By: Hidayati
Abstrak
Fakta
sejarah menunjukkan bahwa perempuan adalah kelompok yang sangat diuntungkan oleh
kehadiran seorang Nabi. Di tengah tradisi Arab yang memandang perempuan sebagai
makhluk kelas dua, beliau justru menempatkan kedudukan perempuan pada
proporsinya dan mengikis habis kegelapan yang dialami perempuan pada masa
pra-Islam. Beliau memandang perempuan sebagai makhluk yang mulia dan memiliki
berbagai hak di samping kewajiban. Sehingga
banyak sahabat perempuan pada masa Nabi yang memiliki peran yang cukup
signifikan, baik dalam ranah agama, pendidikan,
ekonomi, dan politik. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Nabi telah
melakukan perubahan besar dalam kehidupan masyarakat, khususnya kaum perempuan.
A.
Pendahuluan
Dalam
sejarah kebudayaan Arab pra-Islam, posisi perempuan sangatlah rendah dan secara
umum perempuan dipandang sebagai komunitas kelas dua.[1] Kedudukan dan status sosial perempuan sangat tidak dihargai.
Perempuan secara sosial, ekonomi, dan politik tidak bebas, dan tidak dapat
memainkan peran yang independen yang dapat menunjukkan harkat dan statusnya
sebagai seorang perempuan.[2]
Bahkan mereka dihina,
diperlakukan secara kasar, dan direndahkan martabatnya. Hal yang demikian ini
menjadi sesuatu yang wajar dalam budaya bangsa Arab Jahiliyah.
Dalam
suasana yang benar-benar kacau balau dan amburadul, Nabi Muhammad Saw diutus
dan al-Qur’an diturunkan. Sejak Muhammad mendapat mandatory sebagai Nabi
sekaligus Rasul, beliau banyak melakukan kritik dan perlahan-lahan melakukan
pembaharuan budaya dengan mengangkat harkat dan martabat perempuan. Banyak sisi kehidupan pribadi Muhammad dalam
interaksinya dengan perempuan-perempuan di sekelilingnya, terutama dalam tataran
sosial, politik dan keagamaan, yang merupakan sikap yang revolusioner di dalam
upaya mengembalikan hak-hak perempuan pada proporsi yang semestinya.[3]
Dalam tulisan ini akan dipaparkan bagaimana peran Rasulullah Saw
dalam mengangkat harkat dan martabat perempuan, yang mana sebelum Islam
perempuan sangat tidak dihormati dan bahkan tidak dianggap. Dan bagaimana
Rasulullah membimbing perempuan, sehingga mereka memiliki kesempatan untuk mengaktualisasi
diri dan memberikan kontribusi yang berarti dalam berbagai aspek kemanusiaan.
B.
Kedudukan Perempuan Pada
Masa Jahiliah
Ada banyak adat dan kebiasaan buruk berkaitan dengan
persoalan perempuan di zaman Jahiliah. Kebisaan menganggap rendah dan melecehkan
perempuan tersebut dilakukan oleh sebagian masyarakat Jahiliyah.[4]
Diawali dari kelahiran anak perempuan yang disikapi atau direspon dengan nada-nada gelisah, gundah gulana, rasa benci dan rasa malu. Sebagaimana
Allah berfirman dalam al-Qur’an:[5]
#sŒÎ)ur tÏe±ç0 Nèd߉ymr& 4Ós\RW{$$Î/ ¨@sß ¼çmßgô_ur #tŠuqó¡ãB uqèdur ×LìÏàx. ÇÎÑÈ 3“u‘ºuqtGtƒ z`ÏB ÏQöqs)ø9$# `ÏB Ïäþqß™ $tB uŽÅe³ç0 ÿ¾ÏmÎ/ 4 ¼çmä3Å¡ôJãƒr& 4’n?tã Acqèd ôQr& ¼çm”™ß‰tƒ ’Îû É>#uŽ—I9$# 3 Ÿwr& uä!$y™ $tB tbqßJä3øts† ÇÎÒÈ
“Dan
apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan,
hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah. Ia Menyembunyikan
dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan
kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah
akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). ketahuilah, Alangkah buruknya
apa yang mereka tetapkan itu.”
Mereka
lebih memilih menguburkannya hidup-hidup tanpa dosa selain karena dia seorang
wanita.[6] Kebiasaan menguburkan
bayi perempuan tersebut tampaknya dipraktikkan bukan semata karena kemiskinan,
tetapi karena takut kehilangan kehormatan.[7] Hal ini juga disinyalir dalam dua ayat
dalam al-Qur’an, yakni surah al-An’a>m/6: 151 dan surah al-isra’/17:31.
Di
kalangan nomad khususnya, perempuan rentan menjadi korban penculikan dan
kawin paksa jika kelompok mereka diserang. Menjadi aib yang sangat memalukan
jika seseorang tidak mampu menjaga sanak saudara perempuannya. Kelompok yang
lemah sangat rentan terhadap pelecehan semacam itu sehingga mereka memilih
membunuh bayi perempuan daripada menyaksikan anak perempuan mereka yang tidak
mampu mereka lindungi tertangkap dan dibawa lari.
Kemungkinan lain, pembunuhan bayi dilakukan untuk ide
pengorbanan yang diserukan oleh kepercayaan agama. Kasus penyembelihan putra
Ibrahim pernah difahami secara keliru oleh kalangan pengikutnya, yang
menganggap setiap keluarga harus menyembelih salah seorang putranya. Alasan lainnya,
yaitu mereka membunuh anak perempuan karena khawatir nantinya akan kawin dengan
orang asing atau orang yang berkedudukan sosial rendah misalnya budak atau mawa>li.
Disamping itu, khawatir jika anggota sukunya kalah dalam peperangan yang
akan berakibat anggota keluarga perempuannya akan menjadi harem-harem atau
gundit para musuh.[8]
Sosiolog Divale dan Harris melihat bahwa pembunuhan
bayi-bayi perempuan merupakan akibat kompleks supremasi laki-laki. Keterampilan
dan kekuatan memainkan senjata adalah profesi laki-laki. Agresivitas laki-laki merupakan
suatu keharusan dalam upaya berhasil dalam perannya sebagai pelindung keluarga
dan kabilah. Sebagai imbalannya, perempuan dilatih mejadi manusia pasif sebagai
bentuk dukungan keberhasilan peran laki-laki. Laki-laki dalam pandangan ini
dianggap sebagai komunitas militer yang senantiasa siap untuk berperang.[9]
Jika dikaitkan pada kesulitan hidup dan kejamnya
adat kebiasaan Arab Jahiliyah, Wildana Wargadinata menyimpulkan dalam sebuah
tulisannya yang dimuat dalam Jurnal bahwa ada beberapa hal yang menjadi
penyebab mereka membunuh bayi perempuan, sebagaimana berikut:[10]
a.
Cara hidup mereka adalah
berpindah-pindah tempat (nomaden) yang dilakukan secara bedol desa. Membawa
wanita dalam rombongan yang besar membuat gerakan menjadi tidak licah, bahkan
perhatian harus banyak diberikan untuk membantu perempuan-perempuan ini. Di gurun
pasir yang kejam itu perempuan tidak saja sulit memberikan partisipasinya untuk
hal-hal yang diperlukan, bahkan mereka tidak mampu menolong dirinya sendiri.
Menurut mereka fisik perempuan terlalu lemah menghadapi alam yang kejam itu.
b.
Setiap mulut yang terbuka
membutuhkan makanan. Sedang bahan makanan yang tersedia sangat terbatas. Oleh
karena itu laju pertambahan penduduk harus dihambat. Pada tingkat pengetahuan
mereka pada waktu itu mereka menganggap perempuanlah yang menjadi penyebab
lajunya pertambahan penduduk, karena mereka melihat perempuanlah yang
melahirkan. Oleh sebab itu jumlah wanita harus dikurangi, agar yang memproduksi
manusia menjadi berkurang. Di samping itu perempuan tidak bisa membantu dalam
meningkatkan produksi bahan makanan di alam yang kejam itu.
c.
Dalam peperangan, anak-anak
dan perempuan-perempuan dari pihak yang kalah menjadi milik yang menang. Hal
ini sudah barang tentu sangat menjatuhkan martabat dan kehormatan diri dari
suku yang mengalami musibah itu. Untuk menghindari terjadinya hal yang seperti
ini, maka lebih baik anak-anak perempuan itu dibunuh sejak bayi, agar mereka
tidak mengalami derita hidup dan aib.
Dalam konteks penanaman hidup-hidup anak perempuan
perlu digarisbawahi bahwa tidak semua suku melakukan hal itu. Suku-suku besar
seperti Quraisy dapat menghindari praktik tersebut karena mereka percaya dapat
melindungi diri dari penistaan semacam itu. Beberapa sumber menunjukkan bahwa
orang Quraisy melarang penguburan bayi perempuan tidak lama sebelum kedatangan Islam,
karena menurut mereka tindakan semacam itu memalukan. Meskipun demikian, reaksi
negatif atas lahirnya bayi perempuan telah menjadi norma budaya di kalangan
bangsa Arab pra-Islam.[11]
Pandangan serupa juga dikemukakan ‘A`isyah Abd
ar-Rahman (Bint asy-Syathi’), yang menjelaskan bagaimana pembunuhan
terhadap anak perempuan sudah sedemikian membudaya di hampir semua kabilah
bangsa Arab, meskipun ada yang tetap bertahan memelihara putrinya sampai dewasa
dengan kesabaran dan ketahanan, kemudian dapat diserahkan kepada peminangnya
yang sederajat, atau melilih kuburan sebagai menantu setianya.[12]
Selain itu perempuan juga dipandang sebagai makhuk
kelas dua. Perempuan tidak mendapat izin budaya saat itu sebagai manusia
seutuhnya yang merdeka, memiliki hak-hak sebagaimana dimiliki laki-laki. Perempuan
tidak berhak mendapat warisan walaupun hidup
dalam kemiskinan dan kebutuhan yang tinggi, sebab pewarisan tersebut hanya
berlaku bagi kaum pria saja, bahkan perempuan tersebut bisa diwariskan setelah
suaminya meninggal sebagaimana harta diwariskan. Lebih dari itu banyak wanita
yang hidup di bawah satu lelaki sebab masyarakat jahiliyah tidak membatasi diri
dengan batasan jumlah istri-istri, dan merekapun tidak menghiraukan terhadap berbagai
pengekangan dan kezaliman yang terjadi pada wanita.[13]
Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab
shahihnya dari Umar RA bahwa beliau berkata, “Demi Allah!, pada masa jahiliyah
wanita tidak kami anggap apapun, sehingga Allah menurunkan bagi mereka tuntunan
yang menjelaskan kemaslahatan bagi mereka dan Allah memberikan bagian harta tertentu
dalam perkara pewarisan”
Dalam struktur ekonomi masyarakat Arab
Jahiliyah, perempuan diperdagangkan, bahkan juga diwariskan seperti harta benda
dan kekayaan. Perempuan diperbudakkan di samping juga laki-laki, dan secara
legal-formal budak perempuan yang dikenal sebagai amah atau jariyah harus
melayani kebutuhan biologis tuannya, bahkan sudah menjadi tradisi para jariyah
itu diganggu dan dijaili oleh setiap lelaki yang mendapatinya, sehingga perempuan
hampir tidak lagi memiliki harkat dan martabat kemanusiaannya.[14]
Kebejatan dan pelecehan yang dilakukan sebagian
masyarakat jahiliyah khususnya kepada perempuan, sudah cukup untuk membuktikan
betapa umat manusia di seluruh penjuru bumi sangat membutuhkan bimbingan untuk mewujudkan
nilai-nilai yang rahmatan lil alamin.
C.
Misi Rasulullah dalam
Mengangkat Harkat dan Martabat Perempuan
Kehadiran sebuah agama sesungguhnya adalah untuk
membebaskan manusia dari segala bentuk kezhaliman dan kesewenang-wenangan. Dan inilah
misi utama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw sehingga menciptakan kehidupan
yang penuh kasih sayang, tanpa kekerasan, pelecehan terhadap siapapun baik
terhadap laki-laki maupun perempuan. Sebagai implementasi dari misi kenabian
yaitu menebar nilai-nilai akhlakul karimah yang dapat dilihat dengan
penghargaan dan penghormatannya kepada sesama.[15]
Salah satu yang menjadi tolok ukur akhlak adalah
sikap terhadap perempuan. Sejak dahulu hingga kini diakui bahwa salah satu
tanda budi pekerti yang luhur atau sikap gentle adalah sikap dan
perlakuan baik terhadap perempuan.[16] Rasulullah
adalah orang yang paling pintar berinteraksi dengan kaum perempuan, beliau
merupakan Rasul yang diutus untuk mengangkat harkat dan martabat wanita dengan
dimensi yang tak terhingga. Banyak hadis yang mendeskripsikan kepada kita,
bagaimana kaum perempuan melakukan tuntutan dan keluhan kepada Nabi saw atas
tindakan yang menimpa mereka, termasuk yang dilakukan oleh suami-suami atau
orang-orang di sekitar. Dari sinilah Rasulullah Saw dengan kalimat yang tegas
bersabda :
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ
خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا ( رواه الترمذى )
“Sesungguhnya orang yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya
dan paling ramah terhadap istrinya” (HR. Turmudzi)[17]
Pada lain kesempatan beliaupun bersabda:
ما
أكرم النساء إلا كريم وما أهانهن إلا لئيم
“Tidak
ada yang menghargai perempuan kecuali orang mulia dan tak ada yang
melecehkannya kecuali orang bejat”. (HR. Ibn ‘Asakir)
Dalam suatu hadist dikisahkan, bahwa seorang
perempuan bernama Jamilah istri sahabat Tsabiq bin Qais mengajukan khulu’
karena sudah tidak bisa lagi hidup serumah dengan suami, sekalipun suaminya
seorang yang baik dan taat beragama. Nabi Saw menanggapinya dengan tidak
melecehkan atau menyalahkan perempuan tersebut karena mengungkapkan keadaan
rumah tangga yang seharusnya tidak boleh diketahui orang lain dan juga tidak
menganggap sebagai perempuan atau istri tidak berbakti. Dari sini dapat diambil
kesimpulan, bahwa misi utama kenabian dalam konteks kemanusiaan adalah akhlak
mulia. Siapapun baik laki-laki atau perempuan berkewajiban menegakkannya dengan
saling memuliakan, menghormati dan menghargai.[18]
Nabi Muhammad sejak awal terlihat lebih mengutamakan
pertimbangan rasional dan profesional daripada pertimbangan emosional dan
tradisional dalam menjalankan misinya. Nabi juga sering mempercayakan sesuatu
kepada perempuan yang menurut adat dan tradisi Arab tidak lazim, seperti
mempercayakan Rabi>’
bint Mu’awwizh[19]
dan Umm ‘At}iyyah[20]
sebagai perawat korban yang luka di dalam beberapa peperangan di samping
bertugas sebagai juru masak di medan perang. Bahkan Nabi juga pernah memerintahkan
seorang perempuan Umm Waraqah menjadi imam shalat di lingkungan keluarganya. [21] Rasulullah
bersabda:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا
الْوَلِيدُ قَالَ حَدَّثَتْنِى جَدَّتِى عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ بِنْتِ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ الأَنْصَارِىِّ وَكَانَتْ قَدْ جَمَعَتِ الْقُرْآنَ
وَكَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم قَدْ أَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ
أَهْلَ دَارِهَا وَكَانَ لَهَا مُؤَذِّنٌ وَكَانَتْ تَؤُمُّ أَهْلَ دَارِهَا ( رواه أحمد )[22]
Diriwayatkan
bahwa Umm Waraqah termasuk sahabat
perempuan yang gigih
membela kepentingan Islam, ia pernah meminta izin untuk ikut serta dalam perang
Badar tetapi Nabi tidak memenuhi permintaannya dan ia disuruh untuk tinggal di
rumah. Dan di rumahnya terdapat anak-anak kecil dan orang tua sepu. Di antara
mereka itulah ia dikabarkan memimpin shalat. Meskipun
hadis ini dapat dinyatakan s}a>h}i>h, tetapi masih perlu diteliti
lebih jauh sebab munculnya hadis tersebut.[23]
Begitulah
Islam, melalui tangan seorang Rasul dapat merombak budaya yang tidak sehat khususnya
dalam menempatkan perempuan. Bahkan perempuan diberi hak untuk menolak calon
yang diajukan orang tuanya/walinya, bila dipandang tidak cocok. Demikian juga
perempuan dibenarkan oleh Islam untuk menolak lamaran seorang laki-laki yang
tidak diinginkannya.[24] Hal
ini sebagaimana terdapat dalam Hadis
Nabi yang Diriwayatkan oleh Bukhari:
حَدَّثَنَا
عَلِىُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
سَعِيدٍ عَنِ الْقَاسِمِ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ وَلَدِ جَعْفَرٍ تَخَوَّفَتْ أَنْ
يُزَوِّجَهَا وَلِيُّهَا وَهْىَ كَارِهَةٌ فَأَرْسَلَتْ إِلَى شَيْخَيْنِ مِنَ الأَنْصَارِ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَمُجَمِّعٍ ابْنَىْ جَارِيَةَ قَالاَ فَلاَ تَخْشَيْنَ ،
فَإِنَّ خَنْسَاءَ بِنْتَ خِذَامٍ أَنْكَحَهَا أَبُوهَا وَهْىَ كَارِهَةٌ ،
فَرَدَّ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم – ذَلِكَ.
“ Seorang perempuan dari keluarga Ja’far merasa
khawatir akan dikawinkan paksa oleh walinya. Kemudian perempuan itu mengirim utusan
untuk mengadukan nasibnya kepada dua orang sesepuh Anshar yaitu Abdurrahman dan
Majma’, kedua-duanya anak Ibu Jariyah. Kedua orag tokoh itu berkata: Kamu tak
usah khawatir kerena Khansa binti Khidam dikawinkan paksa oleh ayahnya kemudian
Nabi membatalkannya”.[25]
Jika dilihat sejarah perkembangan karier
kenabian Muhammad, maka kebijakan rekayasa sosialnya semakin mengarah kepada
prinsip-prinsip kesetaraan gender. Perempuan dan anak-anak di bawah umur semula
tidak bisa mendapatkan harta warisan atau hak-hak kebendaan, karena yang
bersangkutan oleh hukum adat
jahiliyah dianggap tidak cakap untuk mempertahankan qabilah, kemudian al-Qur'an
secara bertahap memberikan hak-hak kebendaan kepada mereka.[26]
kelahiran perempuan yang pada awalnya dianggap sebagai sebuah aib, Nabi justru
mengharuskan perayaan bayi perempuan
dengan aqiqah, sebagaimana dilakukan terhadap bayi laki-laki.[27]
Semula perempuan tidak boleh menjadi saksi kemudian diberikan kesempatan untuk
itu, meskipun dalam beberapa kasus masih dibatasi satu berbanding dua dengan
laki-laki.[28] Semula
laki-laki bebas mengawini perempuan tanpa batas, kemudian dibatasi menjadi
empat, itupun dengan syarat yang sangat ketat.[29]
Nabi juga mengubah hak kepemilikan mahar sebagai hak mutlak perempuan,
yang mana sebelumnya mahar itu menjadi hak penuh para wali yang semuanya
laki-laki.[30]
Terkait praktek poligami yang dilakukan
Rasulullah, selalu dijadikan dalil pembenaran bagi kebolehan poligami dalam
masyarakat muslim. Padahal poligami Rasulullah adalah upaya transformasi
sosial, sebagaimana yang dikutip oleh Zaitunah Subhan dalam kitab Ibn al-Atsir.
Dalam artian, mekanisme poligami yang yang diterapkan Nabi Saw merupakan
strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad
ke-7 Masehi.[31]
D.
Peran Perempuan pada
Masa Nabi
Disamping para laki-laki yang berada di sekitar
Rasulullah Saw, tentu ada para wanita yang berpengaruh di sekitar kehidupan
beliau. Para wanita ini mempunyai peran dan tugas masing-masing dalam koridor
keimanan dan keikhlasan. Keberadaan para sahabat dari kalangan wanita ini
menyempurnakan keseimbangan fundamental yang berlaku dalam kehidupan manusia,
yaitu adanya laki-laki dan wanita. Hal ini tampak jelas dalam beberapa contoh
mengagumkan yang dapat ditemukan dalam sejarah mengenai perempuan-perempuan yang
diajak dan diizinkan oleh Nabi untuk berperan dalam berbagai aspek dan kegiatan.
Berikut ini penulis mengemukakan peranan sahabat nabi dalam bidang politik,
ekonomi, dan pendidikan.
1.
Keikutsertaan
Perempuan dalam Kegiatan Politik
Masuk Islam dengan segala resiko, seperti yang
ditentang keluarga dan para penguasa, sangat lazim dalam berita perkembangan
Islam. Banyak yang harus menghadapi ancaman dan siksaan karena mengikuti Islam
dan terpaksa meninggalkan tanah kelahiran demi memperjuangkan Islam, Dalam
istilah sekarang hal-hal seperti itu diistilahkan dengan kegiatan politik.
Dalam hal ini, kaum wanita pun terdorong untuk turut serta melakukan kegiatan
politik bersama kaum laki-laki dengan tujuan membela dan memenangkan agama
Islam.[32] Diantara
kegiatan politik kaum wanita antara lain:
-
Kaum perempuan ikut serta berhijrah bersama Nabi ke Madinah dalam
rangka mencari suaka politik, bersama-sama ikut membentuk komunitas
persahabatan yang menciptakan persaudaraan antara kelompok Muhajirin dan
Anshar. [33] Kemudian
kaum perempuan juga ikut hijrah bersama kaum pria ke Habsyah, sebagaimana tercantum
dalam riwayat berikut:
عن أبي موسى
رضي الله عنه قال وقد كانت هاجرت إلى النجاشي
فيمن هاجر…….
“Dari Abu Musa r.a ia berkata: ‘Asma binti umais
berhijrah ke Najasyi bersama orang-orang yang hijrah….. (HR Bukhari)
-
Kaum perempuan juga terlibat
aktif dalam kegiatan dakwah Islam sehingga banyak perempuan kafir Quraisy yang
kemudian menjadi Muslimah karena ajakan mereka.
-
Wanita ikut peduli terhadap masa
depan politik negara yang menganut sistem kekhalifahan, sebagaimana riwayat
berikut ini:
عن قيس ابن
أبي حازم قال: دخل أبو بكر على امرأة…. قالت : ما بقاؤنا على هذا الأمر الصالح الذي جاء الله به
بعد الجاهلية ؟ قال بقاؤكم عليه ما استقامت بكم أئمتكم قالت وما الأئمة ؟ قال أما
كان لقومك رؤوس وأشراف يأمرونهم فيطيعونهم ؟ بلى قال فهم أولئك على الناس.
“Dari Qais bi Abu HAzim ia berkata bahwa Abu
Bakar mendatangi seorang wanita. Wanita itu berkata: Apakah ynag menetapkan
kami atas perkara yang baik ini (Islam), yang didatangkan oleh Allah setelah
zaman Jahiliyah? Abu Bakar menjawab: Yang menetapkan kalian atas perkara ini
ialah selagi para pemimpin tegak pada jalan yang benar besertamu. Wanita itu
bertanya lagi: Siapakah para pemimpin itu? Abu Bakar menjawab: Tidakkah kaummu
memiliki beberapa pembesar dan tokoh yang memerintah mereka, lalu mereka
menaatinya? Wanita itu menjawab: Ya. Abu Bakar berkata: mereka itulah pemimpin
atas semua orang” (HR Bukhari)
-
Begitu juga dalam hal jihad atau
peperangan, sebagian besarnya menyertakan perempuan di dalamnya. Meskipun peran
mereka sebagai pendukung atau pendamping, tetapi peran mereka sangat penting
dan menanggung resiko yang sama seperti halnya laki-laki.[35]
Khadijah
binti Khuwailid adalah perempuan yang pertama kali beriman kepada Nabi SAW.
Sosok perempuan yang dijuluki sebagai Khadijah al-Kubra senantiasa memberi
support kepada Nabi saw terhadap risalah kenabian. Mendukung secara penuh
dengan segala resiko yang akan menimpa dirinya, meski dia sadar bahwa dengan
mendukung Nabi saw dia akan berhadapan dengan rezim kekuasaan politik yang
kasar, keras serta otoriter pada saat itu.[36]
Peran Khadijah ra yang luhur ini dinyatakan oleh Rasulullah saw dengan
pernyataan yang tegas: “Demi Allah, sungguh Allah telah memberiku istri yang
tiada tandingannya yaitu Khadijah. Dia beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkari
kenabianku; membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku; dia membantuku
dengan segenap harta kekayaannya ketika orang-orang tidak demikian; dan dari
rahimnya Allah menganugerahkan putra-putri bagiku, dan bukan dari
perempuan-perempuan yang lain”.[37]
Dalam
S{ah}i>h} Bukha>ri, ditemukan sub-bagian tentang “Partisipasi
perempuan dalam jihad bersama laki-laki”. Pada bagian ini ia bercerita tentang
beberapa hadis yang jelas menunjukkan bahwa perempuan berpartisipasi bersama
laki-laki. Diantaranya ada sebuah hadis dari Aisyah, istri nabi bahwa dia
(Aisyah) menemani nabi dalam sebuah perang, dan ini terjadi setelah turunnya
ayat tentang cadar. Juga dalam S{ah}i>h} Bukha>ri ditemukan sebuah
hadis yang mengatakan bahwa di Uhud ketika beberapa orang meninggalkan Nabi, Aisyah
dan Umm Salim menggulung pakaian paling bawah mereka hingga pergelangan kakinya
tersingkap. Mereka membawa tempat air di punggung mereka dan menuangkan air
tersebut ke mulut orang-orang terluka.[38]
Tidak berarti bahwa kaum perempuan hanya melakukan
pelbagai pelayanan di balik medan tempur, tetapi juga banyak contoh di mana
mereka juga terlibat langsung dalam berjuang dan menyerang musuh. Dalam Usad al-Gha>bah
karya Ibnu Atsir sebagaimana dikutip oleh Asghar
ditemukan tentang peristiwa menyangkut prang Khandaq. Syafi’ah, bibi Nabi,
hadir dalam perang ini. Di sana banyak perempuan dan anak-anak dikepung oleh
Bani Quraidzah, sebuah suku Yahudi. Untuk menghadapi ancaman dari bani
Quraidzah yang mungkin akan membunuh mereka semua, Syafi’ah keluar dari benteng
dan mengambil sebuah galah lalu membunuh Yahudi tersebut. Dia adalah perempuan
muslim pertama yang berani menunjukkan keberaniam seperti itu.[39]
Nasaibah, seorang wanita Anshar yang juga membantu
dalam pengobatan di medan pertempuran, bahkan dia berdiri di samping Rasulullah
untuk melindungi beliau ketika terdesak dan terkungkung dalam bulan-bulanan
musuh di perang Uhud. Dengan kelihaian dan ketangkasan pedang Nusaibah lah
Rasulullah terselamatkan dari tebasan pedang kaum kafir Quraish, sebelum
akhirnya para sahabat Nabi yang lain ikut membantu ketika diketahui Rasulullah
masih hidup. Baginda Saw. bersabda tentang keberanian dan kelihaian Nusaibah
–radhiallahu ‘anha– ini: “Pada hari itu, aku melihat Nusaibah
bertempur dengan beraninya untuk melindungi aku”.
Asghar menemukan dalam kitab Usad al-Gha>bah
cerita tentang Umm Amarah ketika Perang Uhud. Dia melindungi Nabi dengan sebuah
pedang. dimana banyak sahabat laki-laki melarikan diri. Pada hari itu dia
banyak menderita luka-luka di tangan dan pundaknya. Selain perang uhud, dia
juga turut serta mengambil bagian dalam perang-perang lain dan sekaligus
menunjukkan aksinya yang berani.[40]
Beberapa
sahabat perempuan seperti Shafiyyah, Laylah al-Ghaffariyah, Ummu Sinam
al-Aslamiyah, Fathimah binti Rasulullah, ‘Atika binti Yazid ibn Mu’awiyah, Ummu
Habibah, Asma’ bin Umas, Ummu Salamah binti Ya’kub, Al-Khayzaran binti ‘Athok,
Ummu Abdillah dan lain sebagainya, mereka tidak saja berperan sebagai palang
merah, mempersiapkan logistik, lebih dari itu para sahabat perempuan adalah
pejuang-pejuang yang sangat gigih dan pemberani.
2.
Peranan perempuan
dalam Kegiatan Profesi dan Ekonomi.
Diantara motivasi keikutsertaan wanita dalam
kehidupan sosial dan pertemuannya dengan kaum laki-laki adalah untuk
menjalankan profesi dan membantu suaminya, untuk mendapatkan biaya yang akan
digunakan dalam rangka mewujudkan tujuan yang baik.[41] Dalam bidang ekonomi wanita bebas memilih
pekerjaan yang halal, baik di dalam atau di luar rumah, mandiri atau kolektif,
di lembaga pemerintah atau swasta, selama pekerjaan itu dilakukan dalam suasana
terhormat, sopan, dari tetap menghormati ajaran agamanya.
Hal ini dibuktikan oleh sejumlah nama penting
seperti istri pertama Nabi yaitu Khadijah binti Khuwaylid sebagai komisaris
perusahaan.[42]
Beliau merupakan profil perempuan
karier, seorang pekerja yang tangguh, etos kerjanya tinggi, serta diimbangi
dengan kemampuan manajerial dan insting bisnisnya yang begitu memukau. Beliau
keluar dari batas-batas norma adat kebiasaan yang berlaku pada saat jahiliyah bahwa perempuan harus
tinggal di rumah dan urusan bisnis adalah urusan kaum lelaki. Tetapi tidak
demikian dengan Khadijah ra, beliau beberapa kali melakukan perjalanan bisnis Internasionalnya
ke Syam (Syria) serta beberapa kota bisnis mancanegara lainnya dan kembali lagi
ke Mekkah dengan membawa barang dagangan baru pada sekitar abad 6 M.[43]
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi saw pernah
memberi petunjuk kepada perempuan tentang berjual beli. Salah seorang
diantaranya adalah Qilat Ummi Bani Anmar yang diberi petunjuk oleh Nabi
menyangkut penetapan harga. Nabi berpesan kepadanya: “Apabila engkau ingin
membeli atau menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang engkau inginkan untuk
membeli atau menjualnya. Baik kemudian engkau diberi maupun tidak.” Demikian
disebutkan dalam T{abaqa>t
Ibn Sa’ad.[44]
Selain itu ada Zainab binti Jahsy yang berprofesi
sebagai penyamak kulit binatang, Ummu Salim binti Malhan berprofesi sebagai tukang
rias pengantin, dan Al-Syifa’ seorang perempuan yang pandai menulis ditugasi
oleh Khalifah ‘Umar menangani pasar kota Madinah.[45]
Dalam kitab At}-T}abaqat
al-Kubra disebutkan
bahwa istri Abdullah ibn Mas’ud dikenal sebagai Wiraswasta yang sukses
dan aktif bekerja karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu memenuhi
kebutuhan keluarganya. Dia berkata kepada Rasulullah Saw: “Wahai Rasulullah,
aku adalah seorang wanita yang memiliki keterampilan. Hasil keterampilan itu
aku jual sebab aku, suamiku dan anakku tidak memiliki apa-apa. Hal itu aku
lakukan untuk menafkahi mereka” Rasulullah Saw berkata: “Kamu mendapatkan
pahala dari apa yang kamu nafkahkan untuk mereka”.[46]
Dari Sa’ad bin Sahal r.a, dia berkata: “Seorang
wanita datang membawa burdah. Sa’ad bertanya:”Tahukah kalian apa burdah itu?
Ada yang menjawab:”Ya, yaitu selimut yang disulam di bagian pinggir-pinggirnya.
Wanita itu berkata:”Wahai Rasulullah, aku telah menyulam burdah itu dengan
tanganku sendiri…” (HR Bukhari).
Banyak contoh perempuan yang ikut
serta dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan pada masa Rasul. Rasululullah
SAW banyak memberi perhatian serta pengarahan kepada perempuan agar menggunakan
waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat.
Dalam hal ini, beliau bersabda: “Sebaik-baik “permainan” seorang perempuan
Muslimah di dalam rumahnya adalah memintal/menenun. (Hadis diriwayatkan oleh
Abu Nu’aim dari Abdullah bin Rabi’ Al-Anshari).[47]
Apapun profesi yang dijalani oleh kaum perempuan
pada Masa Nabi, tidak menggangu hak suami dan anak-anaknya. Karena bagi mereka mengurus rumah tangga tetap
merupakan tanggung jawab utama kaum wanita.
3.
Pendidikan Perempuan
pada Zaman Nabi
Sejak datangnya Islam, perempuan telah
mempunyai hak dan kesempatan belajar, terbukti dengan munculnya perempuan
penyair dan orang-orang yang mempunyai pengetahuan dalam menulis. Pada masa
ini, Nabi menyamakan kedudukan wanita dan pria dalam hal menuntut ilmu , diriwayatkan
pula dari Nabi Saw bahwa beliau menganjurkan agar istrinya diajarkan menulis.[48]
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi pernah didatangi kelompok
kaum perempuan yang memohon kesediaan Nabi untuk menyisihkan waktunya guna
mendapatkan ilmu pengetahuan. Sebagaimana dijelaskan dalam kisah berikut ini:
عن أبي سعيد: جاءت امرأة إلى رسول الله صلى
الله عليه و سلم فقالت يا رسول الله ذهب الرجال بحديثك فاجعل لنا من نفسك يوما
نأتيك فيه تعلمنا مما علمك الله فقال ( اجتمعن في يوم كذا وكذا في مكان كذا وكذا )
. فاجتمعن فأتاهن رسول الله صلى الله عليه و سلم....
“Dari Abu Sa’id
al-Khudri, dia berkata bahwa seorang wanita datang kepada Rasullah saw dan
berkata: Ya Rasulullah, kaum pria ttelah membawa hadismu, maka tolonhlah
sediakan untuk kami dari waktumu suatu hari. Rasulullah Saw menjawab:
“Berkumpullah kalian pada hari ini”. maka berkumpullah mereka, lalu Rasulullah
Saw mendatangi mereka. (HR. Bukhari).[49]
Perlu diketahui juga bahwa
permintaan kaum wanita agar Rasulullah saw menyediakan hari untuk mereka disebabkan
oleh keinginan untuk mendapatkan kesempatan yang lebih luas dan lapang
disamping forum bersama degan laki-laki di masjid. Setelah disediakan hari yng
khusus untuk wanita, mereka tetap saja memenuhi masjid dan mushalla guna
mndapatkan ilmu dan mendengarkan nasihat bersama kaum laki-laki.[50]
Kemerdekaan perempuan dalam
menuntut ilmu pengetahuan juga banyak dijelaskan dalam beberapa hadits, seperti hadits yang diriwayatkan
oleh Ahmad bahwa Rasulullah melaknat wanita yang membuat keserupaan diri dengan
kaum laki-laki, demikian pula sebaliknya, tetapi tidak dilarang mengadakan
perserupaan dalam hal kecerdasan dan amal ma'ruf. [51]
Dalam sejarah Islam klasik ditemukan
beberapa nama perempuan menguasai ilmu pengetahuan penting seperti Aisyah,
seorang wanita yang cerdas, tanggap, pintar berpandangan jauh ke depan dan
punya nalar yang kuat. Kecerdasannya tampak jelas dalam sikap sosial,
inteletual dan politis kesehariannya. Kecerdasannya menempatkannya dalam posisi
yang sangat penting, yakni untuk menghapal lebih dari seribu hadis dengan
periwayatannya yang sangat cermat. Ia juga hafal fatwa-fatwa penting tentang
permasalahan agama, sehingga oleh Nabi ia selalu dilibatkan sebagai penentu
dalam memecahkan permasalahan-permasalahan agama yang rumit.[52]
Aisyah
pada sisi yang lain sangat memahami Sunah Nabi dan menguasainya dengan
sempurna, sampai-sampai ia menjadi
tempat rujukan yang utama berkenaan dengan sunnah nabawiyyah. Ia menjadi tempat
pelarian untuk mendapatkan fatwa dengan pendapat-pendapatnya yang mengena yang
dibangun atas pilar-pilar pengetahuan yang ia dapat langsung dari Nabi. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukahari
dalam sebuah hadis:
حدثنا
ثمامة (يعني ابن حزن القشيري ) قال: لقيت عائشة فسألتها عن النبيذ ؟ فدعت عائشة جارية حبشية فقالت سل هذه فإنها كانت تنبذ لرسول الله
صلى الله عليه و سلم.
“ Dari Tsumamah (Ibnu Haznil Quyairi), dia berkata : Aku
bertemu dengan Aisyah, lalu aku tanyakan hukum perasan anggur. Lantas Aisyah
memanggil budak perempuan Habsy dan berkata:mtanyakan kepada budak ini, sebab
dia pernah membuat perasan anggur untuk
Rasulullah” (H.R Muslim).
Selain itu ada lagi nama-nama sahabat perempuan yang
terkenal dengan ilmu pengetahuannya, yaitu: Sayyidah Sakinah, putri Husayn ibn
'Ali ibn Abi Thalib, Al-Syekhah Syuhrah yang digelari dengan "Fikhr al-Nisa"
(kebanggaan kaum perempuan), adalah salah seorang guru Imam Syafi'i, Mu'nisat
al-Ayyubi (saudara Salahuddin al-Ayyubi), Syamiyat al-Taymi'yah, Zaynab, putri
sejarawan al-Bagdadi, Rabi'ah al-Adaw'iyah, dan lain sebagainya. [53]
Masih banyak para pejuang muslimah di zaman Rasulullah
yang perannya tidak secara lengkap dicatat oleh sejarah, tapi dampaknya dapat
dirasakan di tahun-tahun setelahnya. Penghargaan masyarakat Arab terhadap
perempuan semakin baik dan tidak ada lagi penganiyaan yang menyebabkan banyak
korban. Sejarah perjuangan itu pula yang akhirnya membawa Islam masuk ke
Indonesia.
E.
Kesimpulan
Sejarah membuktikan bahwa Rasulullah
memainkan peran yang sangat penting dalam mengangkat harkat dan martabat kaum
perempuan. Perempuan diberi kesempatan untuk berkiprah dan aktif dalam berbagai
kegiatan termasuk hal-hal yang biasanya dilakukan oleh laki-laki. Perjuangan beliau
di awal Islam melahirkan figur-figur perempuan dinamis, aktif, sopan, dan tetap
terpelihara akhlaknya. Gambaran ideal kehidupan perempuan di masa Nabi dapat
kita jadikan pedoman untuk kemajuan perempuan pada masa sekarang. Agar tidak
terjadi kesenjangan yang besar antara ajaran Islam yang diperjuangkan Nabi dengan
ajaran Islam yang dipraktekkan masyarakat muslim dewasa ini.
Daftar Pustaka
Al-Syathi’, Bint Istri-Istri Nabi saw.
Asy-Syakawi, Amin bin
Abdullah. Kedudukan Wanita dalam Islam, terj. Muzaffar Sahidu,
Islamhouse.com, 2010.
At-Turmuzi, Sunan at Turmudzi. Ba>b ma> ja>’a
fi> h}aqq al-mar’ah ‘ala> zaujiha: Al-Maktabah
Al-sha>milah) Juz 5.
Azzuhri, Muhandis. Khadijah Binti Khuwailid
Sosok Perempuan Karir. Muwazah, Vol.1, No.2, Juli-Desember 2009.
Bukha>ri>, S{ah}i>h al-Bukha>ri. Kitab
al-Jiha>d, Bab: radd al-Nisa>’ al-Qatla> wa al-jurhiy, Jilid 6.
Engineer, Asghar Ali. Pembebasan
Perempuan. Yogyakarta: LKiS, 2003.
Hambal, Ahmad bin. Sunan
ah}mad bin H}ambal . Al-Maktabah Al-sha>milah. Juz 6.
Hosen, Ibrahim dan Ahmad
Munif Suratmaputra. Al-Qur’an dan Peranan Perempuan dalam Islam. Jakarta:
IIQ, 2007.
Ji, Muhammad Rawwas Qal’ah, Pribadi Agung Rasulullah, terj.
Tajuddin. Jakarta: Pustaka Ikadi, 2008.
Mahmud, Jamaluddin Muhammad. Huquq
Al-Mar'at fi Al-Mujtama' Al-Islamiy. Kairo: Al-Haiat Al-Mishriyat Al-Amat,
1986.
Marzuki, Keterlibatan
Perempuan dalam Bidang Politik pada Masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin
Masruri, Hadi. Peran
Sosial Perempuan dalam Islam, Egalita Jurnal Kesetaraan dan Keadilan
Gender, Volume VII No. 1 Januari 2012.
Mattson, Ingrid. A
Believing Slave is Better than an Unbeliever: Status and Community in Early
Islamic Society and Law (University of Chicago doctoral dissertation, 1999.
Mulia,Musdah
benarkah Agama Melawan perempuan, Jurnal Perempuan No.52, Yayasan Jurnal
Perempuan, Jakarta, 2007.
Muslim, S{ahi>h Muslim. Kita>b
al-Jiha>d, Ba>b: al-Nisa>’ al-Gha>ziya>t Yurdlh Lahunn wa la>
Yas}a>m, Jilid V.
Schimmel, Annemarie. Jiwaku
adalah Wanita: Aspek Feminim Dalam Spritualitas Islam, trj. Rahmani Astuti.
Bandung: Mizan, 1998.
Shihab, Quraish. Membaca
Sirah Nabi Muhammad Saw, Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih. Jakarta:Lentera
Hati, 2012.
Subhan, Zaitunah. Menggagas
Fiqh Pemberdayaan Perempuan. Jakarta: el-Kahfi, 2008.
Su’ud, Abdul Abu Tafsir
Aisyah Ummul Mukminin. Jakarta: Darul Falah, 1422 H.
Syuqqah, Muhammad Abu. Tahrir
al-Mar’ah fi “Ashri ar-Risalah. Beirut: Dar al-Qalam, 1990.
Syuqqah, Abdul Halim Abu. Kebebasan Wanita, Jilid 2, terj. Chairul Halim. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Umar, Nasaruddin. Argumen
Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an. Jakarta:
Paramadina, 2001.
Wargadinata,Wildana. Tradisi
Arab Di Masa Nabi. Jurnal el-harakah edisi 60, Juli-Oktober 2003.world.net/index,
pendidikan-wanita-dalam-islam.
world.net/index,
pendidikan-wanita-dalam-islam.
[1] Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan (Yogyakarta:
LKiS, 2003), 39.
[2] Hadi Masruri, Peran
Sosial Perempuan dalam Islam, Egalita Jurnal
Kesetaraan dan Keadilan Gender, Volume VII No. 1 Januari 2012, 24.
[3] Hadi Masruri, Peran
Sosial Perempuan dalam Islam, Egalita Jurnal
Kesetaraan dan Keadilan Gender, Volume VII No. 1 Januari 2012, 25.
[4] Disini perlu diluruskan sedikit menyangkut
perempuan pada masa Jahiliyah. Bahwa tidak semua anggota masyarakat Jahiliyah
melecehkan perempuan, karena tidak jarang perempuan pada masa Jahiliyah
memiliki kepribadian yang tinggi. Kendati cukup banyak ditemukan riwayat dan
syair-syair Jahiliyah yang menggarisbawahi kedudukan terhormat perempuan.
Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw, Dalam Sorotan Al-Qur’an dan
Hadits-Hadits Shahih, (Jakarta:Lentera Hati, 2012), 117.
[5] Q.S An-Nahl (16): 58-59.
[6] Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, Pribadi Agung Rasulullah, terj.
Tajuddin (Jakarta: Pustaka Ikadi, 2008), 36.
[7] Ingrid Mattson, A Believing Slave is Better
than an Unbeliever: Status and Community in Early Islamic Society and Law (University
of Chicago doctoral dissertation, 1999), 200.
[8] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan
Jender Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001),138.
[10] Wildana Wargadinata, Tradisi Arab Di Masa
Nabi (Jurnal el-harakah edisi 60, Juli-Oktober 2003), 53-54.
[11] Ingrid Mattson, Ulumul Qur’an Zaman Kita:
Pengantar untuk Memahami Konteks, Kisah, dan Sejarah Al-Qur’an, terj. Cecep
Lukman Yasin (Jakarta: aman, 2013), 34.
[12] Hadi Masruri, Peran
Sosial Perempuan dalam Islam, 24.
[13] Amin bin Abdullah asy-Syakawi, Kedudukan
Wanita dalam Islam, terj. Muzaffar Sahidu, Islamhouse.com, 2010, 4.
[14] Hadi Masruri, Peran
Sosial Perempuan dalam Islam, Egalita Jurnal
Kesetaraan dan Keadilan Gender, Volume VII No. 1 Januari 2012, 25.
[15] Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh
Pemberdayaan Perempuan (Jakarta: el-Kahfi, 2008), 74.
[16] Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad
Saw,117.
[17]
At-Turmuzi, Sunan at Turmudzi (Ba>b
ma> ja>’a fi> h}aqq al-mar’ah ‘ala> zaujiha: Al-Maktabah Al-sha>milah) Juz 5, 5.
[18]
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, 75.
[19] Lihat Bukha>ri>, S{ah}i>h
al-Bukha>ri, Jilid 6 (Kitab al-Jiha>d, Bab: radd al-Nisa>’
al-Qatla> wa al-jurhiy), 460.
[20] Muslim, S{ahi>h Muslim, Jilid V
(Kita>b al-Jiha>d, Ba>b: al-Nisa>’ al-Gha>ziya>t Yurdlh
Lahunn wa la> Yas}a>m), 199.
[21] Lihat Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan
Jender Perspektif al-Qur’an, 121.
[24] Ibrahim Hosen dan Ahmad
Munif SUratmaputra, Al-Qur’an dan Peranan Perempuan dalam Islam (Jakarta:
IIQ, 2007), 54.
[25] Muhammad Abu Syuqqah, Tahrir
al-Mar’ah fi “Ashri ar-Risalah (Beirut: Dar al-Qalam, 1990), 173.
[26] Q.S al-Nisa'/4:12
[27] Musdah Mulia, Benarkah
Agama Melawan perempuan, Jurnal Perempuan No.52, 2007 (Yayasan Jurnal
Perempuan, Jakarta), 79.
[28] Q.S. al-Baqarah/2:228 dan s. al-Nisa'/4:34
[29] Q.S al-Nisa'/4:3
[30] Musdah Mulia, Benarkah
Agama Melawan perempuan, 79.
[31] Zaitunah Subhan, Menggagas
Fiqh Pemberdayaan Perempuan, 194.
[32] Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jilid
2, terj. Chairul Halim (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 65.
[33] Lihat Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh
Pemberdayaan perempuan, 109.
[34] (Q.S Al-Mumtah}anah, 60:12). Pakar
agama Islam menjadikan bay'at para perempuan itu sebagai bukti kebebasan
perempuan untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan
kehidupan serta hak mereka. Dengan begitu, mereka dibebaskan untuk mempunyai
pilihan yang berbeda dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat,
bahkan terkadang berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri. Lihat Jamaluddin
Muhammad Mahmud, Huquq Al-Mar'at fi Al-Mujtama' Al-Islamiy (Kairo: Al-Haiat
Al-Mishriyat Al-Amat, 1986), 60.
[35] Marzuki, Keterlibatan Perempuan dalam
Bidang Politik pada Masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin , 10.
[36] Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh
PemberdayaanPerempuan, 111.
[37] Bint al-Syahi’, Istri-Istri Nabi saw, 58.
[38] Asghar Ali Engineer, Pembebasan
Perempuan, 270-271.
[39] Ibn Atsir, Usad
al-Gha>bah, dikutip oleh Asghar Ali Engiiner, Pembebasan Perempuan, 272.
[40] Asghar Ali Engiiner, Pembebasan
Perempuan, 272.
[41] Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jilid
2, terj. Chairul Halim, 63.
[42] Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah Wanita:
Aspek Feminim Dalam Spritualitas Islam, trj. Rahmani Astuti (Bandung:
Mizan, 1998), 59.
[43]Muhandis Azzuhri, Khadijah
Binti Khuwailid Sosok Perempuan Karir, (Muwazah, Vol.1, No.2, Juli-Desember
2009), 92.
[44] Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad
Saw, 69.
[45] Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh
Pemberdayaan Perempuan, 12.
[46] Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jilid
2, terj. Chairul Halim, 403.
[47] Muhandis Azzuhri, Khadijah Binti Khuwailid Sosok Perempuan
Karir, (Muwazah, Vol.1, No.2, Juli-Desember 2009), 95.
[48] world.net/index, pendidikan-wanita-dalam-islam,
diakses tanggal 19 November 2013.
[49] Lihat Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab
Berpeegang Teguh pada Al-Qur’an dan Hadis, Bab: Nabi Saw mengajarkan kepada
umatnya ilmu yang telah diberikan Allah kepadanya, Jilid 17, 55.
[50] Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jilid 2,
terj. Chairul Halim (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 40.
[51]http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Jender3.html. Nasarudddin
Umar, Perspektif Jender dalam Islam. diakses tanggal 19 November 2013.
[52] Abdul Abus-Su’ud, Tafsir
Aisyah Ummul Mukminin (Jakarta: Darul Falah, 1422 H), 9.
0 comments:
Posting Komentar