STIQ Ar-Rahman Bogor kedatangan seorang “pendekar pemikiran Islam” Dr. Henri Shalahuddin,
MIRKH pada Jum’at (30/11/2018) lalu. Beliau adalah peneliti senior INSIST, meraih
gelar Doktor Universiti Malaya Kuala Lumpur dalam Pemikiran Islam, dengan judul
disertasi: “Wacana Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Islam
di Institusi Pengajian Tinggi Islam di Indonesia.” Lulusan KMI Pesantren Modern Gontor ini juga aktif menulis
artikel, makalah dan buku. Beliau menyelesaikan gelar sarjana di Institut Studi
Islam Darussalam (ISID) Gontor tahun 1999, dan menyelesaikan gelar magister dalam
bidang ushuluddin di Internasional Islamic University Malaysia (IIUM) tahun
2003.
Pada kesempatan
kali ini, Henri Shalahuddin mengisi Kuliah Umum Ilmu Kalam di hadapan seluruh Mahasiswa.
Para Mahasiswa dan Dosen yang hadir menyambut dengan antusias agenda yang
dilaksanakan di Aula STIQ Ar-Rahman tersebut. Menurut Henri, pembahasan mengenai
Ilmu Kalam dalam Islam sebenarnya bukanlah kajian baru, karena pembahasan itu
banyak dijumpai dalam kitab-kitab Akidah, baik klasik maupun kontemporer.
Kerena banyaknya penyebutan lain dari Ilmu ini, maka Ilmu Kalam menempati
kedudukan yang tinggi dan cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Diantara
nama-nama lain dari Ilmu Kalam yaitu: Ilmu Tauhid, Ilmu Aqa’id, Ilmu
Ushuluddin, Ilmu Asma’ wa Shifah, dan Teologi Islam.
Beliau
menegaskan bahwa Ilmu Kalam bukanlah disiplin ilmu yang berbahaya dan
menyesatkan sebagaimana penilaian sebagian ulama, sehingga harus dihindari dan
dijauhi. Akan tetapi, mempelajari Ilmu Kalam ini sangatlah penting untuk
menjaga akidah agar tidak mudah diombang ambing oleh
peredaran zaman. Perumpamaan pentingnya Ilmu
Kalam ini seperti pentingnya obat untuk kesembuhan penyakit hati. Sesuai
definisinya, ilmu kalam adalah ilmu yang mengkaji
pokok-pokok keimanan dengan dalil-dalil ‘aqli dan menolak para pembuat bid'ah
dalam masalah keimanan yang menyimpang dari madzhab salaf dan Ahlussunnah. Selain
itu, Ilmu Kalam juga memiliki pengaruh yang besar bagi semua ilmu, seperti:
tasawuf, filsafat, maupun fiqih. Ilmu ini membahas masalah pokok-pokok agama dari
sisi penjelasan tema-temanya, afirmasi (itsbat), membantah keragu-raguan
yang berkenaan dengan pokok-pokok agama,
dan menetapkan kaedah-kaedah untuk cabang permasalahan yg muncul.
Dalam presentasinya, Henri juga
memaparkan skema keterkaitan akal dan wahyu karena keduanya digunakan dalam
Ilmu Kalam untuk menghindari rusaknya keseimbangan dalam memahami kepercayaan
agama. Dalam tradisi intelektual Islam, akal dan wahyu tidak
bisa dipisahkan dan dipertentangkan. Akal ibarat mata dan wahyu adalah pelita.
Membuang pelita karena merasa punya mata adalah kesombongan. Demikian halnya
dengan memejamkan mata karena merasa telah menggenggam pelita adalah sebuah
kedunguan. Beliau mengambil sebuah perumpaan dari Imam al-Ghazzāli, bahwa orang
yang menafikan akal dan mencukupkan dirinya dengan cahaya al-Quran, ibaratnya
seperti orang yang condong kepada cahaya matahari tapi menutup kelopak matanya.
Sebaliknya, orang yang menyandarkan pada akal dan argumentasi
spekulatif semata dalam mencari kebenaran, tanpa mengindahkan dalil-dalil
al-Qur'an dan hadits ibarat orang yang buta matanya. Mengakibatkan fanatisme pada kebenaran relatif yang
diperolehnya, senang berdebat dan memandang
golongan lain dengan pandangan kebencian. Oleh karena itu, akal bersama wahyu haruslah sejalan karena
keduanya adalah cahaya di atas cahaya.
Di penghujung kuliah umum, beliau mengingatkan kepada mahasiswa
bahwa tantangan pemikiran pada zaman modern ini begitu marak dan serius. Untuk
itu, mahasiswa diajak untuk selalu memperkuat argumentasi dan pemikirannya yang
berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits. Sehingga nantinya diharapkan lahir
puluhan bahkan ratusan pakar dari STIQ Ar-Rahman yang ikhlas berjuang
untuk mewujudkan tatanan masyarakat
Indonesia yang adil dan beradab, yang selamat dari berbagai paham perusak
aqidah dan akhlak umat Islam.
0 comments:
Posting Komentar