu Bakar menjawab: Tidakkah kaummu memiliki beberapa pembesar dan tokoh yang memerintah mereka, lalu mereka menaatinya? Wanita itu menjawab: Ya. Abu Bakar berkata: mereka itulah pemimpin atas semua orang” (HR Bukhari)

-          Begitu juga dalam hal jihad atau peperangan, sebagian besarnya menyertakan perempuan di dalamnya. Meskipun peran mereka sebagai pendukung atau pendamping, tetapi peran mereka sangat penting dan menanggung resiko yang sama seperti halnya laki-laki.[35]
Khadijah binti Khuwailid adalah perempuan yang pertama kali beriman kepada Nabi SAW. Sosok perempuan yang dijuluki sebagai Khadijah al-Kubra senantiasa memberi support kepada Nabi saw terhadap risalah kenabian. Mendukung secara penuh dengan segala resiko yang akan menimpa dirinya, meski dia sadar bahwa dengan mendukung Nabi saw dia akan berhadapan dengan rezim kekuasaan politik yang kasar, keras serta otoriter pada saat itu.[36] Peran Khadijah ra yang luhur ini dinyatakan oleh Rasulullah saw dengan pernyataan yang tegas: “Demi Allah, sungguh Allah telah memberiku istri yang tiada tandingannya yaitu Khadijah. Dia beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkari kenabianku; membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku; dia membantuku dengan segenap harta kekayaannya ketika orang-orang tidak demikian; dan dari rahimnya Allah menganugerahkan putra-putri bagiku, dan bukan dari perempuan-perempuan yang lain”.[37]
Dalam S{ah}i>h} Bukha>ri, ditemukan sub-bagian tentang “Partisipasi perempuan dalam jihad bersama laki-laki”. Pada bagian ini ia bercerita tentang beberapa hadis yang jelas menunjukkan bahwa perempuan berpartisipasi bersama laki-laki. Diantaranya ada sebuah hadis dari Aisyah, istri nabi bahwa dia (Aisyah) menemani nabi dalam sebuah perang, dan ini terjadi setelah turunnya ayat tentang cadar. Juga dalam S{ah}i>h} Bukha>ri ditemukan sebuah hadis yang mengatakan bahwa di Uhud ketika beberapa orang meninggalkan Nabi, Aisyah dan Umm Salim menggulung pakaian paling bawah mereka hingga pergelangan kakinya tersingkap. Mereka membawa tempat air di punggung mereka dan menuangkan air tersebut ke mulut orang-orang terluka.[38]
Tidak berarti bahwa kaum perempuan hanya melakukan pelbagai pelayanan di balik medan tempur, tetapi juga banyak contoh di mana mereka juga terlibat langsung dalam berjuang dan menyerang musuh. Dalam Usad al-Gha>bah karya Ibnu Atsir sebagaimana dikutip oleh Asghar ditemukan tentang peristiwa menyangkut prang Khandaq. Syafi’ah, bibi Nabi, hadir dalam perang ini. Di sana banyak perempuan dan anak-anak dikepung oleh Bani Quraidzah, sebuah suku Yahudi. Untuk menghadapi ancaman dari bani Quraidzah yang mungkin akan membunuh mereka semua, Syafi’ah keluar dari benteng dan mengambil sebuah galah lalu membunuh Yahudi tersebut. Dia adalah perempuan muslim pertama yang berani menunjukkan keberaniam seperti itu.[39]  
Nasaibah, seorang wanita Anshar yang juga membantu dalam pengobatan di medan pertempuran, bahkan dia berdiri di samping Rasulullah untuk melindungi beliau ketika terdesak dan terkungkung dalam bulan-bulanan musuh di perang Uhud. Dengan kelihaian dan ketangkasan pedang Nusaibah lah Rasulullah terselamatkan dari tebasan pedang kaum kafir Quraish, sebelum akhirnya para sahabat Nabi yang lain ikut membantu ketika diketahui Rasulullah masih hidup. Baginda Saw. bersabda tentang keberanian dan kelihaian Nusaibah –radhiallahu ‘anha–  ini: “Pada hari itu, aku melihat Nusaibah bertempur dengan beraninya untuk melindungi aku”.
Asghar menemukan dalam kitab Usad al-Gha>bah cerita tentang Umm Amarah ketika Perang Uhud. Dia melindungi Nabi dengan sebuah pedang. dimana banyak sahabat laki-laki melarikan diri. Pada hari itu dia banyak menderita luka-luka di tangan dan pundaknya. Selain perang uhud, dia juga turut serta mengambil bagian dalam perang-perang lain dan sekaligus menunjukkan aksinya yang berani.[40]
Beberapa sahabat perempuan seperti Shafiyyah, Laylah al-Ghaffariyah, Ummu Sinam al-Aslamiyah, Fathimah binti Rasulullah, ‘Atika binti Yazid ibn Mu’awiyah, Ummu Habibah, Asma’ bin Umas, Ummu Salamah binti Ya’kub, Al-Khayzaran binti ‘Athok, Ummu Abdillah dan lain sebagainya, mereka tidak saja berperan sebagai palang merah, mempersiapkan logistik, lebih dari itu para sahabat perempuan adalah pejuang-pejuang yang sangat gigih dan pemberani.

2.      Peranan perempuan dalam Kegiatan Profesi dan Ekonomi.
Diantara motivasi keikutsertaan wanita dalam kehidupan sosial dan pertemuannya dengan kaum laki-laki adalah untuk menjalankan profesi dan membantu suaminya, untuk mendapatkan biaya yang akan digunakan dalam rangka mewujudkan tujuan yang baik.[41]  Dalam bidang ekonomi wanita bebas memilih pekerjaan yang halal, baik di dalam atau di luar rumah, mandiri atau kolektif, di lembaga pemerintah atau swasta, selama pekerjaan itu dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, dari tetap menghormati ajaran agamanya.
Hal ini dibuktikan oleh sejumlah nama penting seperti istri pertama Nabi yaitu Khadijah binti Khuwaylid sebagai komisaris perusahaan.[42] Beliau merupakan profil perempuan karier, seorang pekerja yang tangguh, etos kerjanya tinggi, serta diimbangi dengan kemampuan manajerial dan insting bisnisnya yang begitu memukau. Beliau keluar dari batas-batas norma adat kebiasaan yang berlaku pada saat jahiliyah bahwa perempuan harus tinggal di rumah dan urusan bisnis adalah urusan kaum lelaki. Tetapi tidak demikian dengan Khadijah ra, beliau beberapa kali melakukan perjalanan bisnis Internasionalnya ke Syam (Syria) serta beberapa kota bisnis mancanegara lainnya dan kembali lagi ke Mekkah dengan membawa barang dagangan baru pada sekitar abad 6 M.[43]
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi saw pernah memberi petunjuk kepada perempuan tentang berjual beli. Salah seorang diantaranya adalah Qilat Ummi Bani Anmar yang diberi petunjuk oleh Nabi menyangkut penetapan harga. Nabi berpesan kepadanya: “Apabila engkau ingin membeli atau menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang engkau inginkan untuk membeli atau menjualnya. Baik kemudian engkau diberi maupun tidak.” Demikian disebutkan dalam T{abaqa>t Ibn Sa’ad.[44]
Selain itu ada Zainab binti Jahsy yang berprofesi sebagai penyamak kulit binatang, Ummu Salim binti Malhan berprofesi sebagai tukang rias pengantin, dan Al-Syifa’ seorang perempuan yang pandai menulis ditugasi oleh Khalifah ‘Umar menangani pasar kota Madinah.[45] Dalam kitab At}-T}abaqat al-Kubra disebutkan bahwa istri Abdullah ibn Mas’ud dikenal sebagai Wiraswasta yang sukses dan aktif bekerja karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya. Dia berkata kepada Rasulullah Saw: “Wahai Rasulullah, aku adalah seorang wanita yang memiliki keterampilan. Hasil keterampilan itu aku jual sebab aku, suamiku dan anakku tidak memiliki apa-apa. Hal itu aku lakukan untuk menafkahi mereka” Rasulullah Saw berkata: “Kamu mendapatkan pahala dari apa yang kamu nafkahkan untuk mereka”.[46]
Dari Sa’ad bin Sahal r.a, dia berkata: “Seorang wanita datang membawa burdah. Sa’ad bertanya:”Tahukah kalian apa burdah itu? Ada yang menjawab:”Ya, yaitu selimut yang disulam di bagian pinggir-pinggirnya. Wanita itu berkata:”Wahai Rasulullah, aku telah menyulam burdah itu dengan tanganku sendiri…” (HR Bukhari).
Banyak contoh perempuan yang ikut serta dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan pada masa Rasul. Rasululullah SAW banyak memberi perhatian serta pengarahan kepada perempuan agar menggunakan waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat. Dalam hal ini, beliau bersabda: “Sebaik-baik “permainan” seorang perempuan Muslimah di dalam rumahnya adalah memintal/menenun. (Hadis diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Abdullah bin Rabi’ Al-Anshari).[47]
Apapun profesi yang dijalani oleh kaum perempuan pada Masa Nabi, tidak menggangu hak suami dan anak-anaknya.  Karena bagi mereka mengurus rumah tangga tetap merupakan tanggung jawab utama kaum wanita.

3.      Pendidikan Perempuan pada Zaman Nabi
Sejak datangnya Islam, perempuan telah mempunyai hak dan kesempatan belajar, terbukti dengan munculnya perempuan penyair dan orang-orang yang mempunyai pengetahuan dalam menulis. Pada masa ini, Nabi menyamakan kedudukan wanita dan pria dalam hal menuntut ilmu , diriwayatkan pula dari Nabi Saw bahwa beliau menganjurkan agar istrinya diajarkan menulis.[48]
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi pernah didatangi kelompok kaum perempuan yang memohon kesediaan Nabi untuk menyisihkan waktunya guna mendapatkan ilmu pengetahuan. Sebagaimana dijelaskan dalam kisah berikut ini:
عن أبي سعيد: جاءت امرأة إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقالت يا رسول الله ذهب الرجال بحديثك فاجعل لنا من نفسك يوما نأتيك فيه تعلمنا مما علمك الله فقال ( اجتمعن في يوم كذا وكذا في مكان كذا وكذا ) . فاجتمعن فأتاهن رسول الله صلى الله عليه و سلم....
“Dari Abu Sa’id al-Khudri, dia berkata bahwa seorang wanita datang kepada Rasullah saw dan berkata: Ya Rasulullah, kaum pria ttelah membawa hadismu, maka tolonhlah sediakan untuk kami dari waktumu suatu hari. Rasulullah Saw menjawab: “Berkumpullah kalian pada hari ini”. maka berkumpullah mereka, lalu Rasulullah Saw mendatangi mereka. (HR. Bukhari).[49]

Perlu diketahui juga bahwa permintaan kaum wanita agar Rasulullah saw menyediakan hari untuk mereka disebabkan oleh keinginan untuk mendapatkan kesempatan yang lebih luas dan lapang disamping forum bersama degan laki-laki di masjid. Setelah disediakan hari yng khusus untuk wanita, mereka tetap saja memenuhi masjid dan mushalla guna mndapatkan ilmu dan mendengarkan nasihat bersama kaum laki-laki.[50]
Kemerdekaan perempuan dalam menuntut ilmu pengetahuan juga banyak dijelaskan dalam beberapa hadits, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bahwa Rasulullah melaknat wanita yang membuat keserupaan diri dengan kaum laki-laki, demikian pula sebaliknya, tetapi tidak dilarang mengadakan perserupaan dalam hal kecerdasan dan amal ma'ruf. [51]
Dalam sejarah Islam klasik ditemukan beberapa nama perempuan menguasai ilmu pengetahuan penting seperti Aisyah, seorang wanita yang cerdas, tanggap, pintar berpandangan jauh ke depan dan punya nalar yang kuat. Kecerdasannya tampak jelas dalam sikap sosial, inteletual dan politis kesehariannya. Kecerdasannya menempatkannya dalam posisi yang sangat penting, yakni untuk menghapal lebih dari seribu hadis dengan periwayatannya yang sangat cermat. Ia juga hafal fatwa-fatwa penting tentang permasalahan agama, sehingga oleh Nabi ia selalu dilibatkan sebagai penentu dalam memecahkan permasalahan-permasalahan agama yang rumit.[52]
Aisyah pada sisi yang lain sangat memahami Sunah Nabi dan menguasainya dengan sempurna, sampai-sampai ia  menjadi tempat rujukan yang utama berkenaan dengan sunnah nabawiyyah. Ia menjadi tempat pelarian untuk mendapatkan fatwa dengan pendapat-pendapatnya yang mengena yang dibangun atas pilar-pilar pengetahuan yang ia dapat langsung dari Nabi. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukahari dalam sebuah hadis:
حدثنا ثمامة (يعني ابن حزن القشيري ) قال: لقيت عائشة فسألتها عن النبيذ ؟ فدعت عائشة جارية حبشية فقالت سل هذه فإنها كانت تنبذ لرسول الله صلى الله عليه و سلم.
“ Dari Tsumamah (Ibnu Haznil Quyairi), dia berkata : Aku bertemu dengan Aisyah, lalu aku tanyakan hukum perasan anggur. Lantas Aisyah memanggil budak perempuan Habsy dan berkata:mtanyakan kepada budak ini, sebab dia pernah membuat perasan anggur  untuk Rasulullah” (H.R Muslim).
Selain itu ada lagi nama-nama sahabat perempuan yang terkenal dengan ilmu pengetahuannya, yaitu: Sayyidah Sakinah, putri Husayn ibn 'Ali ibn Abi Thalib, Al-Syekhah Syuhrah yang digelari dengan "Fikhr al-Nisa" (kebanggaan kaum perempuan), adalah salah seorang guru Imam Syafi'i, Mu'nisat al-Ayyubi (saudara Salahuddin al-Ayyubi), Syamiyat al-Taymi'yah, Zaynab, putri sejarawan al-Bagdadi, Rabi'ah al-Adaw'iyah, dan lain sebagainya. [53]
Masih banyak para pejuang muslimah di zaman Rasulullah yang perannya tidak secara lengkap dicatat oleh sejarah, tapi dampaknya dapat dirasakan di tahun-tahun setelahnya. Penghargaan masyarakat Arab terhadap perempuan semakin baik dan tidak ada lagi penganiyaan yang menyebabkan banyak korban. Sejarah perjuangan itu pula yang akhirnya membawa Islam masuk ke Indonesia.

E.     Kesimpulan
Sejarah membuktikan bahwa Rasulullah memainkan peran yang sangat penting dalam mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan. Perempuan diberi kesempatan untuk berkiprah dan aktif dalam berbagai kegiatan termasuk hal-hal yang biasanya dilakukan oleh laki-laki. Perjuangan beliau di awal Islam melahirkan figur-figur perempuan dinamis, aktif, sopan, dan tetap terpelihara akhlaknya. Gambaran ideal kehidupan perempuan di masa Nabi dapat kita jadikan pedoman untuk kemajuan perempuan pada masa sekarang. Agar tidak terjadi kesenjangan yang besar antara ajaran Islam yang diperjuangkan Nabi dengan ajaran Islam yang dipraktekkan masyarakat muslim dewasa ini.


Daftar Pustaka
Al-Syathi’, Bint Istri-Istri Nabi saw.
Asy-Syakawi, Amin bin Abdullah. Kedudukan Wanita dalam Islam, terj. Muzaffar Sahidu, Islamhouse.com, 2010.
At-Turmuzi, Sunan at Turmudzi. Ba>b ma> ja>’a fi> h}aqq al-mar’ah ‘ala> zaujiha: Al-Maktabah Al-sha>milah) Juz 5.
Azzuhri, Muhandis. Khadijah Binti Khuwailid Sosok Perempuan Karir. Muwazah, Vol.1, No.2, Juli-Desember 2009.
Bukha>ri>, S{ah}i>h al-Bukha>ri. Kitab al-Jiha>d, Bab: radd al-Nisa>’ al-Qatla> wa al-jurhiy, Jilid 6.
Engineer, Asghar Ali. Pembebasan Perempuan. Yogyakarta: LKiS, 2003.
Hambal, Ahmad bin. Sunan ah}mad bin H}ambal . Al-Maktabah Al-sha>milah. Juz 6.
Hosen, Ibrahim dan Ahmad Munif Suratmaputra. Al-Qur’an dan Peranan Perempuan dalam Islam. Jakarta: IIQ, 2007.
Ji, Muhammad Rawwas Qal’ah, Pribadi Agung Rasulullah, terj. Tajuddin. Jakarta: Pustaka Ikadi, 2008.
Mahmud, Jamaluddin Muhammad. Huquq Al-Mar'at fi Al-Mujtama' Al-Islamiy. Kairo: Al-Haiat Al-Mishriyat Al-Amat, 1986.
Marzuki, Keterlibatan Perempuan dalam Bidang Politik pada Masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin
Masruri, Hadi. Peran Sosial Perempuan dalam Islam, Egalita Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender, Volume VII No. 1 Januari 2012.
Mattson, Ingrid. A Believing Slave is Better than an Unbeliever: Status and Community in Early Islamic Society and Law (University of Chicago doctoral dissertation, 1999.
Mulia,Musdah benarkah Agama Melawan perempuan, Jurnal Perempuan No.52, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2007.
Muslim, S{ahi>h Muslim. Kita>b al-Jiha>d, Ba>b: al-Nisa>’ al-Gha>ziya>t Yurdlh Lahunn wa la> Yas}a>m, Jilid V.
Schimmel, Annemarie. Jiwaku adalah Wanita: Aspek Feminim Dalam Spritualitas Islam, trj. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1998.
Shihab, Quraish. Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw, Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih. Jakarta:Lentera Hati, 2012.
Subhan, Zaitunah. Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan. Jakarta: el-Kahfi, 2008.
Su’ud, Abdul Abu Tafsir Aisyah Ummul Mukminin. Jakarta: Darul Falah, 1422 H.
Syuqqah, Muhammad Abu. Tahrir al-Mar’ah fi “Ashri ar-Risalah. Beirut: Dar al-Qalam, 1990.
Syuqqah, Abdul Halim Abu. Kebebasan Wanita, Jilid 2, terj. Chairul Halim. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender  Perspektif al-Qur’an. Jakarta: Paramadina, 2001.
Wargadinata,Wildana. Tradisi Arab Di Masa Nabi. Jurnal el-harakah edisi 60, Juli-Oktober 2003.world.net/index, pendidikan-wanita-dalam-islam.
world.net/index, pendidikan-wanita-dalam-islam.



[1] Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2003), 39.
[2] Hadi Masruri, Peran Sosial Perempuan dalam Islam, Egalita Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender, Volume VII No. 1 Januari 2012, 24.
[3] Hadi Masruri, Peran Sosial Perempuan dalam Islam, Egalita Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender, Volume VII No. 1 Januari 2012, 25.
[4] Disini perlu diluruskan sedikit menyangkut perempuan pada masa Jahiliyah. Bahwa tidak semua anggota masyarakat Jahiliyah melecehkan perempuan, karena tidak jarang perempuan pada masa Jahiliyah memiliki kepribadian yang tinggi. Kendati cukup banyak ditemukan riwayat dan syair-syair Jahiliyah yang menggarisbawahi kedudukan terhormat perempuan. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw, Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih, (Jakarta:Lentera Hati, 2012), 117.
[5] Q.S An-Nahl (16): 58-59.
[6] Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, Pribadi Agung Rasulullah, terj. Tajuddin (Jakarta: Pustaka Ikadi, 2008), 36.
[7] Ingrid Mattson, A Believing Slave is Better than an Unbeliever: Status and Community in Early Islamic Society and Law (University of Chicago doctoral dissertation, 1999), 200.
[8] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender  Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001),138.
[9] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender  Perspektif al-Qur’an, 139.
[10] Wildana Wargadinata, Tradisi Arab Di Masa Nabi (Jurnal el-harakah edisi 60, Juli-Oktober 2003), 53-54.
[11] Ingrid Mattson, Ulumul Qur’an Zaman Kita: Pengantar untuk Memahami Konteks, Kisah, dan Sejarah Al-Qur’an, terj. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: aman, 2013), 34.
[12] Hadi Masruri, Peran Sosial Perempuan dalam Islam, 24.
[13] Amin bin Abdullah asy-Syakawi, Kedudukan Wanita dalam Islam, terj. Muzaffar Sahidu, Islamhouse.com, 2010, 4.
[14] Hadi Masruri, Peran Sosial Perempuan dalam Islam, Egalita Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender, Volume VII No. 1 Januari 2012, 25.
[15] Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan (Jakarta: el-Kahfi, 2008), 74.
[16] Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw,117.
[17] At-Turmuzi, Sunan at Turmudzi (Ba>b ma> ja>’a fi> h}aqq al-mar’ah ‘ala> zaujiha: Al-Maktabah Al-sha>milah) Juz 5, 5.
[18]  Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, 75.
[19] Lihat Bukha>ri>, S{ah}i>h al-Bukha>ri, Jilid 6 (Kitab al-Jiha>d, Bab: radd al-Nisa>’ al-Qatla> wa al-jurhiy), 460.
[20] Muslim, S{ahi>h Muslim, Jilid V (Kita>b al-Jiha>d, Ba>b: al-Nisa>’ al-Gha>ziya>t Yurdlh Lahunn wa la> Yas}a>m), 199.
[21] Lihat Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender  Perspektif al-Qur’an, 121.
[22] Ahmad bin Hambal, Sunan ah}mad bin H}ambal  (Al-Maktabah Al-sha>milah) Juz 6, 450.
[23] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender  Perspektif al-Qur’an, 123.
[24] Ibrahim Hosen dan Ahmad Munif SUratmaputra, Al-Qur’an dan Peranan Perempuan dalam Islam (Jakarta: IIQ, 2007), 54.
[25] Muhammad Abu Syuqqah, Tahrir al-Mar’ah fi “Ashri ar-Risalah (Beirut: Dar al-Qalam, 1990), 173.
[26] Q.S al-Nisa'/4:12
[27] Musdah Mulia, Benarkah Agama Melawan perempuan, Jurnal Perempuan No.52, 2007 (Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta), 79.
[28] Q.S. al-Baqarah/2:228 dan s. al-Nisa'/4:34
[29] Q.S al-Nisa'/4:3
[30] Musdah Mulia, Benarkah Agama Melawan perempuan, 79.
[31] Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, 194.
[32] Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jilid 2, terj. Chairul Halim (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 65.
[33] Lihat Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan perempuan, 109.
[34] (Q.S Al-Mumtah}anah, 60:12). Pakar agama Islam menjadikan bay'at para perempuan itu sebagai bukti kebebasan perempuan untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan kehidupan serta hak mereka. Dengan begitu, mereka dibebaskan untuk mempunyai pilihan yang berbeda dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan terkadang berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri. Lihat Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huquq Al-Mar'at fi Al-Mujtama' Al-Islamiy (Kairo: Al-Haiat Al-Mishriyat Al-Amat, 1986), 60.
[35] Marzuki, Keterlibatan Perempuan dalam Bidang Politik pada Masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin , 10.
[36] Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh PemberdayaanPerempuan, 111.
[37] Bint al-Syahi’, Istri-Istri Nabi saw, 58.
[38] Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, 270-271.
[39] Ibn Atsir, Usad al-Gha>bah, dikutip oleh Asghar Ali Engiiner, Pembebasan Perempuan, 272.
[40] Asghar Ali Engiiner, Pembebasan Perempuan, 272.
[41] Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jilid 2, terj. Chairul Halim, 63.
[42] Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah Wanita: Aspek Feminim Dalam Spritualitas Islam, trj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1998), 59.
[43]Muhandis Azzuhri, Khadijah Binti Khuwailid Sosok Perempuan Karir, (Muwazah, Vol.1, No.2, Juli-Desember 2009), 92.
[44] Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw, 69.
[45] Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, 12.
[46] Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jilid 2, terj. Chairul Halim, 403.
[47] Muhandis Azzuhri, Khadijah Binti Khuwailid Sosok Perempuan Karir, (Muwazah, Vol.1, No.2, Juli-Desember 2009), 95.
[48] world.net/index, pendidikan-wanita-dalam-islam, diakses tanggal 19 November 2013.
[49] Lihat Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab Berpeegang Teguh pada Al-Qur’an dan Hadis, Bab: Nabi Saw mengajarkan kepada umatnya ilmu yang telah diberikan Allah kepadanya, Jilid 17, 55.
[50] Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jilid 2, terj. Chairul Halim (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 40.
[51]http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Jender3.html. Nasarudddin Umar, Perspektif Jender dalam Islam. diakses tanggal 19 November 2013.
[52] Abdul Abus-Su’ud, Tafsir Aisyah Ummul Mukminin (Jakarta: Darul Falah, 1422 H), 9.

0 comments:

Posting Komentar