Oleh : Hidayati
A. Pendahuluan
A. Pendahuluan
Dalam
interaksi sosial, konflik sering kali muncul dan sulit untuk dihindarkan. Salah
satu konflik sosial yang marak terjadi saat ini yaitu tawuran. Di Indonesia,
masalah tawuran merupakan fenomena yang tidak asing lagi dan menyita perhatian
publik. Tawuran sering terjadi dikalangan pelajar, mahasiswa dan warga
desa. Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI),
mencatat sepanjang enam bulan pertama di tahun 2012 sudah ada 139 kasus tawuran
pelajar.[1] Tidak sedikit
kerugian yang ditimbulkan aksi negatif ini, seperti mengganggu ketertiban, dan
keamanan umum. Bahkan banyak korban luka hingga korban tewas yang berjatuhan.
Sebenarnya
jika kita mau melihat lebih dalam lagi, terdapat
banyak faktor yang menjadi pemicu terjadinya tawuran tersebut. Salah satu akar
permasalahannya yaitu tingkat pemahaman agama yang masih rendah, serta
kurangnya pemahaman dan penghayatan nilai-nilai Al-Qur’an. Sekarang yang
terpenting adalah bagaimana menemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan
persoalan ini.
Berdasarkan latar belakang masalah yang
dikemukakan di atas, penulis merumuskan permasalahan pokok,
yakni bagaimana Al-Qur’an memberikan solusi dalam menghadapi tawuran yang
terjadi dalam masyarakat.
B.
Pengertian dan Macam-macam Tawuran
Tawuran merupakan suatu kegiatan
perkelahian atau tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok atau suatu
rumpun masyarakat.[2] Tawuran merupakan bentuk konflik sosial yang
mana konflik tersebut berasal dari kata
kerja configere, berarti saling memukul, dan
merupakan ciri yang tak terhindarkan
dari kepentingan negara dalam kondisi anarkis.[3]
Dipandang sebagai
perilaku, tawuran merupakan bentuk
minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok
atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999).[4]
Tawuran merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan
individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam
pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih
individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules,
1994:249).[5]
Tawuran atau kerusuhan sosial tidak akan terjadi apabila
tidak di dahului oleh faktor-faktor akselerator, maupun pemicu meskipun di
suatu daerah sudah ada sumber-sumber masalah. Di sini diasumsikan bahwa hubungan ketiga
faktor (sumber masalah, faktor akselerator, dan pemicu ) saling terkait antara
satu dengan lainnya dan tidak saling berdiri sendiri.[6]
Tawuran sering kali hadir sebagai manifestasi
dari ketegangan sosial, atau bisa juga disebabkan oleh perasaan ketidakpuasan
umum (sense of discontent), ketidakpuasan terhadap komunikasi (communication
of discontent), ketidakpuasan terhadap simbol-simbol sosial (social
attribution of discontent), dan ketidakpuasan terhadap kemungkinan resolusi
(probability of resolution of discontent) serta adanya sumber daya
mobilisasi (resource mobilization).[7] Terjadinya tawuran ditandai dengan adanya
ketidakpuasan diantara orang-orang, selanjutnya muncul kesalahpahaman diantara
mereka dan akhirnya terjadi pertentangan.
Tawuran yang terjadi dalam masyarakat juga
bermacam-macam, mulai dari tawuran antar siswa sekolah sampai tawuran antar
warga. Tindakan ini tidak hanya menyebabkan kerusakan,
tapi beberapa kasus diantaranya bahkan menyebabkan kematian. Ada beberapa contoh kasus tawuran yang terjadi dalam
masyarakat baru-baru ini, yaitu :
1. Tawuran di tingkat sekolah. Misalnya tawuran yang melibatkan pelajar Kartika Zeni
dengan Yayasan Karya 66 di Jakarta Selatan yang terjadi pada tanggal 26
September 2012. Sebelumnya juga terjadi tawuran antar siswa SMA
6 Jakarta dengan SMA 10 Jakarta.[8]
2. Tawuran di tingkat mahasiswa, biasanya dilakukan antar mahasiswa kampus itu sendiri, namun berbeda fakultas. Misalnya mahasiswa fakultas X mempunyai
masalah dengan fakultas lain; maka tawuran biasanya
akan terjadi di dalam area universitas/kampus. Sebab
tawuran di tingkat kampus biasanya hampir sama dengan sebab
tawuran di tingkat sekolah, namun sudah mencapai tingkat kekerasan yang lebih serius. Seperti tawuran mahasiswa yang terjadi di Universitas Negri Makassar yang
mengakibatkan beberapa
orang luka parah dan tewas , serta rusaknya prasarana kampus.
3. Tawuran antar warga masyarakat, biasanya dimulai dengan hal-hal sepele dan juga
karena memang kedua kubu masyarakat sudah menjadi
saingan sejak awal.
4. Tawuran antar aparat dengan massa, biasanya diwujudkan dalam
bentuk demo anarkis, bisa juga ketika terjadi penggusuran lahan dan rumah.
C.
Faktor-Faktor Pemicu Terjadinya Tawuran dalam
Pandangan Al-Qur’an
Dari beberapa bukti, terdapat beberapa foktor
yang memicu terjadinya tawuran. Disini penulis mencoba mengemukakan faktor-faktor
tersebut dengan pendekatan Al-Qur’an. Beberapa faktor pemicu terjadinya konflik
tersebut antara lain :
1.
Pemicu
tawuran yang terjadi di kalangan masyarakat seringkali berawal dari saling ejek
dan saling curiga. Dalam hal ini Al-Quran
telah memberikan rambu-rambu untuk tidak saling mengolok, menghina dan
mengejek, karena perbuatan ini bisa membawa kepada konflik dan permusuhan.[9]
Maka secara tegas Allah melarang umatnya melakukan sikap saling mengolok dan
mengejek. Allah berfirman dalam surat Al-hujarat ayat 11 :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum
mengolok-olok kuam ynag lain, karena boleh jadi mereka yang diolok-olokan lebih
baik dari mereka yang mengolok-olok, dan jangan pula perempuan-perempuan mengolok-olokan
perempuan yang lain karena boleh jadi perempuan yang diolok-olokkan lebih baik
dari perempuan yang mengolok-olok. dan janganlah saling mencela satu sama lain,
dan jangan memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk (fasik) sesudah beriman. dan Barang siapa yang tidak
bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”
Ayat di atas memberi petunjuk tetang beberapa hal yang
harus dihindari untuk mencegah timbulnya pertikaian. Pertama (يسخر ) memperolok-olok yaitu
menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan, baik dengan ucapan,
perbuatan atau tingkah laku. Kedua ( تلمزوا ) talmizu terambil dari kata al-lamz.
Ibnu ‘Asyur memahaminya dalam arti ejekan yang langsung dihadapkan kepada yang
diejek, baik dengan isyarat bibir, tangan atau kata-kata yang dipahami sebagai
ejekan atau ancaman. Ini adalah salah satu betu kekurangajaran dan
penganiayaan. Yang ketiga (تنابزوا ) tanabazu
yaitu saling memberi gelar buruk. Hal ini mengundang siapa yang tersinggung
dengan panggilan buruk itu, membalas memanggilnya pula dengan gelar buruk.[10]
2.
Pemicu
tawuran dan bentrokan yang kedua, baik di kalangan siswa maupun masyarakat
biasanya terjadi karena adanya provokator dan penyebar berita fitnah. Allah
berfirman dalam surat Al-Hujarat ayat 6 :
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu
berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu”
Ayat di atas merupakan salah satu dasar yang
ditetapkan agama dalam kehidupan sosial sekaligus ia merupakan tuntunan yang
sangat logis bagi penerimaan dan pengamalan suatu berita. Kehidupan manusia dan
interaksinya haruslah didasarkan hal-hal yang diketahui dan jelas. Manusia
sendiri tidak dapat menjangkau seluruh informasi, dan tentu membutuhkan pihak
lain. Karena itu pula berita harus disaring, lakukan cross check dan
klarifikasi atau tabayyun, supaya tidak melakukan tindakan aniaya kepada orang
yang tidak bersalah.[11]
3.
Tawuran
juga sering terjadi karena prasangka buruk, menggunjing, dan mencari-cari
kesalahan orang lain.[12] Oleh karena itu, Allah memerintahkan orang Mukmin
untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain dan
tidak menggunjing, dalam surat Al-Hujarat ayat 12 :
“ Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena
sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang
dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.”
M.Quraish
Shihab menjelaskan dalam tafsirnya Al-Mishbah, bahwa ayat di atas
menegaskan untuk menghindari dugaan dan prasangka buruk karena ia dapat
menjerumuskan seseorang ke dalam dosa. Karena tidak jarang prasangka buruk
mengundang upaya mencari tahu, maka ayat tersebut juga melarang mencari-cari
kesalahan orang lain. Mu’awwiyah bin Abu Sofyan menyampaikan bahwa ia
mendengar Nabi Saw bersabda : “sesungguhnya jika engkau mencari-cari kesalahan/
kekurangan orang lain, maka engkau telah merusak atau hampir saja merusak
mereka” (HR. Abu Daud).
Ayat di
atas juga melarang ghibah/menggunjing, karena perbuatan ini merupakan
perusakan bagian dari masyarakat, satu demi satu dampak positif yang diharapkan
dari wujud keamanan satu masyarakat menjadi gagal dan berantakan.[13]
4.
Pemicu
keempat adalah amarah yang tak terkontrol. Di dalam Al-Qur’an Allah telah
menegaskan, salah satu ciri orang yang benar dan bertakwa adalah mampu menahan
amarah, maka kuasai dan tahanlah amarahmu, sebagaimana firman Allah dalam surat
Ali-Imran ayat 134 :
“….dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Menurut Sayyid Qutub, marah adalah perasaan
manusiawi yang diiringi naiknya tekanan darah. Manusia tidak dapat menundukkan
kemarahan ini kecuali dengan perasaan yang halus dan lembut.[14] Untuk itu, manusia harus memiliki perasaan
yang halus dan bisa mengendalikan amarah, agar tidak terjadi pertikaian dan
permusuhan.
D.
Solusi Al-Qur’an Dalam Menghadapi Tawuran
Pada pembahasan sebelumnya, telah dikaji berbagai
faktor pemicu terjadinya tawuran dengan pendekatan Al-Qur’an. Tawuran ini
sebisa mungkin harus dihindari dan ditanggulangi dengan segala cara. Banyak
cara-cara sehat yang dapat ditempuh tak terkecuali dengan pendekatan al-Quran
dengan mencontoh para Nabi dan salafushaleh. Disini penulis mengemukakan
beberapa pembahasan dalam Al-Qur’an sebagai solusi dalam menghadapi tawuran.
1.
Memperkuat
Ukhuwah dan kasih sayang
Nabi saw
selalu menyerukan kepada kehidupan berjamaah dan persatuan, mengecam sikap
konfrontatif, disintegratif, perpecahan, serta mengajak ukhuwah dan mahabbah.
Bentuk persaudaraan yang dianjurkan oleh Al-Qur’an tidak hanya persaudaraan
satu akidah namun juga dengan warga masyarakat lain yang berbeda akidah.[15]
Al-Qayyim Al-Ahmad Yusuf menjelaskan bahwa interaksi manusia dengan sesamanya
harus didasari keyakinan bahwa semua manusia adalah bersaudara dan bahwa
anggota masyarakat muslim juga saling bersaudara.[16] Al-Qur’an
secara tegas menyatakan bahwa sesama orang mukmin adalah bersaudara,
sebagaimana tercantum dalam surat Al-Hujarat ayat 10.
Ukhuwah
yang biasa diartikan sebagai persaudaraan, terambil dari akar kata yang pada
mulanya berarti “memperhatikan”. Makna asal ini memberi kesan bahwa
persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara.[17]
Dengan memperkuat persaudaraan dan saling memperhatikan satu sama lain, maka
tawuran dan konflik hidup dapat dihindarkan.
2.
Membantah
sesuatu yang bertentangan dengan cara
baik
Jika terdapat sesuatu yang bertentangan dalam
kehidupan bermasyarakat, maka harus dibantah dengan cara yang baik sesuai
tuntunan Al-Qur’an. Bukan dengan cara keras dan kasar. Sebagaimana firman-Nya
dalam Surat An-Nahl ayat 125:
“Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhya
Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”
Ayat ini memberikan tuntunan bahwa umat Islam jika
harus membantah sesuatu, maka tetap dengan cara yang paling bagus, dan
menghadapi masalah dengan nilai-nilai Al-Qur’an. Banyak contoh yang dapat kita
petik dari kisah-kisah Nabi. Misalnya, ketika Nabi Muhammad dilecehkan, beliau
menanggapinya dengan kesabaran yang tinggi. Da’wah Nabi Muhammad mendapatkan
tantangan sengit dari warga kota Mekkah, terutama dari kelompok oligarki yang
menguasai kehidupan kota tersebut. Segala macam tuduhan dilontarkan kepada
beliau. Semakin hari tindakan tersebut menjadi fitnah dan disertai penyiksaan
yang tak kenal kasihan. Namun semua itu dihadapi Nabi Muhammad dengan penuh
kesabaran, dan ajaran beliau sedikit demi sedikit disampaikan dengan cara yang
baik dan jelas.[18]
Contoh lain, ketika Nabi Ibrahim berdebat
dengan Raja Namrud. Ketika Namrud mengaku sebagai tuhan, Ibrahim menyuruhnya
untuk berdebat secara logis. Jika tuhan telah menerbitkan matahari dari arah
timur, maka Ibrahim minta kepada Raja Namrud supaya menerbitkan matahari dari
arah barat. Inilah contoh cara yang digunakan para Nabi ketika berdakwah.
Menghadapi rintangan tidak boleh ditanggapi dengan jalan kekerasan, namun
disikapi dengan baik, kecuali jika tidak ada pilihan dan cara lain.
3.
Ishlah
dan Perdamaian
Apabila hal yang bertentangan dalam masyarakat tidak bisa dibantah
dengan cara yang baik, namun berujung kepada permusuhan, Al-Qur’an
memerintahkan supaya mengadakan Ishlah dan perdamaian. Ajaran
Islam sangat mengecam konflik liar tanpa kendali yang mengakibatkan perpecahan. Karena misi pokok dalam islam yaitu, menumbuhkan dan
memelihara perdamaian di dunia ini.[19][19] Sesuai
dengan arti Islam menurut ilmu bahasa yang antara lain bermakna damai, maka
setiap Muslim haruslah memiliki sikap hidup dan mental yang mengandung unsur
untuk menciptakan perdamaian.[20][20]
Ishlah terambil dari kata ashlaha-yushlihu-ishlahan
yang berarti perbaikan atau perdamaian. Dalam kamus bahasa, kata shalah diartikan
sebagai lawan dari kata fasad (kerusakan). Ishlah juga diartikan
sebagai yang bermanfaat.[21][21]
Ayat-ayat mengenai Ishlah banyak terdapat dalam Al-Qur’an, namun disini
penulis mengemukakan satu ayat saja yang berisi perintah untuk mendamaikan dan
memperbaiki hubungan antara saudara yang berselisih, yaitu dalam surat
Al-Hujarat ayat 10 :
“Orang-orang
beriman itu Sesungguhnya bersaudara. Maka
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Rasulullah Saw juga melukiskan petunjuk serupa. Beliau
melukiskan dampak perdamaian dalam bentuk manafikan hal-hal buruk, antara lain
bahwa seorang Muslim tidak saling menganiaya, tidak saling membenci, dan
berbagai larangan lainnya.[22] Di kesempatan
lain dan dengan gaya tuntunan yang sama, Nabi Saw bersabda :
المسلم من سلم
المسلمون من لسانه ويده ( رواه البخاري و مسلم
“Seorang Muslim adalah orang yang terhadap sesama
Muslim/orang lain dapat selamat dari lisan dan tangannya” ( HR. Bukhari dan
Muslim).
4.
Menyelesaikan
tawuran dengan jalan musyawarah
Jika pertikaian di dalam masyarakat tidak bisa
dilerai dan didamaikan, maka sebaiknya diselesaikan dengan jalan musyawarah,
bukan dengan tindakan kekerasan seperti tawuran. Karena dengan musyawarah
persoalan dapat terselesaikan dengan baik. Kata musyawarah diambil dari akar
kata sya, wau dan ra yang bermakna pokok mengambil sesuatu,
menampakkan dan menawarkan sesuatu.[23]
Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata tersebut
pada mulanya bermakna dasar mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini
kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau
dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat.[24]
Dalam Al-qur’an kata syawara dengan
segala perubahannya terulang sebanyak empat kali; asyarah, syawir , syûra
dan tasyawur.[25]
Salah satu ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai musyawarah terdapat dalam
surat Ali-Imran ayat 159 :
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Pakar-pakar Al-Qur’an sepakat berpendapat bahwa
perintah musyawarah ditujukan kepada semua orang, walaupun redaksinya ditujukan
kepada Nabi Muhammad Saw.[26]. Dalam ayat ini disebutkan tiga sifat dan sikap
secara berurutan diperintahkan kepada Muhammad Saw, untuk beliau laksanakan
ketika bermusyawarah. Ketiga sifat tersebut adalah berlaku lemah lembut,
tidak kasar dan tidak berhati keras.[27] Seseorang yang melakukan musyawarah harus
menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena masalah
tidak akan selesai jika dihadapi dengan sikap kasar. Meskipun ayat tersebut berbicara dalam
konteks perang Uhud, namun esensi sifat-sifat tersebut harus dimiliki dan
diterapkan oleh setiap kaum muslim.
Menurut hemat penulis, musyawarah adalah solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah
yang terjadi dikalangan masyarakat, karena dengan musyawarah seseorang menjadi
terbiasa dalam mengeluarkan pendapat dengan baik untuk menuju masa depan yang
lebih baik. Hal ini dikuatkan dengan pendapat yang diberikan oleh Muhammad
Abduh yang menyatakan bahwa musyawarah secara fungsional adalah untuk
membicarakan kepentingan masyarakat dan masalah-masalah masa depan umat.[28]
5. Di dalam Al Qur'an surat Al-A’raf ayat 199,
Allah memberikan solusi untuk menjadi pribadi yang baik dalam menyikapi
permasalahan, yaitu menjadi pribadi yang pema’af dan saling mengingatkan untuk
berbuat baik serta berpaling dari orang-orang yang tidak benar.
"Jadilah engkau pemaaf dan
suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang
yang bodoh".
Permusuhan yang terjadi bisa berakhir dengan baik jika manusia
memiliki sifat pema’af dan saling mengingatkan kepada kebaikan. Dalam
tafsirnya, Sya’rawi menuliskan: “ walaupun secara zahir memaafkan orang yang
menzalimu mengurangi harga diri, namun ketahuilah bahwa maaf yang diberikan,
manfaatnya akan kembali kepadamu juga.”[29][29]
Dalam ayat yang dikaji ini Allah menjelaskan untuk berpaling dari
pada orang-orang yang jahil (
وأعرض عن الجاهلين). Jahil ialah orang yang
mengetahui masalah tapi jauh dari kebenaran, dan lebih dari itu diapun fanatik
dengan kesalahan yang dimilikinya.[30][30] Jika ada orang yang tidak mau mengaku salah dan
tetap mempertahankan keegoannya, maka biarkanlah dan jangan mendebatnya. Karena
perdebatan dengannya akan memperpanjang masalah dan tidak memberikan hasil yang
bermanfa’at. Inilah pedoman yang sangat luar biasa, yang semua bermula dari
masing-masing individu yang dengan itu mengimbas pada lingkungan masyarakat.
Kelima solusi
yang penulis paparkan diatas, diharapkan dapat menjadi acuan dalam
menyelesaikan tawuran yang terjadi selama ini, agar tidak menjadi sesuatu yang mengganggu
kehidupan sosial masyarakat.
E.
Penutup
Setelah melakukan kajian secara komprehensif
mengenai solusi dalam menghadapi
tawuran dengan menggunakan pendekatan Al-Qur’an, maka dapat penulis simpulkan di akhir
pembahasan ini sebagai berikut :
1.
Untuk
menghindari terjadinya tawuran, interaksi manusia dengan sesamanya harus
didasari keyakinan bahwa semua manusia adalah bersaudara. Maka ukhuwah dan
kasih sayang harus senantiasa di tingkatkan.
2.
Apabila
terjadi pertikaian dan pertentangan, Allah menegaskan umat-Nya untuk membantah
hal yang bertentangan itu dengan cara yang baik, bukan dengan kekerasan seperti
tawuran. Sebagaimana tercantum dalam
surat An-Nahl ayat 125.
3.
Dalam
Surat Al-Hujarat ayat 10, umat Islam diperintahkan
untuk mendamaikan dan memperbaiki hubungan antara saudaranya, jika terjadi pertengkaran antara mereka.
4.
Allah
juga memberikan solusi untuk menyelesaikan masalah dengan jalan musyawarah.
Salah satu ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai musyawarah terdapat dalam
surat Ali-Imran ayat 159.
5.
Allah
menyampaikan kepada manusia dalam Al Qur'an surat Al-A’raf ayat 199, untuk
menjadi pribadi yang pema’af, dan saling menyeru untuk melalukan kebaikan. Jika
kata ma’af tidak bisa menyelesaikan
masalah, maka solusi selanjutnya adalah
menjauhi orang-orang yang jahil/ bertentangan dengan kebenaran.

Al-Qur’anul
Karim
Ashfahani, Al-Raghib, Mu’jam al
Mufradat Alfazhul Qur’an. Beirut: Darul Kutub, 2004M.
Daud, M, dkk, Islam Untuk Disiplin
Imu Hukum, Sisial dan politik. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Jurdi, Syarifuddin. Sosiologi Islam
dan Masyarakat Modern. Jakarta: Kencana, 2010.
Nasution, M. Yunan. Islam dan
Problema-Problema Kemasyarakatan. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Nurdin, Ali. Quranic Sosiety,
Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur’an. Jakarta:Erlangga, 2006.
Quthb,
Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Beirut: Darusy Syuruq, 1992 M.
Rahman,
Fazlur. Islam. Bandung: Pustaka, 1984.
Shihab,
M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Jakarta: Mizan, 2007.
_______________Membumikan Al-Qur’an,
Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan. Jakarta: Lentera Hati, 2010.
________________Tafsir
al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
________________Wawasan
Al-Qur’an. Bandung: Al-Mizan, 1997.
Sya’rawi,
Mutawalli. Tafsir Sya’rawi.Kairo: Akhbar al-Yaum, 2006 M.
[1][1] www.Singgalang.com, Negri Sejuta
Tawuran, diakses Senin, 22 Okober 2012
[2][2] http://www.tutorialto.com, diakses Senin
22 Oktober 2012
[3][3] Syarifuddin Jurdi, Sosiologi
Islam dan Masyarakat Modern, (Jakarta:Kencana, 2010), hal.253
[4][4] http://www.Wikipedia.com, diakses pada Minggu 21 Oktober 2012
[5][5] Ibid
[6][6] Syarifuddin Jurdi, op.cit;
hal. 254
[7][7] Ibid, hal. 259
[8][8] www.Singgalang.com , diakses 22 Oktober
2012
[9][9] Quraih Shihab, Wawasan
Al-Qur’an, (Bandung; Al-Mizan) hal. 495
[10][10] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hal. 251
[11][11] Ibid, hal.238
[12][12] M.Qurais Shihab, Wawasan
Al-Qur’an, hal. 495
[13][13] M.Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah, hal.255
[14][14] Sayyid Qutb, Fi
Zhilalil Qur’an, ( Beirut: Darusy Syuruq, 1992 M), hal. 162
[15][15] Ali Nurdin, op.cit; hal.270
[16][16] Ibid, hal. 559
[17][17] M.Quraih Shihab, Wawasan
Al-Qur’an, hal.486
[18][18] Fazlur Rahman, Islam,
( Bandung;Pustaka, 1984), hal.7
[19][19] M.Daud, dkk, Islam
Untuk Disiplin Imu Hukum, Sisial dan politik, (Jakarta;Bulan Bintang,
1988), hal. 88
[20][20] H.M.Yunan Nasution, Islam
dan Problema-Problema Kemasyarakatan, (Jakarta;Bulan Bintang, 1988), hal.
95
[21][21] M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an, (Jakarta: Mizan, 2007), hal.565
[22][22] M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an, Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan, (Jakarta: Lentera
Hati, 2010), jilid II, hal.284
[23][23] Al-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam
al Mufradat Alfazhul Qur’an ( Beirut: Darul Kutub, 2004M) hal. 270
[24][24] M. Quraish Shihab,
Tafsir al-Misbah, Jilid II, hal. 244
[25][25] Ali Nurdin, Quranic
Sosiety, Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur’an, (Jakarta;
Erlangga, 2006), hal.226
[26][26]M.Quraih Shihab, Wawasan
al-Qur’an, hal.475
[27][27] Ibid, hal.474
[28][28] Ali Nurdin, op.cit; hal.232
[29][29] M.Mutawalli Sya’rawi, Tafsir
Sya’rawi, (Kairo:Akhbar al-Yaum, 2006), hal.222
[30][30] Ibid, hal. 225
0 comments:
Posting Komentar