Minggu, 29 Oktober 2017

Pengalaman dari Kecil (edisi dibuang sayang..hehe)



Hai, namaku Hidayati. Waktu kecil biasa dipanggil yati, dan ketika di pesantren dipanggil Hidayah, ada juga sih yang manggil Hiday dan de’ Day, itu yang manggil teman-teman deketku, katanya sih biar lebih akrab. Nah, saat memasuki organisasi HMI di bangku kuliah, namaku berubah drastis menjadi “ANA”. Anehnya, nama ini gak ada hubungannya dengan nama asliku, tapi teman-teman, senior dan junior ku lebih kenal Ana ketimbang Yati. Aku sendiri heran kenapa bisa begitu. Hhmm..mungkin karena aku tamat pesantren yang terbiasa manggil ana sama diri sendiri, trus awal-awal kuliah kebiasaan itu belum hilang, nah teman-teman pun ikut-ikutan manggil ‘Ana’, padahal kan artinya “saya”..hehe. tapi aku sih fine-fine aja, selama aku dan teman-teman senang.
Ada lagi yang lucu, di sekolah tempatku mengajar sekarang, namaku jadi beragam, ada yang manggil bu Hidayati, bu Daya dan bu Hida,,tapi ini semua masih ada hubungannya sama namaku. Anggap saja ini panggilan kesayangan dari anak-anak didik.
Oh ya kalau di rumah, tetangga-tetangga dan siswa-siswi yang belajar di “Arbi Institute” lebih mengenalku dengan “Bunda Qiya”. Ini karena anak pertamaku namanya Qiya. lah kalau lahir anak kedua gimana??
Inilah namaku dengan panggilan yang bervariasi. Tapi tenang aja nama asliku tidak berubah, hanya ditambah S.Th.I dan MA saja di belakangnya, menjadi HIDAYATI, S.Th.I, MA
Kali ini aku ingi bercerita, tentang sepenggal kisah pengalamanku dari kecil. Sebelum masuk sekolah Tk aku sudah belajar bertani dengan kakek dan nenek. Hal itu dilakukan karena aku tinggal bersama kakek dan nenek di desa sejak umur dua tahun lebih. Kakek sangat menyayangiku sehingga saat  itu aku terpaksa berpisah dengan Ibu, Bapak dan saudara yang tinggal di Bukittinggi. Di desa aku diajarkan bertani oleh kakek, menanam kopi, menanam cabe, mencabut rumput serta memetik buah dan sayur. Aku diajarkan bagaimana proses membuat kopi dari tahap awal; dipetik, ditumbuk, dijemur, disangrai kemudian dihaluskan, nah jadilah kopi bubuk nan wangi dan sedap.
Aku juga sering menggembala kerbau bersama kakek. Tak sedikit jarak yang kami tempuh demi membawa si kerbau bertamasya sambil menyantap rerumputan yang panjang dan hijau. Terik matahari dan rintikan hujan tak menghalangiku dan kakek menggembala kerbau. Di perjalanan aku bernyanyi riang gembira, berjalan sambil  menari-nari mengiringi kerbau. Aku benar-benar anak gembala ketika itu. Walaupun terpisah dari ayah, ibu dan saudara-saudara, namun hari-hariku selalu kulalui dengan senang gembira. Di sela-sela waktu kakek selalu menghiburku dengan cerita-cerita dongeng dan mengajariku lagu-lagu bagus yang mudah kuhapal. Kakek juga sering mengajariku berpidato dan membaca ayat-ayat pendek. Tak heran diusiaku yang masih dini aku sudah hapal ayat-ayat pendek, lagu anak-anak dan tentunya memiliki banyak pengalaman.  Sungguh aku benar-benar menikmati masa kanak-kanak ku.
Pada saat usiaku menginjak lima tahun, aku dibawa oleh ibu tinggal di kota Bukitinggi bersama keluarga. Ini adalah saatnya aku masuk sekolah. Aku di daftarkan oleh ibu ke sekolah Tk Teladan Pertiwi di kota Bukittinggi. Sejak Tk aku sudah memiliki banyak teman. Aku juga pemberani dan cerewet sehingga dijuluki “burung murai” oleh keluarga. Oya, pada saat Tk aku sudah mulai aktif dalam berbagai kegiatan, setiap ada acara selalu dipilih untuk menari oleh ibu guru. Pernah juga mengikuti lomba melukis di limpapeh Bukittinggi. Aku sangat bangga meski belum mendapat juara.
 Kadang kala aku suka nakal disekolah. Pernah beberapa orang teman menangis gara-gara ku jahili. Ada teman yang aku dorong dari ayunan, dan ada juga yang ku cubit. Kejailan ini kadang muncul lagi saat aku menduduki bangku sekolah dasar. Hal buruk yang tidak terlupakan saat aku Sd yaitu ketika salah seorang teman sekelas aku pukul pakai pensil dan salah seorang teman laki-laki sempat ku pukul juga. Setahun, dua tahun,dan tiga tahun tlah berlalu. Tak terasa aku telah duduk di bangku kelas empat SD. Aku tergolong anak yang pintar dan aktif meski kadang-kadang aku suka jahil. Saat itu aku sangat dekat dengan abangku, karna jarak umurku dengan dia tidak terlalu jauh. Aku anak kelima dalam keluarga setelah abangku. Kami sering main berdua, bahkan main sepeda seharian entah kemana, sehingga ibu sering marah kepada kami. Akhirnya ibu mencari alternatif agar kami tidak ”malala” melulu. Ibu membuat makanan kecil seperti bakwan, pastel dan korket, kemudian menyuruh kami berdua menjajakannya di pasar. Kami begitu bersemangat mengiyakan usulan ibu, karna dari penjualan itu kami mendapat beberapa persen, waktu itu aku dapat uang sekitar 2 sampai 3 ribu sehari, kan lumayan.
Setiap pulang mengaji kira-kira pukul 3 siang, abang dan aku berjalan dengan membawa keranjang berisi gorengan. Baru beberapa hari saja wajahku dan abang sudah mulai familiar di kampung Cina, pasar atas, dan pasar bawah, daerah pasar di kota Bukittinggi. Mulai dari karyawan toko, kios, swalayan  bahkan karyawan hotel pun tak bosan membeli makanan kecil yang kubawa. Karna selain murah, gorengan buatan ibuku sangat gurih dan enak, sehingga para pelanggan tak sabar menunggu kedatangan kami setiap hari. Inilah usaha yang kugeluti semenjak kelas 4 sampai aku duduk di kelas 6 SD . Star dari jam 3 sore sampai ba’da maghrib. Dari penjualanku setiap hari aku mampu mengumpulkan banyak uang dan aku tabungkan kepada ibu. Namun tabunganku itu telah habis dipakai untuk menambah uang orang tua ketika kami membeli rumah baru di perumahan Mutiara Sakinah.
Selama SLTP dan SLTA aku fokus belajar di bangku sekolah demi mencapai cita-cita. Setelah menamatkan Aliyah dan sebelum memasuki bangku perkuliahan, aku mendapat kesempatan yang sangat berharga, yaitu mengajar di sebuah pesantren sebagai tanda pengabdianku terhadap apa yang telah diberikan sekolah ku dulu. Selama satu tahun aku belajar menjadi seorang guru yang sebenarnya. Aku mengajar tingkat  Tsanawiyah dan Aliyah dengan berbagai mata pelajaran seperti bahasa arab, bahasa Inggris, mahfudzat, muthala’ah, aqidah akhlak, geografi dan Penjaskes. Aku sangat senang dan bangga karna diberi kesempatan mengajar dan mengamalkan ilmu-ilmu yang ku peroleh selama ini. Terima kasih Gontor, terimakasih Adlaniyah, karena Gontor telah memberi kesempatan kepadaku untuk mengajar, dan Adlaniyah telah bersedia menfasilitasiku belajar bersosialisasi di lingkungan pondok khususnya dan masyarakat umumnya.
Nah, inilah pengalamanku dalam membangun jiwa entrepreneurship yang sudah dimulai sejak kecil. Sekarang meskipun sudah menginjak usia melebihi dewasa, aku masih mempunyai tekad yang kuat untuk menjadi seorang pengusaha yang sukses.

0 comments:

Posting Komentar