Kamis, 16 Januari 2014

pemikiran Tokoh



Pandangan T{aba>t}aba>’i Tentang Ahl al-Bait dalam Tafsir
Al-Miza>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n



Abstrak
Penafsiran terhadap Al-Qur’an tumbuh dan berkembang sejak masa awal perkembangan Islam. Dinamika penafsiran al-Qur’an tersebut terus berkembang dengan munculnya berbagai macam corak dan metode penafsiran yang ditawarkan oleh para mufassir baik klasik maupun modern. Tafsi>r Al-Miza>n karya Allamah T{aba>t}aba>’i, adalah satu dari sekian banyak kitab tafsir yang tergolong modern dan  menawarkan pendekatan lain dalam menafsirkan kitab suci al-Qur’an. Tulisan ini berupaya menelusuri sosok dan pemikiran T{ab>at}aba>’I khususnya mengenai pandangannya terhadap Ahlu al-Bait dalam Al-Qur’an.

A.  Pendahuluan
T{aba>t{aba>’i adalah seorang mufassir ternama di kalangan syi’i abad ke-20 yang cukup terkenal dengan karya monumentalnya, Tafsi>r al-Miza>n sebanyak 20 jilid.[1] Dengan latar belakang teologis yang dianutnya, yaitu Syi`ah, T{aba>t{aba>’i  berusaha menyajikan penafsiran-penafsiran yang sejalan dengan paham Syi`ah Imamiyah serta meninggalkan paham yang tidak sesuai dengan keyakinan teologisnya. Hal demikian merupakan konsekuensi logis dari sikap teologi yang diyakininya. Meski begitu, tak jarang Thabathaba’i mengutip dan mengambil pendapat ulama dari kalangan Sunni yang tertuang dalam kitab-kitab tafsir mereka.[2]
Mengenai keterkaitan dengan ke-Syi’ah-an T{aba>t}aba>’i>, dalam hal ini ia berpendapat bahwa Rasul dan para imam berkewajiban untuk menjelaskan al-Qur’a>n.[3] Merekalah yang harus menjadi pembimbing manusia untuk mencapai pengetahuan tentang al-Qur’a>n. Sebagai dasarnya T{aba>t}aba>’i@ mengutip hadis S{aqalain yang memang juga masyhur di kalangan ahl Sunnah. Argumen ini dikuatkan dengan adanya ayat al-Qur’a>n yang memang membuktikan kesucian para Ahl al-Bait:
Sungguh tiada lain Allah berkehendak menghilangkan dosa-dosa dari kalian Ahl al-Bait dan mensucikan kalian dengan sesuci-sucinya.[4]
Ayat ini juga diperkuat dengan ayat lain yang menyebutkan bahwa al-Qur’a>n hanya bisa dijamah mereka yang telah disucikan, “Sesungguhnya al-Qur’an ini sangatlah mulia dalam kitab yang terpelihara, tidak akan menyentuhnya kecuali orang-orang yang telah disucikan.” [5]
Untuk mengenal T{aba>t}aba>’i lebih jauh, menarik untuk melihat karya beliau dari berbagai sisinya, termasuk dari sisi pemikirannya mengenai Ahl al-Bait dalam Al-Qur’an. Tulisan ini akan membahas secara konprehensif mengenai  biografi T{aba>t}aba>’i dan karya-karyanya, motivasi penulisan tafsir, sumber penafsiran, Thariqah penafsiran, corak tafsir, mazhab, dan karakteristik kandungannya.

  1. Mengenal Muhammad Husein al-T{aba>t}aba>’I dan Karyanya Tafsi>r Al-Miza>n.
  1. Biografi T{aba>t}aba>’I dan Karya-Karyanya
Allamah as-Sayid Muhammad Husein al-T{aba>t}aba>’I datang dari keluarga Tabriz, yaitu keluarga T{aba>t}aba>’i.[6] Nama lengkapnya adalah Sayyid Muhammad Husain bin Sayyid Muhammad Husain bin al-Mirza Ali Ashghâr Syekh al-Isla>m al-T{aba>t}aba>’i al-Tibriz al-Qa>d}i.[7] Ia adalah putra as-Sayid Muhammad bin as-Sayid Muhammad Husain al-T{aba>t}aba>’i. Lahir di Tabriz pada tanggal 30 Zulhijjah 1321 H (17 Maret 1904 M).[8] Ibunya meninggal ketika ia masih berusia lima tahun, menyusul kemudian ayahnya ketika ia berusia 9 tahun. Sejak itu ia diasuh oleh seorang pembantu laki-laki dan perempuan. Merekalah yang mengantarkan T{aba>t}aba>’i untuk memperoleh pendidikan dasar dan  menengah melalui guru-guru privat. Pada saat itu T{aba>t}aba>’I juga mendalami al-Qur’an dan mempelajari karya-karya klasik tentang sastra dan sejarah. [9]
Setelah menyelesaikan pendidikan keagamaan di Tabriz, sekitar tahun 1341 H T{aba>t}aba>’i pergi ke an-Najaf al-Ashraf (Irak) untuk mendapatkan studi-studi yang lebih tinggi. Di sana ia belajar bersama ulama-ulama termasyhur seperti asy-Syaikh al-Mirza Muhammad Husain al-Na’ini dan asy-Syaikh Ishfahani. Mereka termasuk diantara ulama-ulama paling menonjol bukan saja di bidang-bidang yurisprudensi Syiah dan prinsip-prinsip dasar yurisprudensi, namun juga dalam dalam semua studi Islam. T{aba>t}aba>’I banyak dipengaruhi oleh dua guru ini dalam perkembangan pemikiran-pemikiran dan pengetahuannya.[10]
T{aba>t}aba>’I juga tertarik pada pengetahuan-pengetahuan ‘aqliyah, dan dia belajar semua seluk-beluk matematika tradisional dari Sayyed Abu al-Qa>sim Khansari. Ia mendalami filsafat islam tradisional melalui buku Al-Shifa>’ karya Ibnu Sina, Asfa>r dan Masha>’ir karya Shadruddi>n shira>zi, Tamhi>d al-Qawa>’id karya Ibnu Kurkh dan Akhla>q karya Ibnu Maskawaih. Selain itu ia juga mempelajari ilmu Gramatika, sintaksis, fiqih, dan teologi.[11]
Selain mengikuti pelajaran formal, atau yang disebut oleh sumber-sumber muslim tradisional ilmu hushu>lî atau ilmu yang dicapai lewat belajar secara konvensional, Al-T{aba>t}aba>'î juga mempelajari ilmu hud}u>rî, ilmu-ilmu yang diperoleh secara langsung dari Allah SWT atau ma’rifat. Selanjutnya ia beruntung mendapatkan seorang guru besar dalam ilmu makrifat Islam, Mirza `Alî Qa>dhi>, yang menuntunnya menuju rahasia-rahasia Ilahi dan kesempurnaan rohani. Sebelum bertemu dengan Qâdhî, ia telah mempelajari Fus}u>s} Al-Hikam karya monumental Ibn ‘Arabi> (w. 638 H/1240 M) dan mengira telah menguasainya dengan baik. Ketika bertemu dengan gurunya ini, ia baru menyadari belum tahu apa-apa. Ia juga mengisahkan bahwa ketika Mirza ‘Ali> mulai mengajarkan Fus}u>s} Al-H}ika>m, semua dinding ruang seakan ikut berbicara mengenai hakekat makrifat dan ikut serta dalam pengungkapannya. Berkat gurunya itu, tahun-tahun di Najaf bagi Al-T{aba>t}aba>'i> tidak hanya menjadi periode pencapaian intelektual, tetapi juga pencapaian praktek-praktek kezuhudan dan spiritual yang memungkinkannya mencapai kondisi spiritual. Pendeknya, di Najaf ia menjalani latihan spiritual dan memulai memasuki dimensi batin Islam yang di kalangan Syi`ah dikaitkan ‘irfa>n (gnosis).[12]
Pada tahun 1934 T{aba>t}aba>’i kembali ke Tabriz.[13] Di sini dia disambut hangat sebagai seorang ulama. Selama 10 tahun ia tinggal di sana, dan itu dirasakannya sebagai “masa kekeringan spritual dalam kehidupannya” karena terhalang dari kesibukan intelektual dan perenungan, disebabkan karena kontak-kontak sosial yang tak pernah terhindarkan dengan mencari penghidupan dengan bertani. Walaupun demikian, di tempat tersebut T{aba>t}aba>’I juga sempat menghasilkan beberapa karya ilmiahnya, serta mengajar sejumlah kecil murid.[14]
Pada tahun 1945 T{aba>t}aba>’I hijrah ke Qum, pusat pendidikan keagamaan paling penting di Iran.[15] Motif kepergiannya dari Tabriz karena terjadinya peristiwa yang menggemparkan dunia, yakni perang Dunia II dan pendudukan negara Iran oleh Rusia.[16] Motif lainnya sebagaimana tersirat dari pengakuannya sendiri, adalah karena kekeringan rohani yang dialaminya.[17] Di Qum Ia mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan mulai dari etika, filsafat hingga tafsir al-Qur’a>n.[18]
Selain menulis, membimbing masyarakat, mengajarkan al-Qur’an dan filsafat, kegiatan T{aba>t}aba>’I sejak kedatangannya di kota Qum juga berisi kunjungan-kunjungan ke Teheran dan beberapa kota lain. Menurut Sayyed Hosein Nasr, ada tiga kelompok yang menjadi sasaran pembelajaran T{aba>t}aba>’i@ ketika di Qum. Pertama, sejumlah murid tradisional di kota Qum yang kemudian menyebar ke seluruh negara Iran bahkan ke luar negri. Kedua, sejumlah kelompok mahasiswa pilihan yang beliau ajari ilmu ma’arif dan ‘irfan. Dan ketiga, sekelompok orang-orang Iran yang berpendidikan modern, termasuk beberapa orang dari luar Iran, seperti Henry Corbin.[19]
T{aba>t}aba>'I melalui pembaharuan-pembaharuannya dinilai telah melahirkan tokoh-tokoh intelektual yang berhasil membawa perubahan dan kemajuan besar dalam kehidupan masyarakat Iran. Melalui didikannya, muncul tokoh-tokoh Islam syi’ah yang demikian terkenal tidak saja dikalangan Syi’ah tetapi juga di masyarakat Sunni, seperti Murt}ad}a Mut}ahhari, Ayatullah Montazeri, Muh}ammad Mufatteh, Na>sher Maka>rim Shira>zy, dan Ja’far Subha>ni.[20]
Setelah sekian lama mengabadikan hidupnya untuk kemajuan ilmu pengetahuan, akhirnya Al-T{aba>t}aba>'i meninggalkan dunia yang fana ini di daerah Aban pada tahun 1360 H bertepatan dengan bulan November 1981.[21]
Sayyed Hosein Nasr mengungkapkan bahwa T{aba>t}aba>’I merupakan seorang ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan maupun keagamaan, meliputi ilmu fiqh, ushul fiqh, tasawuf sampai ilmu matematika dan filsafat. Sebagai seorang filosof, kecendrungannya terhadap filsafat bahkan sangat mewarnai karya-karya intelektualnya, termasuk kitab tafsirnya Al-mi>zan fi> tafsi>r al-Qur’a>n.[22]
Sebagai seorang penulis yang produktif, Al-Thabâthabâ'î menulis sejumlah besar karya. Beberapa karyanya, sebagian ditulis dalam bahasa Arab dan sebagiannya yang lain dalam bahasa Persia, membahas Al-Qur’an khususnya soal-soal keagamaan.[23]T{aba>t}aba>’i mulai menulis semenjak masih belajar di Najaf. Karya-karya yang ditulisnya di Najaf tersebut adalah: Resa>le dar Borha>n (Risalah tentang penalaran), Rasa>le dar Moghalata. Rasa>le dar Tah}li>l, Rasa>le dar Tarki>b, Rasa>le dar E’taba>riyat, Rasa>le dar Nobovva>t va Mana>ma>t. Ketika bermukim di Tabriz, T{aba>t}aba>’I berhasil menulis buku-buku berikut: Rasa>le dar Asma’ va safa>t, Rasa>le dar Af’a>l, Rasa>le dar Vas’et Miyan-e Khoda va Ensa>n, dsb. Sedangkan kitab T{aba>t}aba>’I yang ditulis di Qum adalah: Tafsi>r al-Miza>n, Us}u>l-e Falsafe wa Ra>ves} Realism, Anotasi untuk Kifa>yat al-Us}u>l, Anotasi untuk al-Asfa>r al-Arba’ah, Shi’a dar Islam, Qor’a>n dar Islam, Sunan An-Nabi, dan kumpulan makalah, artikel, jawaban artikel yang diterbitkan dalam beberapa jurnal.[24]
Di antara karya-karya T{aba>t}aba>’I, Al-Miza>n-lah yang paling berpengaruh. Tafsir ini, menurut Abu> al-Qa>sim Razza>qi>, menduduki posisi penting karena kualitasnya yang istimewa, tidak hanya di antara buku-buku sejenis, tetapi juga di antara berbagai jenis buku keislaman baik agama, ilmu, filsafat dan terlebih lagi dalam bidang tafsir yang pernah ditulis sarjana Sunni maupun Syi’i.[25]

  1. Motivasi Penulisan Tafsir
Ide penulisan tafsir ini muncul ketika T{aba>t}aba>’I datang dari Tabriz ke Qum pada tahun 1325 H. Ia mempelajari dan melihat adanya berbagai kebutuhan dalam diri masyarakat Islam termasuk situasi yang melingkupi lembaga Qum itu sendiri. Kemudian menyimpulkan bahwa lembaga tersebut membutuhkan satu tafsir al-Qur’an untuk mendapatkan sebuah pemahaman yang lebih baik dan instruksi yang lebih efektif untuk sampai pada makna yang tersirat dalam teks yang paling tinggi kedudukannya dalam Islam.[26]  
Di sisi lain, T{aba>t}aba>’i@ juga melihat adanya dominasi gagasan-gagasan materialistik yang berkembang kala itu. Karenanya, T{aba>t}aba>’i@ menginginkan untuk melakukan elaborasi intelektual doktrinal dalam Islam dengan menggunakan argumen-argumen rasional.[27] Karena itu ia merasa berkewajiban memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam kuliah-kuliahnya, T{aba>t}aba>’I memberikan materi tafsir yang kemudian ia tuliskan. Selama diselenggarakannya kuliah, kemungkinan ia telah menuliskan materinya dalam bentuk prosa yang padat namun indah, yang belakangan diterbitkan dalam beberapa volume.[28]
Penting untuk diketahui bahwa dengan keberadaan tafsir ini, sesungguhnya T{aba>t}aba>’I sekaligus ingin membantah asumsi yang menyatakan bahwa Syi’ah memiliki al-Qur’an tandingan, yang berbeda dengan al-Qur’an di dunia Sunni.[29]
Penulisan al-Mi>za>n sendiri sebenarnya adalah hasil dari draf-draf kuliah T{aba>t}aba>’i@ semenjak pertama kali ia di Qum tahun 1325 H. Ia orang yang produktif dalam menulis dan memberikan kuliah dalam berbagai disiplin ilmu. Komentar dan penulisan terhadap al-Qur’a>n adalah salah satu topik yang didiskusikan pada lingkungan akademik di Hawzah, Qum. Mahasiswa-mahasiswa di sanalah yang menginginkan kepada T{aba>t}aba>’i@ untuk membukukan karyanya tersebut. Akhirnya T{aba>t}aba>’i@ pun melakukannya, dan juz 1 selesai ditulis pada 1375 sampai pada juz yang terakhir, dan selesai pada 23 Ramadlan 1392 H/ 1971 M.[30]
Mengenai latar belakang pemberian nama al-Mi@za>n, T{aba>taba>’i> sendiri tidak menyebutkannya. Namun, ‘Ali al-Awsy menyebutkan bahwa hal itu berkaitan dengan karakter kitab tafsirnya yang mengemukakan berbagai pandangan para mufassir, dan ia memberikan sikap kritis dan menimbang pandangan mereka untuk mendapatkan tafsiran yang lebih baik.[31] Menurut Louis Abraham Medoff dalam disertasinya menyatakan bahwa tafsir ini memberikan pengimbangan antara kaum tradisionalis yang terlalu mengacu para guru-guru mereka tanpa kritik dengan kaum modernis yang kadang terlalu keras mengkritik kaum tradisionalis.[32]
Dalam al-Mizan, T{aba>t}aba>’I mengelompokkan empat golongan yang menafsirkan al-Qur’an yaitu teolog, filosof, sufi, dan ahli hadis. Setelah melakukan pengelompokan, T{aba>t}aba>’I  mengulas model penafsiran mereka, lalu kemudian mengkritis pandangan dan pendekatan mereka di dalam menafsirkan al-Qur’an .[33]

  1. Sumber Penafsiran T{aba>taba>’I
Sumber yang digunakan Thabathaba’i dalam karya tafsirnya ini ada dua, yaitu al-Qur’an dan sumber lainya. Sumber pertama merupakan sumber yang tidak bisa dilepaskan darinya, karena ia merupakan pondasi dasar dalam menafsirkan setiap ayat. Ketika mengambil sumber kedua penafsirnya selalu mendiskripsikan kepribadian tokoh yang dijadikan sebagai sumber. Sumber kedua ini berupa kitab-kitab tafsir, baik dari kalangan syi’ah Imamiyah atau Sunni, hadis-hadis Nabi, kamus bahasa Arab, buku-buku suci agama lain, sumber-sumber sejarah, pengetahuan umum, dan rasional, filsafat, koran serta majalah. Namun terkadang di beberapa tempat Thabathaba’i tidak menyebutkan sumber rujukanya secara eksplisit, seperti sewaktu mengutip pendapat Ibn Abbas, Thabathaba’i berkata wa nusiba ila Ibn Abbas wa mala ilaihi al-jumhur.[34]
Sumber penafsiran berupa atsar diambil oleh Thabathaba’i dari tafsir Ibn Abbas. Selain tafsir Ibn Abbas, sumber lain yang dipakai oleh Thabathaba’i adalah kitab tafsir Jami al-bayan fi tafsir al-Qur’an yang ditulis oleh al-Thabari. Dari tafsir ini Thabathaba’i menukil qaul shahabah, thabiin, riwayat-riwayat tentang sebab-sebab turun ayat.
Tafsir al-Miza>n sebagaimana pujian dari Ilyas Klantre dalam bukunya yang berjudul Dali>l al-Miza>n adalah bak sebuah ombak yang meninggi dari samudera ilmu-ilmu al-Quran. Ilmu pengetahuan yang terdapat di dalamnya tak terhingga.[35]Seperti yang tertera dalam buku-buku ulu>m al-Quran bahwa sumber penafsiran terbagi menjadi dua, Bi al-Ra’yi dan Bi al-Ma’thu>r.[36] Sementara kitab tafsir al-Miza>n karya T{aba>t}aba>’i ini sebagaimana diakuinya sendiri adalah sebuah tafsir yang menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (Bi al-Ma’thu>r). Klaim ini diamini oleh oleh Ilyas Klantre dengan menuturkan, “Pengakuan T{aba>t}aba>’i sesuai dengan bukti.”[37]
Meski demikian, dalam prakteknya ternyata sumber penafsiran kitab tafsir al-Miza>n tidak hanya berdasarkan Bi al-Ma’thu>r. Sebab, sebagaimana yang terkandung di dalamnya, T{aba>t}aba>’i juga menggunakan beberapa pendekatan lainnya dalam menafsirkan teks al-Qur’an, seperti pendekatan linguistik, filosofis, sejarah, teologi dan sebagainya.
Di samping itu, T{aba>t}aba>’i juga kerap mengutip pendapat-pendapat para mufassir sebelumnya, baik klasik maupun kontemporer. Sebut saja seperti Ibnu Abbas, Tafsir Thabari, Tafsir al-Kasyâf Zamakhsyari, Tafsir Mafâtîh al-Ghaib Fakhrurrazi, Tafsir al-Manâr dan sejumlah tafsir lainnya.
Selain merujuk pada tafsir-tafsir lain, T{aba>t}aba>’i juga menggunakan beberapa kitab gramatikal dan kamus bahasa Arab, seperti Lisân al-Arab, Al-Muhith dan lainnya. Untuk mengkomparatifkan kajian agama-agama, T{aba>t}aba>’i  juga mengutip beberapa kitab-kitab agama lain, seperti Taurat, Injil, Veda, dan lainnya.[38]

  1. Metode Penafsiran
Al-Mi>za>n adalah karya tafsir yang memiliki metode berbeda dari kitab tafsir lainnya, klasik maupun kontemporer. Karya ini lahir dari tangan orang yang tidaksaja menguasai ilmu-ilmu Islam klasik, namun ia juga sangat akrab dengan filsafat serta ilmu-ilmu kontemporer. Penulisnya juga telah bersentuhan secara luas dengan masyarakat modern, walau tidak secara langsung.[39]
Mengenai metode penafsiran T{aba>>t}aba>’i@ memberikan gambaran penafsiran terhadap al-Qur’a>n yang paling valid adalah penafsiran yang didapat dari perenungan terhadap ayat-ayat al-Qur’a>n itu sendiri. Karenanya, bagi T{aba>t}aba>’i@ ada tiga bentuk metode penafsiran. Pertama, menafsirkan suatu ayat dengan bantuan data ilmiah dan non-ilmiah. Kedua, menafsirkan suatu ayat dengan h{adis-h{adis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam-Imam suci. Dalam hal ini h{adis berfungsi sebagai penambahan atau pelengkap. Ketiga, menafsirkan al-Qur’a>n dengan jalan memanfaatkan ayat-ayat lain yang berdekatan.[40]
Namun, nampaknya metode yang banyak dilakukan oleh T{aba>t}aba>’i@ adalah yang ketiga. Karenanya manhaj tafsir dalam karya T{aba>taba>’i> ini lebih kepada tafsir al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n. Tafsir ini lebih dekat kepada tafsir bi al-ma’thu>r dari pada tafsir bi al-ra’yi. Bahkan T{aba>t}aba>’i@ menganggap bahwa metode ini adalah yang dianjurkan oleh Nabi dan ahl al-bait dalam hadis-hadis mereka.
Dari ketiga metode di atas, T{aba>t}aba>’i@ menjelaskan bahwa metode yang pertama tidaklah layak diikuti karena bersumber dari pendapat pribadi, kecuali yang sesuai dengan al-Qur’a>n. Untuk metode yang kedua, metode ini adalah metode yang banyak dipakai para ulama tafsir Sunni maupun Syi’ah, hanya menurut T{aba>t}aba>’i@ hal ini tidak mencukupi kebutuhan ilmiah dan non ilmiah yang begitu banyak.[41]
Dalam menggunakan hadis-hadis sebagai sandaran ataupun tambahan dalam penafsiran, T{aba>t}aba>’i@ memberikan penjelasan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh ahl bait jumlahnya ribuan dan sebagian besar dapat dijadikan sandaran. Sedangkan, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh kaum Sunni hanya sekitar dua ratus lima puluh, dan lemah sanadnya (mungkar).[42]
Dalam menafsirkan al-Qur’an, T{aba>t}aba>’I juga menggunakan metode tahlīlī, yaitu menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan urutan surah, dari surah al-Fa>tih}ah sampai surah an-Na>s. Namun untuk tujuan keselarasan dan agar penyampaian tafsirnya utuh, T\{aba>t}aba>’i> juga menggunakan metode tamatik, yaitu dengan mengelompokkan ayat-ayat al-  Qur’an -meskipun sesuai dengan urutan ayat dan surah dalam al-Qur’an- tetapi ia tetap mengusahakan penafsiran sesuai tema-tema yang dikajinya. Dalam ilmu tafsir penggabungan metode tafsir seperti ini disebut sebagai metode analitis (tahlīlī) dan tematik (maud}u>‘i>).[43]

  1. Corak Tafsir
Ada yang berpendapat bahawa corak penafsiran T{aba>t}aba>’I dalam tafsir Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an adalah Falsafi. Karena di dalam tafsir tersebut banyak dikemukakan filsafat yang dijadikan salah satu penunjang dalam menafsirkan Al-Qur’an.[44] Bukan hal yang mengherankan apabila karya-karya T{aba>t}aba>’I sangat diwarnai filsafat, mengingat selain bahwa ia adalah seorang filosof, ia juga seorang ulama beraliran syi’ah. Sedangkan dalam Syi’ah, filsafat memperoleh posisi yang cukup penting sebagai salah satu cara untuk memahami Islam.[45]
T{aba>t}aba>’i dalam tafsir al-Mizan fi tafsir al-Qur’an berpendapat bahwa para filosof menggunakan pemikiran filsafat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Sesuai dengan kecenderungan dan keilmuannya, Diantara tokoh filosof Islam adalah Al-Farabi, Ibnu-Sina. T{aba>t}aba>’i dalam tafsirnya memasukkan pembahasan filsafat sebagai tambahan dalam menerangkan suatu ayat atau menolak teori filsafat yang bertentangan dengan al-Qur’an. Ia menggunakan pembahasan filsafat hanya pada bagian ayat tertentu saja.
            Di atas penjelasan itu semua, ada juga yang menggolongkan model tafsir Thabathaba’i sebagai tafsir Syi’i. Ini karena penulisnya beraliran Syi’ah. Karena itu, ketika Thabathaba’i menafsirkan al-Qur’an sering merujuk pada paham Syi’ah dan ulama-ulama Syi’ah yang ma’shum, khususnya perkataan atau ilham dari Imam dua belas. Meski begitu, Thabathaba’i juga mengambil pendapat-pendapat Ahlu Sunnah Wal Jama’ah sebagai penunjang dalam menafsirkan Al-Qur’an.[46]


  1. Mazhab Tafsir
Sebagai seorang ulama Syi’ah terkemuka, pemikiran T{aba>t}aba>’I memang sangat kental dengan ideologi kesyi’ahan. Hal ini terlihat jelas dalam berbagai kajiannya yang tertuang dalam beberapa karyanya. Bukunya Islam Syi’ah misalnya, sangat memperlihatkan keteguhan T{aba>t}aba>’I berpegang pada mazhab syi’ah. Begitu juga dalam tafsirnya Al-Mi>za>n, T{aba>t}aba>’I pun kelihatan sekali berupaya menggeneralisasikan mazhab syi’ah ketika menafsirkan ayat-ayat yang menurut kaum syi’ah sendiri, berkenaan dengan pandangan-pandangan ideologis kesyi’ahan mereka.[47]
Sebagaimana telah menjadi dasar pemikiran keagamaan di kalangan Syi’ah, T{aba>t}aba>’I membagi metode pemikiran keagamaan menjadi tiga cara.[48] Pertama, metode lahiriyah dan formal keagamaan yang digunakan untuk memahami masalah-masalah tauhid, kedaulatan Tuhan, kerasulan dan kehidupan setelah mati, dll. Kedua, metode intelektual, yang mengacu pada pembuktian rasional. Pemikirn rasional dalam pengertian Islam memberikan pembuktian-pembuktian intelektual tentang keabsahan aspek-aspek lahiriah Al-Qur’an dan hadis0hadis Nabi dan Ahlul Bait.
Ketiga, metode mistikal, yang oleh T{aba>t}aba>’I dinilai sebagai cara yang dapat mencapai kebenaran batin agama. Metode ini hanya bisa dicapai olh orang-orang yang telah benar-benar suci dari dosa, yang mampu melakukan perenungan mendalam sehingga dalam setiap yang dilakukannya yang dilihatnya hanyalah Tuhan.

  1. Karakteristik Tafsir
Al-Mi>za>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, karya T\{aba>t}aba>’i> ini selain memiliki karakteristik yang berbeda dengan tafsir-tafsir yang lain, juga dianggap sebagai
produk tafsir yang cukup moderat dan akomodatif terhadap zamannya. Meskipun
terlahir dari tokoh besar Syiah Ima>miyah (Is\na> ‘Asyariyyah), namun al-Miza>nbanyak menjadi rujukan bagi ulama dan para mufasir baik dari kalangan Sunni, kalangan Syiah, maupun kalangan akadimisi non-muslim. Al-Mizan mempunyai beberapa macam segi; ilmiah, tekhnis, estetis, filosofis, historis, spiritual, sosiologis, dan tradisional. Namun ada tiga segi yang paling menonjol dan mengatasi segi-segi yang lainya:[49]
   1. Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
Dalam komentarnya terhadap al-Qur’an ini, Thabathaba’i memperlihatkan keaslianya dengan pertama-tama menunjukan keterkaitan yang dekat antara satu ayat dengan ayat-ayat lainya dalam al-Qur’an dan mendasarkan koordinasi inheren ini, ia membuktikan bahwa ayat-ayat dalam al-Qur’an itu saling menjelaskan. Dengan kata lain, Thabathaba’i menjelaskan fakta yang dinyatakan dalam ayat al-Qur’an yufassir ba’dhuhu ba’adl (beberapa bagian al-Qur’an menjadi penjelas untuk bagian yang lainya).
            Menurut Thabathaba’i, tafsiran sesungguhnya mengenai al-Qur’an hanya dimungkinkan dengan melalui kontemplasi yang mendalam atas ayat-ayat al-Qur’an yang dihubungkan dengan ayat-ayat lain yang berkaitan. Dengan kata lain, salah satu dari ketiga metode berikut ini terbuka untuk mendapat penjelasan yang benar mengenai ayat-ayat al-Qur’an.
Ø  Penjelasan tentang ayat tanpa mengaitkanya dengan ayat lain, dengan menggunakan bantuan premis-premis ilmiah dan non ilmiah yang kita miliki.
Ø  Penjelasan atas suatu ayat dengan memakai bantuan dan penerapan hadis yang sampai kepada kita dari salah satu imam ma’shum yang diucapkan dalam kontkes ayat yang tengah dibahas.
Ø  Penjelasan atas suatau ayat dengan jalan merefleksikan kata-kata dan makna ayat tersebut dengan bantuan sejumlah ayat lain yang relevan, dan sebagai tambahan dengan merujuk kepada hadis-hadis sejauh hal tersebut memang dibutuhkan[50]
Kekhususan al-Mizan ini dinilai sebagai satu langkah penting yang diambil dalam melangkah menuju pemahaman yang lebih baik atas kualitas luar biasa yang dimiliki al-Qur’an berdasarkan pada kogerensi dan keterkaitan ayat-ayatnya[51]
Misalnya penafsiran Thabathaba’i terhadap surat al-Nisa’ ayat 36 tentang larangan mengikuti hawa nafsu dan menyembah selain Allah dan menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain. Menurut Thabathaba’i larangan mengikuti hawa nafsu ini selanjutnya djelaskan dalam surat Shad ayat 26, yang menyatakan bahwa dengan mengikuti hawa nafsu ini akan menyesatkan dari jalan Allah. Dengan analisis yang lain dikatakan bahwa tidak ada perbedaan antara ketaatan pada diri sendiri dan ketaatan pada yang lain. Karena mengikuti hawa nafsu merupakan satu bentuk penyembahan kepada selain Allah sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Jatsyah ayat 23.
2. Aspek Sosiologis
Kurang lebih semua komentar al-Qur’an memberikan perhatian pada aspek-aspek sosiologis dan telah membahas mengenai isu-isu yang relevan. Penjelasan sosiologis dalam tafsir al-Mizan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, jauh di atas penjelasan yang diberikan oleh karya-karya lain dalam kelasnya.
Dengan pendekatan yang multi-dimensional serta pandangan yang luas terhap berbagai masalah sosial, Thabatahabi berhasil dalam memproyeksikan isu-isu tersebut dalam sorotan al-Qur’an. Ia berhasil mengetengahkan suatu cara pandang baru terhadap masalah-masalah sosial dari sudut pandang al-Qur’an yang tetap diperhatikan sampai sekarang, dan berhasil menggugah para pembaca yang terilhami untuk semakin berusaha keras untuk menggali dimensi-dimensi baru di samping berbagai dimensi luar biasa yang terdapat dalam al-Qur’an.
Misalnya, penafsiran Thabathaba’i terhadap surat al-Nisa yang menjelaskan beberapa persoalan sosiologis Islam yang membahas ihwal abad manusia, munculnya manusia pertama, proses penciptaan dan evolusi, dan masalah-masalah yang terkait lainya.[52]
Setelah itu terdapat pembahasan mengenai perkawinan ditinjau dari sudut pandang ilmiah dan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian ketiga membahas khusus poligami dalam Islam dengan merujuk kepada pertanyaan mengenai jumlah istri Nabi.[53]

3. Aspek Filosofis
Thabathaba’i yang sekaligus salah seorang dari sedikit filosof yang memiliki pandangan-pandangan yang jernih dan orsinil, telah memberikan  sumbangan yang tidak ternilai dalam bidang tafsir dengan mengelaborasikan metafisika al-Qur’an yang akan memebrikan kepada kita pandangan berharga dan benar mengenai hakikat hidup yang sesungguhnya dari kerangka metafisika. Ia menyangkal semua salah kaprah yang tidak berdasarkan yang dinisbatkan kepada al-Qur’an.
Menurut Thabathaba’i, metafisika Islam mempuanya dasar-dasar yang terkandung di dalam al-Qur’an dan itu tidak lain berupa elaborasi gagasan al-Quran mengenai Tuhan, manusia, dan alam semesta. Dengan kata lain, Thabathaba’i menunjukan bahwa faktor utama yang bertanggungjawab atas terjadinya kesalahan umum yang berkaitan dengan masalah metafisika adalah karena kurangnya pemahaman yang tepat dan informasi yang benar mengenai masalah ini.
Misalnya penafsiran Thabathaba’i terhadap surat al-Fatihah. Thabathaba’i memulai penjelasan dengen memberi komentar singkat ayat 1. Kemudian memberikan penjelasan tentang pengertian kata al-hamd (pujian) dalam konteks ketuhanan, Yang Maha Suci.[54]

  1. Ahl al-Bait dalam Pandangan T{aba>t}aba>’I
Ahl al-bait adalah sebuah nama yang cemerlang, mulia, abadi, dan dicintai setiap jiwa yang mencintai Rasulullah, yang beriman kepadanya dan yang berjalan di atas petunjuknya. Al-Qur’an telah bercerita tentang ahl al-bait dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti berikut:[55]
1)      Dengan memberikan gelar atau istilah tertentu.
Pada beberapa ayat, Al-Qur’an menyebut mereka dengan “ahl al-bait” :
Ayat Pertama
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

“…Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (Q.S. al-Ahzab: 33)

Ayat Kedua
وَحَرَّمْنَا عَلَيْهِ الْمَرَاضِعَ مِنْ فَقَالَتْ هَلْ اَدُلُّكُمْ عَلىَ أَهْلِ بَيْتٍ يَكْفُلُوْ نَهُ لَكُمْ وَهُمْ لَهُ نَصِحُوْنَ.

Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui (nya) sebelum itu; maka berkatalah saudara Musa: "Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlulbait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?". (QS. al-Qashash: 12)

Ayat Ketiga
قَالُوْا أَتَعْجَبِيْنَ مِنْ أَمْرِاللهِ رَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيْدٌ مَّجِيْدٌ.
 “Para malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah." (QS. Hud: 73

Dan dalam ayat lain mereka menyebut “al-Qurba”, sebagaimana dalam ayat “al-mawaddah”:

Dan banyak lagi ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang berkaitan dengan Ahl al-bait, sebagaimana diriwayatkan para ahli tafsir dan ahli hadis dalam kitab-kitab mereka.
2)      Al-Qur’an mendokumentasikan beberapa peristiwa dan kejadian khusus berkaitan dengan ahl al-bait.
Beberapa ayat Al-Qur’an yang diturunkan, banyak menceritakan keutamaan dan kedudukan mereka, memuji mereka serta mengerahkan umat kepada mereka. Terkadang al-Qur’an menyebutkan mereka secara bersama-sama, seperti dalam ayat Mubahalah (QS. Ali Imran:16), ayat it}’a>m dalam surat al-Dahr dan lainnya, terkadang pula secara terpisah sebagaimana dalam ayat al-wila>yah (QS. Al-Maidah:55)

Kata Ahlul Bait (keturunan Nabi Muhammad SAW) ternyata masih banyak pertentangan di kalangan umat Islam, terlebih adanya perbedaan pendapat di kalangan para mufasir dan tokoh Muslim dalam memahami kata ini. Penulis mencoba menelaah kembali tentang Ahlul Bait dalam pandangan T{aba>t}aba>’i.
Sebagai seorang ulama Syi’ah terkemuka, pemikiran T{aba>t}aba>’I memang sangat kental diwarnai ideologi kesyi’ahan. Hal ini terihat jelas dalam berbagai kajian yang dilakukannya sebagaimana tertuang dalam beberapa karyanya. Misalnya, dalam penafsirannya atas surah Al-Baqarah:124, Al-Nisa>’:59, al-Ma’idah:3, 55 dan 67 T{aba>t}aba>’I menguraikan tentang persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan dalam Islam, yang mengacu pada pembelaannya terhadap konsep Ima>mah dalam Syi’ah. Menurutnya hak kepemimpinan itu sebagai milik ahl al-bait, karena merekalah yang berhak memegang Ima>mah menggantikan Nabi Muhammad Saw.[56]
Menurut mereka kepemimpinan yang diberikan kepada Ahlul Bait telah ditentukan oleh Nas} (dekrit) dan Was}iyah dari Nabi Muhammad saw. Sehingga, kepemimpinan mereka sederajat dengan kenabian.[57] Selain diyakini sebagai pihak yang berhak memegang kepemimpinan setelah Nabi wafat, ahl al-bait juga dianggap memiliki keistimewaan lain. Karena mereka ma’s}u>m, memiliki otoritas keagamaan sebagaimana Nabi Muhammad Saw. Kemaksuman para Ahl Bait ini tercermin dalam ungkapan T{aba>t}aba>’i@ dalam tafsirnya sebagai berikut:
امر في الإنسان المعصوم يصونه عن الوقوع فيما لا يجوز من الدخطأ والمعصية

Sementara itu, dalam tafsirnya, T\{aba>t}aba>’i> bahkan menolak pendapat mayoritas ulama-ulama Sunni tentang penafsiran ’U<lul ’Amri dalam QS. An- Nisa>’ [4]: 59. Sebagian besar ulama Sunni, seperti Sayyid Rasyi>d Rid}a> dan Al- Ra>zi>, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ’U<lil ’Amri dalam ayat tersebut adalah Ahlul H{alli wal ‘Aqd. Bagi T\{aba>t}aba>’i>, pendapat tersebut tidak benar. Menurutnya, perintah untuk mentaati ‘U<lul ‘Amri sebagaimana terformulasikan dalam ayat tersebut memberikan suatu kepastian bahwa mereka adalah orang-orang suci, yang tentu tidak memiliki dosa (ma‘s}u>m), dan seluruh sikap serta tutur kata dan perbuatannya selalu mencerminkan kebenaran. Dengan menggunakan dalil ayat yang lain, yaitu QS. al-Ah}za>b [33]: 33, dan beberapa hadis yang lainnya menjelaskan bahwa orang yang ma‘s}u>m itulah yang tidak lain adalah Ahlul Bait.[58]
Syi’ah mengklaim bahwa segala sesuatu yang bersumber dari ahl al-bait harus diikuti. Dalam kaitan inilah, Syi’ah memandang “hadis” tidak saja terhadap apa saja yang berasal dari Nabi Muhammad Saw, tapi juga mencakup apa yang berasal dari ahl al-bait. Di sisi lain, Syi’ah tidak memandang pendapat para sahabat kecuali Ali yang merupakan ahl al-bait.[59]
Dalam memahami ahl bait, menurut T{aba>t}aba>’i@ tidaklah bisa disamakan dengan penyebutkan keluarga pada umumnya ataupun secara harfiyah, namun harus mengikuti apa yang diungkapkan oleh Allah dan rasul-Nya tentang ahl al-bait Rasulullah itu sendiri. Adapun jumlahnya menurut T{aba>t}aba>’i@ meliputi Rasulullah, Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain.[60] Kedudukan kesucian mereka tercermin dalam argumentasi al-Qur’a>n dan hadis sebagai berikut:
Pertama, dalam al-Qur’a>n
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

Kata “innama” dalam ayat di atas berfungsi sebagai pembatas. Sehingga, keinginan atau kehendak Allah untuk melakukan penyucian dan pembersihan dosa sebatas hanya kepada Ahl Bait, dan bukan kepada kelompok maupun golongan yang lain.[61] Karena itu, tidak mungkin Ahl Bait memiliki kekeliruan dan kesalahan bahkan dosa dalam memahami dan mengamalkan al-Qur’a>n.
Kedua, sesuai dengan hadis Nabi yang dikenal baik oleh Sunni maupun Syi’ah dengan sebutan hadis tsaqalain, yakni dua warisan Nabi kepada umat muslim yang menyebutkan bahwa warisan itu adalah Kitabullah dan keluarga Nabi. Hadis tersebut muncul dengan berbagai redaksi di antaranya:
ياأيها الناس إني تركت فيكم ما إن أخذتم به لن تضلوا كتاب الله و عترتي أهل بيتي[62]
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya telah aku tinggalkan bagi kalian suatu peninggalan yang tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh kepadanya: Kitabullah dan itrah ahl baitku.
Selain itu ada pula hadis yang dikutip oleh T{aba>t}aba>’i@ yang menyebutkan bahwa Nabi pernah bersabda, “Ahl baitku adalah seperti perahu Nuh, barang siapa naik keatasnya pasti selamat, dan siapa yang menolaknya akan tenggelam.[63]
Harus diakui bahwa Syi’ah dalam memahami al-Qur’a>n kadang terkesan memaksa dalam menakwilkan dengan prinsip dan ideologi Syi’ah. Hal ini dipahami oleh Zeid B. Smeer dalam disertasinya terhadap tulisan Rajab al-Birsi, Khumsu Mi’ah Ayah Nazalat fi Amir Mu’minin Ali in Abi Thalib, terj Muhdhar Assegaf dengan judul Lima Ratus Ayat untuk Ali ibn Abi T{a>lib. Zeid berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut sebenarnya bersifat umum dan sama sekali tidak berkaitan dengan doktrin Syi’ah.[64]

  1. Kesimpulan
Al-Mizan adalah tafsir karya T{aba>t}aba>’i@ yang memiliki ciri khas tersendiri, di antaranya adalah mengkombinasikan khazanah tafsir klasik Syi’ah dengan khazanah kontemporer yang dimiliki Thabathaba’i sendiri. Dengan latar belakang teologis yang dipegangnya, yaitu Syi`ah, Thabathaba’i berusaha menyajikan penafsiran-penafsiran yang sejalan dengan paham Syi`ah Imamiyah serta meninggalkan paham yang tidak sesuai dengan keyakinan teologisnya. Meski demikian, tak jarang Thabathaba’i mengutip dan mengambil pendapat ulama dari kalangan Sunni sebagai bentuk komparasi ide dan gagasan.



Daftar Pustaka


Al-Ausi>, Ali>. Al-T}aba>t}aba>’i wa Manhajuh fi> Tafsi>rih Al-Mi>za>n.  Iran: Mua>waniyah Al-Ri’a>sah li Al-Ala>qa>t Al-Dauliyah,1985.
Al-T{aba>t}aba>’I, Muhammad Husein. Al-Qur’an  fi al-islam. Teheran: Sajehhar, 1985.
_______________________________ Tafsir Al-Miza>n, terj. Ilyas Hasan. Jakarta: Lentera, 2010.
Al-Zara>ni>, Muhammad ‘Abd al-‘Azhim. Mana>hil al-Irfa.n Fi ‘Ulu>m al-Qur’an. Beirut; Dâr al-Fikr, tt. vol 2.
Anwar, Rosihon. Tafsir Esoterik Menurut Pandangan T{aba>t}aba>’I. Disertasi UIN Jakarta, 2004.
Asrori, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an . Makalah Tafsir Timur Tengah SPS UIN Jakarta, 2011.
Baidowi, Ahmad. Mengenal T{abat}aba’i dan Kontroversi Nasikh Mansukh<. Bandung: Penerbit Nuansa, 2005.
Board Writing Translation and publication, Al-Mi>za>n an Exegesis of Qur’a>n. Teheran: Word Organization for Islamic Services, 1981.
Dzikron, Mohammad. Us}u>l Al-Syi>’ah Ithna> asha>riyah Dalam Tafsir Al-Mizan Karya T{aba>y{aba>’I. Tesis. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga<, 2012.
Klantre, Ilyas. Dali>l al-Miza>n. Libanon; Mu’assasah al-A’la>mi> Li al-Mat}bu>’at, 1985.
Lajnah al-Ta’lif muassasah al-bala>gh, Mengenal Lebih Jauh Ahlulbait, terj. Abdur Rauf. Jakarta: Islamic Center, 2002.
Nasr, Seyyed Hossein. “Thabâthabâ'î, Muhammad Husain”, dalam John L. Esposito, (Ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern IslamicWorld. New York: Oxford University Press, 1995.
Parlindungan, Andian. “Konsep Jihad Menurut al-T{aba>taba>’i> dalam Tafsir al-Mi>za>n”. Disertasi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2008.
Razzaqi, Abu> al-Qa>sim. Pengantar pada Tafsir al-Miza>n, terj. Nurul Agustina dalam Al-Hikmah No.8 Rajab-ramadhan 1413.
Smeer, Zeid B. Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari Terhadap Hadis-Hadis Syi’ah Imamiyah. Jakarta: Arifa Publishing, 2011.
Willya, Evra. Hubungan Antar Umat Beragama Menurut T{aba>t}aba>’I dalam Tafsi>r al-Miza>n. Disertasi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatulah, 2008.


[1]Ahmad Baidowi, Mengenal T{abat}aba’i dan Kontroversi Nasikh Mansukh<, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), 24.
[2] Kitab-kitab tafsir Sunni yang menjadi rujukan Thabathaba’i adalah Al-Durr Al-Mantsur ditulis oleh Jalal Al-Din Al-Suyuthi (849-911 H/1505), Jami’ Al-Bayan fi tafsir Al-Qur’an karya Jarir Al-Thabari (224-310 H/839-922 M), Al-Mufradat  fi Gharib Al-Qur’an karya Abu Al-Qasim Al-Husain ibn Muhammad yang dikenal dengan nama Raghib Al-Ashfhahani (w. 502 H/1108 M), Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil karya Nashir Al-Din ‘Abdullah ibn ‘Umar Muhammad ibn ‘Ali Al-Baidhawi (w. 691 H/1292 M), Ruh Al-Ma’ani fi Tafsir Al-Qur’an karya Syihab Al-Din Al-Sayyid Mahmud Al-Alusi (w. 1270 H/1853 M), dan Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an karya Syaikh Thanthawi Jauhari.
[3] T{aba>t}aba>’i@, al-Quran fi al-Islam (Iran: Teheran Press, 1404 H), 39
[4] Al-Ah{za>b [33]:33
[5] Al-Wa>qi’ah [56]: 77-9
[6] Selama tiga abad terakhir keluarga ini telah mencetak generasi demi generasi ulama terkenal di Azarbaijan (Iran). Mereka adalah keturunan Imam kedua, al-Hasan bin Ali. Keluarga besar ini juga di rujuk dengan gelar al-Qad}i. Lihat Muhammad Husain T{aba>t}aba>’I, Tafsir Al-Miza>n, terj. Ilyas Hasan (Jakarta: Lentera Hati, 2010), 11.
[7] Evra Willya, Hubungan Antar Umat Beragama Menurut T{aba>t}aba>’I dalam Tafsi>r al-Miza>n (Disertasi: UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2008), 23.
[8] Mengenai tahun kelahiran T{aba>t}aba>’I terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Tahun 1904 M disebutkan dalam Al-Mizan: an exegesis of Qur’an, terj. Ilyas Hasan. Sementara Ahmad Baidowi menyebutkan pada tahun 1902 M. Lihat Ahmad Baidowi, Mengenal T{abat}aba’i dan Kontroversi Nasikh Mansukh<, 38. Sedangkan Sayyed Hossein Nasr dalam ‘About the Author’ dalam ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain al-Taba’tabai, Shi’a (Manila: al-Hidayah, 1995), 22 menyebutkan bahwa tahun lahirnya adalah 1282 H/ 1903 M.
[9] Ahmad Baidowi, Mengenal T{abat}aba’i dan Kontroversi Nasikh Mansukh<, 38. Lihat juga disertasi Andian Parlindungan dalam, “Konsep Jihad Menurut al-T{aba>taba>’i> dalam Tafsir al-Mi>za>n” Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008, 24.
[10] Muhammad Husain T{aba>t}aba>’I, Tafsir Al-Miza>n, terj. Ilyas Hasan (Jakarta: Lentera, 2010) 12.    
[11]Ahmad Baidowi, Mengenal T{abat}aba’i dan Kontroversi Nasikh Mansukh<, 39.
[12] Rosihon Anwar, Tafsir Esoterik Menurut Pandangan T{aba>t}aba>’I, (Disertasi UIN Jakarta, 2004), 39. Lihat juga Seyyed Hossein Nasr, “Thabâthabâ'î, Muhammad Husain”, dalam John L. Esposito, (Ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern IslamicWorld, (New York: Oxford University Press, 1995), Jilid 4, 161—162. Lihat pula Ahmad Baidowi, Mengenal T{aba>t}aba>’I, 40.
[13] Ahmad Baidowi mengungkapkan bahwa alasan kembalinya T{aba>t}aba>’I ke Tabriz adalah karena kesulitan ekonomi yang melilitnya.
[14] Lihat Ahmad Baidowi, mengenal T{aba>t}aba>’I, 40.
[15] T{aba>t}aba>’I, Tafsi>r al-Miza>n, 13.
[16] Ahmad Baidowi, Mengenal T{aba>t}aba>’I, 40.
[17] Rosihon Anwar, Tafsir Esoterik Menurut Pandangan T{aba>t}aba>’I, 41.
[18]Board Writing Translation and publication, Al-Mi>za>n an Exegesis of Qur’a>n, (Teheran: Word Organization for Islamic Services, 1981), 3
[19] Ahmad Baidowi, Mengenal T{aba>t}aba>’I, 42.
[20] Evra Willya, Hubungan Antar Umat Beragama Menurut T{aba>t}aba>’I dalam Tafsi>r al-Miza>n, 33.
[21] Rosihon Anwar, Tafsir Esoterik Menurut Pandangan T{aba>t}aba>’I, 48.

[22] Ahmad Baidowi, Mengenal T{aba>t}aba>’I, 44.
[23]Ali> Al-Ausi>, Al-T}aba>t}aba>’i wa Manhajuh fi> Tafsi>rih Al-Mi>za>n, (Iran: Mua>waniyah Al-Ri’a>sah li Al-Ala>qa>t Al-Dauliyah,1985), 53-56.
[24] Ahmad Baidowi, Mengenal T{aba>t}aba>’I, 45-46.
[25] Rosihon Anwar, Tafsir Esoterik Menurut Pandangan T{aba>t}aba>’I, 64.
[26] Abu> al-Qa>sim Razzaqi, Pengantar pada Tafsir al-Miza>n, terj. Nurul Agustina dalam Al-Hikmah No.8 Rajab-ramadhan 1413, 6.
[27]Andian Parlindungan, Konsep Jihad Menurut T{aba>t}aba>’i@. 53
[28]Pengantar pada Tafsir Al-Mizan, 6
[29] Muhammad Husein at-T{aba>t}aba>’I, Al-Qur’an  fi al-islam (Teheran: Sajehhar, 1985), 13-28.
[30]Andian Parlindungan, Konsep Jihad, 62. Ada juga pendapat lain seperti disertasi Louis Abraham Medoff yang menyatakan bahwa penulisan tafsir ini berlangsung selama 20 tahun. Lihat Louis Abraham Medoff, Ijtihad and Renewal in Qur’anic Hermeneutics: An Analisis of Muhammad Husayn Tabatabai’s al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Desertasi, Berkeley: Universitas of California, 2007”, ii
[31] Al-Awsi, T{aba<t}aba>’I wa manhajuhu fi Tafsiruhu al-Mizan, 115.
[32] Louis Abraham Medoff, Ijtihad and Renewal in Qur’anic Hermeneutics., 36.
[33]T{aba>t}aba>’I, Tafsir Al-Mizan, Jilid I, 5
[34]Ali al-Awsi, Al-Thabathaba’i wa Manhajuhu fi Tafsiruhu al-Mizan, 59-157.
[35] Ilyas Klantre, Dali>l al-Miza>n dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab oleh Abbas Tarjuman (Libanon; Mu’assasah al-A’la>mi> Li al-Mat}bu>’at, 1985) cet 1, 7.
[36] Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Zara>ni>, Mana>hil al-Irfa.n Fi ‘Ulu>m al-Qur’an (Beirut; Dâr al-Fikr, tt) vol 2, 10-69.
[37] Ilyas Klantre, Dali>l al-Miza>n, 7.
[38]Mengenai rujukan-rujukan T{aba>t}aba>’I terhadap kitab tafsir, kamus, hadis, kitab-kitab agama lainnya, lihat ‘Ali al-Awsiy, Al-T{aba>t}aba>’I Wa Manhajuhu fi Tafsi>rihi al-Mi>za>n, 49-70.
[39] Evra Wilya, Hubungan Antar Umat Beragama menurut T{aba>t}aba>’I, 45.
[40] Sayyed Muhammad Husain T{aba>t}aba>’i>, al-Qura>n fi> al-Isla>m (Iran: Teheran Press, 1404 H), 82.
[41] Tabataba’I, al-Qura>n fi> al-Isla>m., 85.
[42]Andrian Parlindungan, Konsep Jihad. 36
[43] Mohammad Dzikron, Us}u>l Al-Syi>’ah Ithna> asha>riyah Dalam Tafsir Al-Mizan Karya T{aba>y{aba>’I (Tesis UIN Sunan Kalijaga< Yogyakarta, 2012) 57.
[44] Asrori, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an (Makalah Tafsir Timur Tengah SPS UIN Jakarta, 2011), 15.
[45] Ahmad baidowi, Mengenal T{aba>t}aba>’I, 45.
[46] Asrori, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, 16.
[47] Ahmad baidowi, Mengenal T{aba>t}aba>’I, 47.
[48] Ahmad baidowi, Mengenal T{aba>t}aba>’I, 49-50.
[49] Evra Wilya, Hubungan antar Umat Beragama Menurut T{aba>t}aba>’I dalam tafsir Al-Miza>n, 48-52.
[50] Pengantar Kepada Tafsir al-Mizan, 8
[51] T{aba>t}aba>’i, al-Mizan, Jilid IV, 361-362
[52] Thabathaba’i, al-Mizan, Jilid IV, 138-154
[53] Thabathaba’i , al-Mizan, Jilid IV, 185-204
[54] Thabathaba’i , al-Mizan, Jilid IV, 19-21
[55] Lajnah al-Ta’lif muassasah al-bala>gh, Mengenal Lebih Jauh Ahlulbait, terj. Abdur Rauf (Jakarta: Islamic Center, 2002), 9.
[56] Ahmad Baidowi, Mengenal T{aba>t}aba>’I, 47-48.
[57] Mohammad Dzikron, Us}u>l Al-Syi>’ah Ithna> asha>riyah Dalam Tafsir Al-Mizan Karya T{aba>y{aba>’I, 6.
[58] Mohammad Dzikron, Us}u>l Al-Syi>’ah Ithna> asha>riyah Dalam Tafsir Al-Mizan Karya T{aba>y{aba>’I, 7.
[59] Ahmad Baidowi, Mengenal T{aba>t}aba>’I, 49.
[60] Muh{ammad H{usain T{aba>t}aba>’i@, Inilah Islam: Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, 113
[61] T{aba>t}aba>’i@, al-Mi@za>n, juz 16, 309
[62] Al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi, Kita>b al-Mana>qib, ba>b al-mana>qib ahl bait. Menurut beliau, hadis ini berstatus hasan gharib, dan Ahmad ibn Hanbal dalam musnad Abi Said al-Khudri. Muslim dalam Sahihnya juga meriwayatkan hal yang sama, namun dengan redaksi yang agak berbeda.
[63] Muh}ammad H{usain T{aba>t{aba>’i@, Inilah Islam:Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, 115-116
[64] Zeid B Smeer, Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari Terhadap Hadis-Hadis Syi’ah Imamiyah (Jakarta: Arifa Publishing, 2011) 151-152

1 komentar: