Baru-baru ini muncul kembali
perdebatan terkait salam lintas agama yang diucapkan oleh umat muslim di Indonesia.
Sebenarnya sejak era reformasi sudah ada pro kontra terkait salam lintas agama
yang biasa diucapkan oleh pejabat pemerintahan. Salam lintas agama atau disebut
juga salam kebhinekaan adalah salam yang popular diucapkan terutama oleh para
pejabat negara dalam acara-acara resmi. Salam tersebut merupakan sebuah ucapan
pada pertemuan-pertemuan formal di mana para pesertanya dihadiri oleh berbagai
agama yang berbeda.
Salam lintas agama tersebut
berisi redaksi salam dari enam agama yang diakui di Indonesia, yaitu: salam
yang biasa diucapkan umat Islam “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”.
Kemudian ada salam dari agama Kristen, yaitu sejahtera bagi
kita semua. Diikuti dengan ucapan Shalom dari agama Katolik, Om Swastiastu dari
agama Hindu, Namo Buddhaya dari agama Buddha, dan Salam Kebajikan dari agama Konghucu.
Semua salam ini digabung atau dirangkai menjadi satu rangkaian salam yang
diucapkan pada pembukaan pidato.
Menurut Fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI), haram hukumnya mengucapkan salam yang memuat do’a khusus
dari agama lain. Fatwa tersebut dikeluarkan melalui Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa
se-Indonesia VIII yang digelar pada tanggal 28-31 Mei 2024 di Bangka Belitung.
Adapun mengenai
toleransi dan moderasi, MUI menjelaskan bahwa pengucapan salam dengan
menyertakan salam berbagai agama dengan alasan toleransi agama bukanlah makna
toleransi yang dibenarkan. Ketika di dalam forum yang dihadiri umat Islam dan
agama lain, umat Islam dibolehkan mengucapkan salam dengan “Assalamu’alaikum” dan/atau
salam nasional, atau salam lainnya, yang tidak mencampuradukkan dengan salam yang
berisi do’a agama lain.
Hal senada juga
disampaikan oleh Sekjen PB PII Fikri Haiqal Arif, mengatakan bahwa salam 6
agama bukanlah implementasi toleransi yang benar, melainkan berpotensi
memburamkan akidah umat Islam. Hal itu karena salam yang diucapkan terdapat
unsur ubudiyah dan do’a dalam Islam, sama halnya dalam agama lain ada unsur
ibadah dan do’a kepada tuhannya. Misalnya: Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh, memiliki makna semoga keselamatan, rahmat dan keberkahan dari
Allah untukmu. Kalimat Om swastiastu artinya semoga dalam keadaan
selamat atas karunia dari Hyang Widhi. Kemudian salam Namo Budhaya memiliki
arti terpujilah sang Buddha.
Jika ditilik makna
salam di atas, jelas terdapat unsur do’a kepada Tuhan masing-masing agama.
Sehingga mencampuradukkan ibadah do’a pada Tuhan masing-masing agama itu tidak
dibenarkan. Pada dasarnya prinsip toleransi bukan mencampurkan atau
menggabungkan yang berbeda, tetapi toleransi adalah menghormati perbedaan demi
menjalin tujuan kerukunan dan kedamaian dalam umat berbangsa dan bernegara.
Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dalam menetapkan fatwa haramnya salam lintas agama tentunya didasari
dengan dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadis. Salah satu hadis yang dijadikan
landasan oleh MUI adalah terkait hadis larangan memulai ucapan salam kepada umat
selain Islam. Rasulullah saw bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim dari jalur Abu Hurairah yang artinya: “Janganlah
kalian memulai ucapan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Jika kalian
bertemu dengan salah seorang dari mereka, maka desaklah mereka ke sisi jalan
yang paling sempit. Terkait hadis ini akan kita bahas lebih detail pada
pembahasan berikutnya.
Pandangan yang berbeda mengenai
salam lintas agama datang dari Kementerian Agama (Kemenag) RI. Dirjen Bimas
Islam Kamarudin Amin mengatakan, salam lintas agama merupakan hal yang sah-sah
saja karena mengandung praktik baik dalam rangka merawat kerukunan antar umat
beragama. Menurutnya salam lintas agama dapat menebar kedamaian dan tidak
berpengaruh terhadap akidah.
Lebih lanjut,
menurutnya Islam adalah agama kedamaian dan menganjurkan umatnya menebarkan
kedamaian kepada siapapun, baik muslim dan non-muslim. Pendapat ini diperkuat
dengan hadis Nabi dalam kitab Al-Mushannaf li ibni Abi Syaibah yang artinya: “Siapapun
makhluk Allah yang mengucapkan salam kepada kalian, maka balaslah salam mereka,
meskipun dia orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi).
Dalam penelusuran Bimas
Islam, hadis Riwayat Imam Muslim mengenai larangan memberi salam kepada
non-muslim berlaku dalam situasi perang. Hal tersebut terjadi saat Nabi dan
kaum Muslim hendak mengepung Yahudi Bani Quraizhah karena mereka melanggar
perjanjian damai. Sehingga menurut Bimas Islam, menyampaikan salam kepada
non-muslim adalah tindakan yang dianjurkan dalam konteks kebaikan bersama.
Terlepas dari
kontroversi salam lintas agama yang popular diucapkan terutama di kalangan
pejabat negara, penulis di sini fokus pada pemahaman hadis tentang mengucapkan
salam kepada non-muslim. Terdapat hadis Nabi mengenai larangan umat Islam untuk
memulai mengucapkan salam kepada non-muslim disertakan dengan perintah untuk
mendesaknya ke jalan yang sempit. Hadis tersebut berbunyi:
عن أبي هريرة رضي الله عنه، أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم قال: لا تَبْدَؤوا اليهود والنصارى بالسَّلام، وإذا لَقِيتُمُوهُمْ في
طريق، فاضْطَّرُّوهُمْ إلى أَضْيَقِهِ .رواه مسلم
Artinya: Dari Abu
Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-
bersabda, "Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada
orang-orang Yahudi dan Nasrani. Jika kalian bertemu mereka di jalan maka
paksalah (pepetlah) mereka ke jalan yang paling sempit (pinggir). (HR. Imam Muslim)
Terkait kualitas, semua
ahli hadis menilai hadis ini dan seluruh jalur periwayatannya dengan kualitas
shahih. Selain diriwayatkan oleh Imam Muslim, hadis di atas juga diriwayatkan
oleh Imam Abu Dawud, Imam at-Tirmidzi, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Semua jalur
periwayatan tersebut memuat redaksi yang hampir sama kecuali pada Riwayat Abu
Dawud dan salah satu Riwayat Ahmad. Pada keduanya terdapat keterangan sababul
wurud atau sebab turunnya hadis berupa perbincangan Suhail dengan ayahnya
yaitu Abu Shalih.
Disebutkan
bahwa ketika Suhail bersama ayahnya pergi menuju Syam, mereka (penduduk Syam)
melewati gereja yang di dalamnya terdapat orang-orang Nasrani lalu mengucap
salam kepada orang-orang Nasrani tersebut. Mendengar hal itu, ayah Suhail (Abū
Ṣāliḥ) berkata jangan memulai salam kepada mereka! karena Abū Hurairah pernah
meriwayatkan hadis kepada kami dari Rasulullah saw, Ia bersabda: janganlah
kalian memulai salam kepada mereka dan apabila kalian berjumpa (berpapasan) di
jalan maka desaklah mereka ke jalan yang paling sempit.
Adapun
latar belakang hadis mengenai larangan memberi salam lebih dulu kepada non-muslim,
demikian itu terkait dengan kondisi perang dan pertemuan musuh di medan
pertempuran, yaitu tempat yang biasanya tidak ada pemberian salam. Mungkin juga
ucapan itu menegaskan kebolehan jika ada motif yang menuntut pemberian salam,
seperti kekerabatan, persahabatan, ketetanggaan, perjalanan, atau keperluan.
Al-Qurthubi
telah menyebutkan hal tersebut dari al-Nakha’i. Ia berkata; “untuk menakwilkan
hadis dari Abu Hurairah mengenai larangan memberi salam lebih dulu kepada non-muslim,
jika tidak ada alasan bagi kalian untuk memulai salam kepada mereka, seperti
memenuhi perlindungan, adanya keperluan kalian kepada mereka, suatu hak,
ketetanggaan atau dalam perjalanan. Sedangkan mengenai penghormatan selain
bacaan salam, seperti mengucapkan selamat pagi, selamat sore, atau selamat
datang, tidak ada halangan akan hal itu.
Sebanrnya para ulama
berbeda pendapat mengenai larangan mengucapkan salam kepada non-muslim. Mayoritas
ulama klasik-tradisionalis
sepakat bahwa hadis ini melarang umat Islam memulai salam kepada orang-orang
kafir, musyrik, ahl al-żimmah, ahli kitab, Yahudi dan Nasrani. Di antara
ulama yang berpandangan demikian adalah mayoritas ulama salaf, para ahli fikih,
Imam Mālik, sebagian ulama mazhab Syāfi‘ī, dan sejumlah ulama khalaf seperti
al-Nawawī, Ibn Ḥajr al-‘Asqalānī, al-Ṣan‘ānī, dan lain-lain.
Menurut
para ulama yang melarang, salam tidak hanya sekadar ucapan “basa-basi” tetapi
ia mengandung unsur penghormatan dan doa keselamatan kepada yang dituju. Oleh
karena itu, para ulama di atas melarang memberi salam kepada non-muslim karena
hal tersebut berarti sama dengan memberi penghormatan kepada mereka. Berbeda
kasus jika non-muslim memberi salam kepada orang muslim, maka menurut para
ulama diperkenankan menjawab salam mereka namun dengan catatan hanya
menggunakan lafal “wa ‘alaikum” semata, tidak lebih dari itu.
Terkait menjawab salam, banyak hadis yang
menceritakan bagaimana Nabi saw menjawab salam non-muslim. Ada hadis yang
mengatakan Nabi menjawab dengan ucapan “wa ‘alaikum”, pada hadis lain Nabi
menjawab dengan ucapan ‘alaika tu wa ‘alaika, serta ada juga Nabi
memerintahkan untuk menjawab dengan ucapan ‘alaika ma qulta. Al-Mawardi
berpendapat boleh menjawab salam Ahl al-Kitāb dengan ucapan wa ‘alaikum
al-salam tanpa “warahmatullah”, apabila mereka mengucapkan salam yang benar
yaitu “al-salāmu ‘laikum”.
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ:
أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَنَسٍ: حَدَّثَنَا أَنَسُ
بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ
أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا: وَعَلَيْكُمْ.
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kamu Utsman bin Abu Syaibah telah menceritakan
kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepada kami‘Ubaidullah bin Abu Bakr bin
Anas telah menceritakan kepada kami Anas bin Malik radhiallahu‘anhu dia
berkata: Nabi Shallallhu ‘Alaihi Wasallam bersabda:“Apabila ahli kitab
menyampaikan salam kepada kalian, maka jawablah: wa’alaikum (dan ke atasmu).
Dalam
hadis ini dapat kita pahami bahwa menjawab salam dari selain muslim boleh, tapi
hanya dengan menjawab “wa ‘alaika”( dan atasmua) , atau wa
‘alaika ma qulta (dan atasmu apa yang kau ucapkan). Artinya kita
membalas ucapan yang sama dengan apa yang mereka ucapkan. Bukan menjawab dengan
redaksi salam yang lengkap “wa ‘alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh”
seperti yang biasanya kita ucapkan kepada muslim, karena salam yang lengkap
mengandung do’a keselamatan, rahmat dan berkah dari Allah.
Kembali lagi ke perkara
mengucapkan salam kepada non-muslim, banyak juga ulama yang
membenarkannya, seperti sahabat Nabi yaitu Ibn Abbas, dan sekelompok ulama lainnya.
Sebagian ulama yang membolehkan memberi salam kepada non-muslim menjadikan hadis dari Abi Umamah sebagai
landasan. Abu Umamah berkata, “Sesungguhnya Allah SWT menjadikan salam
sebagai penghormatan bagi umat kami dan perlindungan bagi Ahl al-Dhimmi di
tengah kami. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan hadis melalui Aun bin Abdul Aziz
tentang memberi salam lebih dulu kepada Ahl al-Dhimmi. Ia menjawab, “Kami hanya
menjawab salam mereka, tidak memberi salam lebih dulu kepada mereka.” Aun
berkata, “Saya bertanya kepadanya, “Bagaimana pendapatmu? menurut saya, tidak
apa-apa memberi salam lebih dulu kepada mereka.
Selain itu kita juga bisa melihat pada zaman kontemporer ini, tidk
sedikit ulama yang membolehkan mengucapkan salam kepada non-muslim dengan dalih
toleransi beragama. Salah satu yang membolehkan mengucapkan salam kepada
non-muslim adalah Kementerian Agama RI. Melalui Bimas Islam dikatakan bahwa
Islam meganjurkan umatnya menebarkan kedamaian kepada siapapun baik muslim
maupun non-muslim, termasuk dalam mengucapkan salam. Kebolehan mengucapkan
salam kepada non-muslim didasari hadis Nabi dari Ibnu Abbas dalam Kitab
Al-Mushannaf Li Ibni Abi Syaibah jilid XII. Redaksi hadis tersebut sebagai
berikut:
عن ابن عباس رضي الله عنه، قال: "من سلَّم
عليكم من خلق الله فردّوا عليهم، وان كان يهوديّا آو نصرانيّا آو مجوسيّا".
Artinya: Siapapun
makhluk Allah yang mengucapkan salam kepada kalian, maka balaslah salam mereka,
meskipun dia orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Menurut hemat penulis,
hadis yang dijadikan landasan oleh Bimas Islam tentang mengucapkan salam kepada
non-muslim sepertinya kurang tepat. Karena dilihat dari matan-nya, hadis ini
berisi tentang menjawab atau membalas salam yang diucapkan non-muslim, bukan
memberi salam kepada non-muslim. Terkait menjawab salam, banyak hadis yang
membahasnya dan membolehkan menjawab dengan kalimat “wa ‘alaika”
sebagaimana telah penulis paparkan sebelumnya.
Perbedaan
pendapat di kalangan muslim sebenarnya hal yang biasa, namun argumen
masing-masing harus diperkuat dengan dalil yang tepat. Mengenai mengucapkan
salam kepada non-muslim, menurut penulis larangan tersebut bisa saja dibenarkan
untuk saat ini, mengingat salam dalam Islam adalah do’a yang selayaknya
diberikan kepada saudara sesama muslim yang jelas-jelas mengakui rukun Iman dan
rukun Islam. Adapun di dalam forum yang terdapat muslim dan non-muslim, maka
salam Islam tetap bisa diucapkan karena ditujukan untuk muslim yang ada dalam
forum tersebut. Sementara untuk saudara non-muslim bisa memberikan salam dengan
sapaan seperti selamat pagi, selamat siang, selamat malam, dan lain sebagainya.
Wallahu ‘alam
Daftar Pustaka
BimasIslam.
(2024, Juni 03). Indonesia. Retrieved from
https://www.instagram.com/p/C7wdT63BIs7/?img_index=6
Dayat,
M., & Yusuf, A. (2019). Mengucapkan Salam Kepada Non Muslim dalam
Perspektif Hadis. MAFHUM: Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, 4(1),
113-138.
Fatimah,
A. P. (2014). Salam terhadap Non-Muslim Perspektif Hadis. Jakarta:
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah.
Mustakim,
Z. (2024, Juni 3). Kementerian Agaman Republik Indonesia. Retrieved
from Kemenag:
https://www.kemenag.go.id/opini/menimbang-fatwa-larangan-salam-lintas-agama-antara-agama-dan-harmoni-fHX25
Qardhawi,
Y. (2010). Fiqh al-Jihad: Dirasah Muqaranah lil AHkam wa Falsafah fi Dha'u
al-Qur'an wa al-Sunnah. Terje Irfan Maulana Hakim. Bandung: Mizan
Pustaka.
Sadam.
(2024, Juni 05). MUI Digital. Retrieved from MUI Digital:
https://mui.or.id/baca/berita/pengurus-besar-pelajar-islam-indonesia-sepakat-fatwa-mui-haramkan-salam-lintas-agama
Siahaan, J. M. (2020). Salam Lintas
Agama Merekatkan yang Berbeda untuk Memberkati Satu SAma Lain. RHEMA:
Jurnal Teologi Biblika dan Praktika, 6(1), 13-22.
Syachrofi,
M., & Suryadilaga, M. A. (2021). Reinterpretasi Hadis Mengucap Salam
kepada Non-Muslim: Aplikasi Teori Fungsi Interpretasi Jorge J.E Gracia. Journal
of Qur'an and Hadith Studies, 10(1), 1-24.
Wafirah,
A., Arista, M. N., Sholahuddin, M., Kosim, M., & Musyafa'ah, N. L.
(2020). Pengucapan Salam Lintas Agama Menurut Ulama Jawa Timur. Al-Qanun:
Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam, 23(2), 238-272.
0 comments:
Posting Komentar