Hai, namaku Hidayati. Waktu kecil biasa dipanggil yati, dan ketika di
pesantren dipanggil Hidayah, ada juga sih yang manggil Hiday dan de’ Day, itu
yang manggil teman-teman deketku, katanya sih biar lebih akrab. Nah, saat
memasuki organisasi HMI di bangku kuliah, namaku berubah drastis menjadi “ANA”.
Anehnya, nama ini gak ada hubungannya dengan nama asliku, tapi teman-teman,
senior dan junior ku lebih kenal Ana ketimbang Yati. Aku sendiri heran kenapa
bisa begitu. Hhmm..mungkin karena aku tamat pesantren yang terbiasa manggil ana
sama diri sendiri, trus awal-awal kuliah kebiasaan itu belum hilang, nah
teman-teman pun ikut-ikutan manggil ‘Ana’, padahal kan artinya “saya”..hehe.
tapi aku sih fine-fine aja, selama aku dan teman-teman senang.
Ada lagi yang lucu, di sekolah tempatku mengajar sekarang, namaku jadi beragam,
ada yang manggil bu Hidayati, bu Daya dan bu Hida,,tapi ini semua masih ada
hubungannya sama namaku. Anggap saja ini panggilan kesayangan dari anak-anak
didik.
Oh ya kalau di rumah, tetangga-tetangga dan siswa-siswi yang belajar di “Arbi
Institute” lebih mengenalku dengan “Bunda Qiya”. Ini karena anak pertamaku
namanya Qiya. lah kalau lahir anak kedua gimana??
Inilah namaku dengan panggilan yang bervariasi. Tapi tenang aja nama asliku
tidak berubah, hanya ditambah S.Th.I dan MA saja di belakangnya, menjadi
HIDAYATI, S.Th.I, MA
Kali ini aku ingi bercerita, tentang sepenggal kisah pengalamanku dari
kecil. Sebelum masuk sekolah Tk aku sudah belajar bertani dengan kakek dan
nenek. Hal itu dilakukan karena aku tinggal bersama kakek dan nenek di desa
sejak umur dua tahun lebih. Kakek sangat menyayangiku sehingga saat itu aku terpaksa berpisah dengan Ibu, Bapak
dan saudara yang tinggal di Bukittinggi. Di desa aku diajarkan bertani oleh
kakek, menanam kopi, menanam cabe, mencabut rumput serta memetik buah dan sayur.
Aku diajarkan bagaimana proses membuat kopi dari tahap awal; dipetik, ditumbuk,
dijemur, disangrai kemudian dihaluskan, nah jadilah kopi bubuk nan wangi dan
sedap.
Aku juga sering menggembala kerbau bersama kakek. Tak sedikit jarak
yang kami tempuh demi membawa si kerbau bertamasya sambil menyantap rerumputan
yang panjang dan hijau. Terik matahari dan rintikan hujan tak menghalangiku dan kakek
menggembala kerbau. Di perjalanan aku bernyanyi riang gembira, berjalan sambil menari-nari mengiringi kerbau. Aku
benar-benar anak gembala ketika itu.
Walaupun terpisah dari ayah, ibu dan saudara-saudara, namun hari-hariku selalu
kulalui dengan senang gembira.
Di sela-sela waktu
kakek selalu
menghiburku dengan cerita-cerita dongeng dan mengajariku lagu-lagu bagus yang
mudah kuhapal. Kakek juga sering mengajariku berpidato dan membaca ayat-ayat
pendek. Tak heran diusiaku yang masih
dini aku sudah hapal ayat-ayat pendek, lagu anak-anak dan tentunya memiliki banyak
pengalaman. Sungguh aku benar-benar
menikmati masa kanak-kanak ku.
Pada saat usiaku menginjak lima tahun, aku dibawa
oleh ibu tinggal di kota Bukitinggi bersama keluarga. Ini adalah saatnya aku masuk
sekolah. Aku di daftarkan oleh ibu ke sekolah Tk Teladan Pertiwi di kota Bukittinggi.
Sejak Tk aku sudah memiliki banyak teman. Aku juga pemberani dan cerewet
sehingga dijuluki “burung murai” oleh keluarga. Oya, pada saat Tk aku sudah
mulai aktif dalam berbagai kegiatan, setiap ada acara selalu dipilih untuk
menari oleh ibu guru. Pernah juga mengikuti lomba
melukis di limpapeh Bukittinggi. Aku sangat bangga meski belum mendapat juara.
Kadang kala aku suka nakal
disekolah. Pernah beberapa orang teman menangis gara-gara ku jahili. Ada teman yang aku dorong
dari ayunan, dan ada juga yang ku cubit. Kejailan ini kadang muncul lagi saat aku menduduki bangku sekolah dasar. Hal
buruk yang tidak terlupakan saat aku Sd yaitu ketika salah seorang teman
sekelas aku pukul pakai pensil dan salah seorang teman laki-laki sempat ku
pukul juga. Setahun, dua tahun,dan tiga tahun tlah
berlalu. Tak terasa aku telah duduk di bangku kelas empat SD. Aku tergolong
anak yang pintar dan aktif meski kadang-kadang aku suka jahil. Saat itu aku
sangat dekat dengan abangku, karna jarak umurku dengan dia tidak terlalu jauh. Aku
anak kelima dalam keluarga setelah abangku. Kami sering main berdua, bahkan
main sepeda seharian entah kemana, sehingga ibu sering marah kepada kami. Akhirnya ibu mencari alternatif agar
kami tidak ”malala” melulu. Ibu membuat makanan kecil seperti bakwan, pastel
dan korket, kemudian menyuruh kami berdua menjajakannya di pasar. Kami begitu
bersemangat mengiyakan usulan ibu, karna dari penjualan itu kami mendapat
beberapa persen, waktu itu aku dapat uang sekitar 2 sampai 3 ribu sehari, kan
lumayan.
Setiap pulang mengaji kira-kira pukul 3 siang, abang dan aku berjalan dengan membawa
keranjang berisi gorengan. Baru beberapa hari saja wajahku dan abang sudah
mulai familiar di kampung Cina, pasar atas, dan pasar bawah, daerah pasar di kota Bukittinggi. Mulai dari
karyawan toko, kios, swalayan bahkan karyawan
hotel pun tak bosan membeli makanan kecil yang kubawa. Karna selain murah,
gorengan buatan ibuku sangat gurih dan enak, sehingga para pelanggan tak sabar
menunggu kedatangan kami setiap hari. Inilah usaha yang kugeluti semenjak kelas 4 sampai aku duduk
di kelas 6 SD . Star dari jam 3 sore sampai ba’da maghrib. Dari penjualanku
setiap hari aku mampu mengumpulkan banyak uang dan aku tabungkan kepada ibu.
Namun tabunganku itu telah habis dipakai untuk menambah uang orang tua ketika kami membeli
rumah baru di perumahan Mutiara Sakinah.
Selama SLTP dan SLTA aku fokus belajar di bangku sekolah demi
mencapai cita-cita. Setelah menamatkan Aliyah dan sebelum memasuki bangku
perkuliahan, aku mendapat kesempatan yang sangat berharga, yaitu mengajar di
sebuah pesantren sebagai tanda pengabdianku terhadap apa yang telah diberikan
sekolah ku dulu. Selama satu tahun aku belajar menjadi seorang guru yang
sebenarnya. Aku mengajar tingkat
Tsanawiyah dan Aliyah dengan berbagai mata pelajaran seperti bahasa
arab, bahasa Inggris, mahfudzat, muthala’ah, aqidah akhlak, geografi dan
Penjaskes. Aku sangat senang dan bangga karna diberi kesempatan mengajar dan
mengamalkan ilmu-ilmu yang ku peroleh selama ini. Terima kasih Gontor,
terimakasih Adlaniyah, karena Gontor telah memberi kesempatan kepadaku untuk
mengajar, dan Adlaniyah telah bersedia menfasilitasiku belajar bersosialisasi di
lingkungan pondok khususnya dan masyarakat umumnya.
Nah, inilah pengalamanku dalam membangun jiwa
entrepreneurship yang sudah dimulai sejak kecil. Sekarang meskipun sudah
menginjak usia melebihi dewasa, aku masih mempunyai tekad yang kuat untuk
menjadi seorang pengusaha yang sukses.
0 comments:
Posting Komentar