This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 15 September 2024

SALAM LINTAS AGAMA DALAM PERSPEKTIF HADIS (Pemahaman Hadis Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim)

Baru-baru ini muncul kembali perdebatan terkait salam lintas agama yang diucapkan oleh umat muslim di Indonesia. Sebenarnya sejak era reformasi sudah ada pro kontra terkait salam lintas agama yang biasa diucapkan oleh pejabat pemerintahan. Salam lintas agama atau disebut juga salam kebhinekaan adalah salam yang popular diucapkan terutama oleh para pejabat negara dalam acara-acara resmi. Salam tersebut merupakan sebuah ucapan pada pertemuan-pertemuan formal di mana para pesertanya dihadiri oleh berbagai agama yang berbeda. (Siahaan, 2020).

Salam lintas agama tersebut berisi redaksi salam dari enam agama yang diakui di Indonesia, yaitu: salam yang biasa diucapkan umat Islam “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”. Kemudian ada salam dari agama Kristen, yaitu sejahtera bagi kita semua. Diikuti dengan ucapan Shalom dari agama Katolik, Om Swastiastu dari agama Hindu, Namo Buddhaya dari agama Buddha, dan Salam Kebajikan dari agama Konghucu. Semua salam ini digabung atau dirangkai menjadi satu rangkaian salam yang diucapkan pada pembukaan pidato.

Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), haram hukumnya mengucapkan salam yang memuat do’a khusus dari agama lain. Fatwa tersebut dikeluarkan melalui Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII yang digelar pada tanggal 28-31 Mei 2024 di Bangka Belitung. (Sadam, 2024). Dalam fatwa MUI ditegaskan bahwa salam umat Islam merupakan ibadah sekaligus do’a yang hanya diperuntukkan bagi umat Islam, tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain. Karena salam dari agama lain ada yang berdimensi do’a khusus yang membawa nama tuhannya, sehingga haram bagi umat Islam untuk mengucapkan salam tersebut.

Adapun mengenai toleransi dan moderasi, MUI menjelaskan bahwa pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama dengan alasan toleransi agama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan. Ketika di dalam forum yang dihadiri umat Islam dan agama lain, umat Islam dibolehkan mengucapkan salam dengan “Assalamu’alaikum” dan/atau salam nasional, atau salam lainnya, yang tidak mencampuradukkan dengan salam yang berisi do’a agama lain.

Hal senada juga disampaikan oleh Sekjen PB PII Fikri Haiqal Arif, mengatakan bahwa salam 6 agama bukanlah implementasi toleransi yang benar, melainkan berpotensi memburamkan akidah umat Islam. Hal itu karena salam yang diucapkan terdapat unsur ubudiyah dan do’a dalam Islam, sama halnya dalam agama lain ada unsur ibadah dan do’a kepada tuhannya. Misalnya: Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, memiliki makna semoga keselamatan, rahmat dan keberkahan dari Allah untukmu. Kalimat Om swastiastu artinya semoga dalam keadaan selamat atas karunia dari Hyang Widhi. Kemudian salam Namo Budhaya memiliki arti terpujilah sang Buddha.  (Sadam, 2024).  

Jika ditilik makna salam di atas, jelas terdapat unsur do’a kepada Tuhan masing-masing agama. Sehingga mencampuradukkan ibadah do’a pada Tuhan masing-masing agama itu tidak dibenarkan. Pada dasarnya prinsip toleransi bukan mencampurkan atau menggabungkan yang berbeda, tetapi toleransi adalah menghormati perbedaan demi menjalin tujuan kerukunan dan kedamaian dalam umat berbangsa dan bernegara. (Wafirah, Arista, Sholahuddin, Kosim, & Musyafa'ah, 2020)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menetapkan fatwa haramnya salam lintas agama tentunya didasari dengan dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadis. Salah satu hadis yang dijadikan landasan oleh MUI adalah terkait hadis larangan memulai ucapan salam kepada umat selain Islam. Rasulullah saw bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari jalur Abu Hurairah yang artinya: “Janganlah kalian memulai ucapan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Jika kalian bertemu dengan salah seorang dari mereka, maka desaklah mereka ke sisi jalan yang paling sempit. Terkait hadis ini akan kita bahas lebih detail pada pembahasan berikutnya.

Pandangan yang berbeda mengenai salam lintas agama datang dari Kementerian Agama (Kemenag) RI. Dirjen Bimas Islam Kamarudin Amin mengatakan, salam lintas agama merupakan hal yang sah-sah saja karena mengandung praktik baik dalam rangka merawat kerukunan antar umat beragama. Menurutnya salam lintas agama dapat menebar kedamaian dan tidak berpengaruh terhadap akidah. (Mustakim, 2024)

Lebih lanjut, menurutnya Islam adalah agama kedamaian dan menganjurkan umatnya menebarkan kedamaian kepada siapapun, baik muslim dan non-muslim. Pendapat ini diperkuat dengan hadis Nabi dalam kitab Al-Mushannaf li ibni Abi Syaibah yang artinya: “Siapapun makhluk Allah yang mengucapkan salam kepada kalian, maka balaslah salam mereka, meskipun dia orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi).

Dalam penelusuran Bimas Islam, hadis Riwayat Imam Muslim mengenai larangan memberi salam kepada non-muslim berlaku dalam situasi perang. Hal tersebut terjadi saat Nabi dan kaum Muslim hendak mengepung Yahudi Bani Quraizhah karena mereka melanggar perjanjian damai. Sehingga menurut Bimas Islam, menyampaikan salam kepada non-muslim adalah tindakan yang dianjurkan dalam konteks kebaikan bersama. (BimasIslam, 2024)

Terlepas dari kontroversi salam lintas agama yang popular diucapkan terutama di kalangan pejabat negara, penulis di sini fokus pada pemahaman hadis tentang mengucapkan salam kepada non-muslim. Terdapat hadis Nabi mengenai larangan umat Islam untuk memulai mengucapkan salam kepada non-muslim disertakan dengan perintah untuk mendesaknya ke jalan yang sempit. Hadis tersebut berbunyi:

عن أبي هريرة رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا تَبْدَؤوا اليهود والنصارى بالسَّلام، وإذا لَقِيتُمُوهُمْ في طريق، فاضْطَّرُّوهُمْ إلى أَضْيَقِهِ  .رواه مسلم

Artinya: Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Jika kalian bertemu mereka di jalan maka paksalah (pepetlah) mereka ke jalan yang paling sempit (pinggir). (HR. Imam Muslim)

Terkait kualitas, semua ahli hadis menilai hadis ini dan seluruh jalur periwayatannya dengan kualitas shahih. Selain diriwayatkan oleh Imam Muslim, hadis di atas juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam at-Tirmidzi, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Semua jalur periwayatan tersebut memuat redaksi yang hampir sama kecuali pada Riwayat Abu Dawud dan salah satu Riwayat Ahmad. Pada keduanya terdapat keterangan sababul wurud atau sebab turunnya hadis berupa perbincangan Suhail dengan ayahnya yaitu Abu Shalih. (Syachrofi & Suryadilaga, 2021)

Disebutkan bahwa ketika Suhail bersama ayahnya pergi menuju Syam, mereka (penduduk Syam) melewati gereja yang di dalamnya terdapat orang-orang Nasrani lalu mengucap salam kepada orang-orang Nasrani tersebut. Mendengar hal itu, ayah Suhail (Abū Ṣāliḥ) berkata jangan memulai salam kepada mereka! karena Abū Hurairah pernah meriwayatkan hadis kepada kami dari Rasulullah saw, Ia bersabda: janganlah kalian memulai salam kepada mereka dan apabila kalian berjumpa (berpapasan) di jalan maka desaklah mereka ke jalan yang paling sempit.  (Syachrofi & Suryadilaga, 2021)

Adapun latar belakang hadis mengenai larangan memberi salam lebih dulu kepada non-muslim, demikian itu terkait dengan kondisi perang dan pertemuan musuh di medan pertempuran, yaitu tempat yang biasanya tidak ada pemberian salam. Mungkin juga ucapan itu menegaskan kebolehan jika ada motif yang menuntut pemberian salam, seperti kekerabatan, persahabatan, ketetanggaan, perjalanan, atau keperluan. (Dayat & Yusuf, 2019)

Al-Qurthubi telah menyebutkan hal tersebut dari al-Nakha’i. Ia berkata; “untuk menakwilkan hadis dari Abu Hurairah mengenai larangan memberi salam lebih dulu kepada non-muslim, jika tidak ada alasan bagi kalian untuk memulai salam kepada mereka, seperti memenuhi perlindungan, adanya keperluan kalian kepada mereka, suatu hak, ketetanggaan atau dalam perjalanan. Sedangkan mengenai penghormatan selain bacaan salam, seperti mengucapkan selamat pagi, selamat sore, atau selamat datang, tidak ada halangan akan hal itu.  (Dayat & Yusuf, 2019)

Sebanrnya para ulama berbeda pendapat mengenai larangan mengucapkan salam kepada non-muslim. Mayoritas ulama klasik-tradisionalis sepakat bahwa hadis ini melarang umat Islam memulai salam kepada orang-orang kafir, musyrik, ahl al-żimmah, ahli kitab, Yahudi dan Nasrani. Di antara ulama yang berpandangan demikian adalah mayoritas ulama salaf, para ahli fikih, Imam Mālik, sebagian ulama mazhab Syāfi‘ī, dan sejumlah ulama khalaf seperti al-Nawawī, Ibn Ḥajr al-‘Asqalānī, al-Ṣan‘ānī, dan lain-lain.  (Syachrofi & Suryadilaga, 2021)

Menurut para ulama yang melarang, salam tidak hanya sekadar ucapan “basa-basi” tetapi ia mengandung unsur penghormatan dan doa keselamatan kepada yang dituju. Oleh karena itu, para ulama di atas melarang memberi salam kepada non-muslim karena hal tersebut berarti sama dengan memberi penghormatan kepada mereka. Berbeda kasus jika non-muslim memberi salam kepada orang muslim, maka menurut para ulama diperkenankan menjawab salam mereka namun dengan catatan hanya menggunakan lafal “wa ‘alaikum” semata, tidak lebih dari itu.  (Syachrofi & Suryadilaga, 2021).

Terkait menjawab salam, banyak hadis yang menceritakan bagaimana Nabi saw menjawab salam non-muslim. Ada hadis yang mengatakan Nabi menjawab dengan ucapan “wa ‘alaikum”, pada hadis lain Nabi menjawab dengan ucapan ‘alaika tu wa ‘alaika, serta ada juga Nabi memerintahkan untuk menjawab dengan ucapan ‘alaika ma qulta. Al-Mawardi berpendapat boleh menjawab salam Ahl al-Kitāb dengan ucapan wa ‘alaikum al-salam tanpa “warahmatullah”, apabila mereka mengucapkan salam yang benar yaitu “al-salāmu ‘laikum”.  (Dayat & Yusuf, 2019). Hal ini sesuai dengan sabda Nabi saw dari Anas bin Malik:

حَدَّثَنَا ‌عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَحَدَّثَنَا ‌هُشَيْمٌ: أَخْبَرَنَا ‌عُبَيْدُ اللهِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَنَسٍ: حَدَّثَنَا ‌أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا: وَعَلَيْكُمْ.

Artinya: “Telah menceritakan kepada kamu Utsman bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepada kami‘Ubaidullah bin Abu Bakr bin Anas telah menceritakan kepada kami Anas bin Malik radhiallahu‘anhu dia berkata: Nabi Shallallhu ‘Alaihi Wasallam bersabda:“Apabila ahli kitab menyampaikan salam kepada kalian, maka jawablah: wa’alaikum (dan ke atasmu).

Dalam hadis ini dapat kita pahami bahwa menjawab salam dari selain muslim boleh, tapi hanya dengan menjawab “wa ‘alaika”( dan atasmua) , atau wa ‘alaika ma qulta (dan atasmu apa yang kau ucapkan). Artinya kita membalas ucapan yang sama dengan apa yang mereka ucapkan. Bukan menjawab dengan redaksi salam yang lengkap “wa ‘alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh” seperti yang biasanya kita ucapkan kepada muslim, karena salam yang lengkap mengandung do’a keselamatan, rahmat dan berkah dari Allah.

Kembali lagi ke perkara mengucapkan salam kepada non-muslim, banyak juga ulama yang membenarkannya, seperti sahabat Nabi yaitu Ibn Abbas, dan sekelompok ulama lainnya. Sebagian ulama yang membolehkan memberi salam kepada non-muslim  menjadikan hadis dari Abi Umamah sebagai landasan. Abu Umamah berkata, “Sesungguhnya Allah SWT menjadikan salam sebagai penghormatan bagi umat kami dan perlindungan bagi Ahl al-Dhimmi di tengah kami. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan hadis melalui Aun bin Abdul Aziz tentang memberi salam lebih dulu kepada Ahl al-Dhimmi. Ia menjawab, “Kami hanya menjawab salam mereka, tidak memberi salam lebih dulu kepada mereka.” Aun berkata, “Saya bertanya kepadanya, “Bagaimana pendapatmu? menurut saya, tidak apa-apa memberi salam lebih dulu kepada mereka. (Qardhawi, 2010)

Selain itu kita juga bisa  melihat pada zaman kontemporer ini, tidk sedikit ulama yang membolehkan mengucapkan salam kepada non-muslim dengan dalih toleransi beragama. Salah satu yang membolehkan mengucapkan salam kepada non-muslim adalah Kementerian Agama RI. Melalui Bimas Islam dikatakan bahwa Islam meganjurkan umatnya menebarkan kedamaian kepada siapapun baik muslim maupun non-muslim, termasuk dalam mengucapkan salam. Kebolehan mengucapkan salam kepada non-muslim didasari hadis Nabi dari Ibnu Abbas dalam Kitab Al-Mushannaf Li Ibni Abi Syaibah jilid XII. Redaksi hadis tersebut sebagai berikut:

عن ابن عباس رضي الله عنه، قال: "من سلَّم عليكم من خلق الله فردّوا عليهم، وان كان يهوديّا آو نصرانيّا آو مجوسيّا".

Artinya: Siapapun makhluk Allah yang mengucapkan salam kepada kalian, maka balaslah salam mereka, meskipun dia orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”

Menurut hemat penulis, hadis yang dijadikan landasan oleh Bimas Islam tentang mengucapkan salam kepada non-muslim sepertinya kurang tepat. Karena dilihat dari matan-nya, hadis ini berisi tentang menjawab atau membalas salam yang diucapkan non-muslim, bukan memberi salam kepada non-muslim. Terkait menjawab salam, banyak hadis yang membahasnya dan membolehkan menjawab dengan kalimat “wa ‘alaika” sebagaimana telah penulis paparkan sebelumnya.

Perbedaan pendapat di kalangan muslim sebenarnya hal yang biasa, namun argumen masing-masing harus diperkuat dengan dalil yang tepat. Mengenai mengucapkan salam kepada non-muslim, menurut penulis larangan tersebut bisa saja dibenarkan untuk saat ini, mengingat salam dalam Islam adalah do’a yang selayaknya diberikan kepada saudara sesama muslim yang jelas-jelas mengakui rukun Iman dan rukun Islam. Adapun di dalam forum yang terdapat muslim dan non-muslim, maka salam Islam tetap bisa diucapkan karena ditujukan untuk muslim yang ada dalam forum tersebut. Sementara untuk saudara non-muslim bisa memberikan salam dengan sapaan seperti selamat pagi, selamat siang, selamat malam, dan lain sebagainya. Wallahu ‘alam

 

 

Daftar Pustaka

BimasIslam. (2024, Juni 03). Indonesia. Retrieved from https://www.instagram.com/p/C7wdT63BIs7/?img_index=6

Dayat, M., & Yusuf, A. (2019). Mengucapkan Salam Kepada Non Muslim dalam Perspektif Hadis. MAFHUM: Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, 4(1), 113-138.

Fatimah, A. P. (2014). Salam terhadap Non-Muslim Perspektif Hadis. Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah.

Mustakim, Z. (2024, Juni 3). Kementerian Agaman Republik Indonesia. Retrieved from Kemenag: https://www.kemenag.go.id/opini/menimbang-fatwa-larangan-salam-lintas-agama-antara-agama-dan-harmoni-fHX25

Qardhawi, Y. (2010). Fiqh al-Jihad: Dirasah Muqaranah lil AHkam wa Falsafah fi Dha'u al-Qur'an wa al-Sunnah. Terje Irfan Maulana Hakim. Bandung: Mizan Pustaka.

Sadam. (2024, Juni 05). MUI Digital. Retrieved from MUI Digital: https://mui.or.id/baca/berita/pengurus-besar-pelajar-islam-indonesia-sepakat-fatwa-mui-haramkan-salam-lintas-agama

Siahaan, J. M. (2020). Salam Lintas Agama Merekatkan yang Berbeda untuk Memberkati Satu SAma Lain. RHEMA: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika, 6(1), 13-22.

Syachrofi, M., & Suryadilaga, M. A. (2021). Reinterpretasi Hadis Mengucap Salam kepada Non-Muslim: Aplikasi Teori Fungsi Interpretasi Jorge J.E Gracia. Journal of Qur'an and Hadith Studies, 10(1), 1-24.

Wafirah, A., Arista, M. N., Sholahuddin, M., Kosim, M., & Musyafa'ah, N. L. (2020). Pengucapan Salam Lintas Agama Menurut Ulama Jawa Timur. Al-Qanun: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam, 23(2), 238-272.