Pandangan T{aba>t}aba>’i
Tentang Ahl al-Bait dalam Tafsir
Al-Miza>n fi> Tafsi>r
al-Qur’a>n
Abstrak
Penafsiran terhadap Al-Qur’an
tumbuh dan berkembang sejak masa awal perkembangan Islam. Dinamika penafsiran
al-Qur’an tersebut terus berkembang dengan munculnya berbagai macam corak dan
metode penafsiran yang ditawarkan oleh para mufassir baik klasik maupun modern.
Tafsi>r Al-Miza>n karya Allamah T{aba>t}aba>’i,
adalah satu
dari sekian banyak kitab tafsir yang
tergolong modern dan menawarkan pendekatan lain
dalam menafsirkan kitab suci al-Qur’an. Tulisan ini berupaya menelusuri sosok dan pemikiran
T{ab>at}aba>’I khususnya mengenai pandangannya terhadap Ahlu al-Bait
dalam Al-Qur’an.
A. Pendahuluan
T{aba>t{aba>’i
adalah seorang mufassir ternama di kalangan syi’i abad ke-20 yang cukup
terkenal dengan karya monumentalnya, Tafsi>r al-Miza>n sebanyak 20
jilid.[1] Dengan
latar belakang teologis yang dianutnya, yaitu Syi`ah, T{aba>t{aba>’i berusaha menyajikan penafsiran-penafsiran yang
sejalan dengan paham Syi`ah Imamiyah serta meninggalkan paham yang tidak sesuai
dengan keyakinan teologisnya. Hal demikian merupakan konsekuensi logis dari
sikap teologi yang diyakininya. Meski begitu, tak
jarang Thabathaba’i mengutip dan mengambil pendapat ulama dari kalangan Sunni
yang tertuang dalam kitab-kitab tafsir mereka.[2]
Mengenai keterkaitan dengan
ke-Syi’ah-an T{aba>t}aba>’i>, dalam hal ini ia berpendapat bahwa Rasul
dan para imam berkewajiban untuk menjelaskan al-Qur’a>n.[3]
Merekalah yang harus menjadi pembimbing manusia untuk mencapai pengetahuan
tentang al-Qur’a>n. Sebagai dasarnya T{aba>t}aba>’i@ mengutip hadis S{aqalain
yang memang juga masyhur di kalangan ahl Sunnah. Argumen ini dikuatkan
dengan adanya ayat al-Qur’a>n yang memang membuktikan kesucian para Ahl
al-Bait:
“Sungguh tiada lain Allah
berkehendak menghilangkan dosa-dosa dari kalian Ahl al-Bait dan mensucikan
kalian dengan sesuci-sucinya.”[4]
Ayat ini juga diperkuat dengan ayat
lain yang menyebutkan bahwa al-Qur’a>n hanya bisa dijamah mereka yang telah
disucikan, “Sesungguhnya al-Qur’an ini sangatlah mulia dalam kitab yang
terpelihara, tidak akan menyentuhnya kecuali orang-orang yang telah disucikan.”
[5]
Untuk
mengenal T{aba>t}aba>’i lebih jauh, menarik untuk melihat karya beliau
dari berbagai sisinya, termasuk dari sisi pemikirannya mengenai Ahl al-Bait
dalam Al-Qur’an. Tulisan ini akan
membahas secara
konprehensif mengenai biografi
T{aba>t}aba>’i
dan karya-karyanya, motivasi
penulisan tafsir,
sumber penafsiran, Thariqah
penafsiran, corak tafsir, mazhab, dan
karakteristik kandungannya.
- Mengenal Muhammad Husein al-T{aba>t}aba>’I dan Karyanya Tafsi>r Al-Miza>n.
- Biografi T{aba>t}aba>’I dan Karya-Karyanya
Allamah
as-Sayid Muhammad Husein al-T{aba>t}aba>’I datang dari keluarga Tabriz,
yaitu keluarga T{aba>t}aba>’i.[6] Nama lengkapnya adalah Sayyid Muhammad
Husain bin Sayyid Muhammad Husain bin al-Mirza Ali Ashghâr Syekh al-Isla>m al-T{aba>t}aba>’i
al-Tibriz al-Qa>d}i.[7] Ia
adalah putra as-Sayid Muhammad bin as-Sayid Muhammad Husain al-T{aba>t}aba>’i.
Lahir di Tabriz pada tanggal 30 Zulhijjah
1321 H (17 Maret 1904 M).[8] Ibunya
meninggal ketika ia masih berusia lima tahun, menyusul kemudian ayahnya ketika ia
berusia 9 tahun. Sejak itu ia diasuh oleh seorang pembantu laki-laki dan
perempuan. Merekalah yang mengantarkan T{aba>t}aba>’i untuk memperoleh
pendidikan dasar dan menengah melalui
guru-guru privat. Pada saat itu T{aba>t}aba>’I juga mendalami al-Qur’an
dan mempelajari karya-karya klasik tentang sastra dan sejarah. [9]
Setelah
menyelesaikan pendidikan keagamaan di Tabriz, sekitar tahun 1341 H T{aba>t}aba>’i
pergi ke an-Najaf al-Ashraf (Irak) untuk mendapatkan studi-studi yang lebih
tinggi. Di sana ia belajar bersama ulama-ulama termasyhur seperti asy-Syaikh al-Mirza
Muhammad Husain al-Na’ini dan asy-Syaikh Ishfahani. Mereka termasuk diantara
ulama-ulama paling menonjol bukan saja di bidang-bidang yurisprudensi Syiah dan
prinsip-prinsip dasar yurisprudensi, namun juga dalam dalam semua studi Islam. T{aba>t}aba>’I
banyak dipengaruhi oleh dua guru ini dalam perkembangan pemikiran-pemikiran dan
pengetahuannya.[10]
T{aba>t}aba>’I
juga tertarik pada pengetahuan-pengetahuan ‘aqliyah, dan dia belajar
semua seluk-beluk matematika tradisional dari Sayyed Abu al-Qa>sim Khansari.
Ia mendalami filsafat islam tradisional melalui buku Al-Shifa>’ karya
Ibnu Sina, Asfa>r dan Masha>’ir karya Shadruddi>n
shira>zi, Tamhi>d al-Qawa>’id karya Ibnu Kurkh dan Akhla>q
karya Ibnu Maskawaih.
Selain itu ia juga mempelajari ilmu Gramatika, sintaksis, fiqih, dan teologi.[11]
Selain
mengikuti pelajaran formal, atau yang disebut oleh sumber-sumber muslim
tradisional ilmu hushu>lî atau ilmu yang dicapai lewat belajar secara
konvensional, Al-T{aba>t}aba>'î juga mempelajari ilmu hud}u>rî, ilmu-ilmu yang
diperoleh secara langsung dari Allah SWT atau ma’rifat. Selanjutnya ia
beruntung mendapatkan seorang guru besar dalam ilmu makrifat Islam, Mirza `Alî
Qa>dhi>, yang menuntunnya menuju rahasia-rahasia Ilahi dan kesempurnaan
rohani. Sebelum bertemu dengan Qâdhî, ia telah mempelajari Fus}u>s}
Al-Hikam karya monumental Ibn ‘Arabi> (w. 638 H/1240 M) dan mengira
telah menguasainya dengan baik. Ketika bertemu dengan gurunya ini, ia baru
menyadari belum tahu apa-apa. Ia juga mengisahkan bahwa ketika Mirza ‘Ali>
mulai mengajarkan Fus}u>s} Al-H}ika>m, semua dinding ruang seakan
ikut berbicara mengenai hakekat makrifat dan ikut serta dalam pengungkapannya.
Berkat gurunya itu, tahun-tahun di Najaf bagi Al-T{aba>t}aba>'i> tidak
hanya menjadi periode pencapaian intelektual, tetapi juga pencapaian
praktek-praktek kezuhudan dan spiritual yang memungkinkannya mencapai kondisi
spiritual. Pendeknya, di Najaf ia menjalani latihan spiritual dan memulai
memasuki dimensi batin Islam yang di kalangan Syi`ah dikaitkan ‘irfa>n (gnosis).[12]
Pada tahun 1934 T{aba>t}aba>’i
kembali ke Tabriz.[13] Di
sini dia disambut hangat sebagai seorang ulama. Selama 10 tahun ia tinggal di sana, dan itu
dirasakannya sebagai “masa kekeringan spritual dalam kehidupannya” karena
terhalang dari kesibukan intelektual dan perenungan, disebabkan karena
kontak-kontak sosial yang tak pernah terhindarkan dengan mencari penghidupan
dengan bertani. Walaupun demikian, di tempat tersebut T{aba>t}aba>’I juga
sempat menghasilkan beberapa karya ilmiahnya, serta mengajar sejumlah kecil
murid.[14]
Pada tahun 1945
T{aba>t}aba>’I hijrah ke Qum, pusat pendidikan keagamaan paling penting
di Iran.[15] Motif kepergiannya dari
Tabriz karena terjadinya peristiwa yang menggemparkan dunia, yakni perang Dunia
II dan pendudukan negara Iran oleh Rusia.[16] Motif lainnya sebagaimana tersirat dari
pengakuannya sendiri, adalah karena kekeringan rohani yang dialaminya.[17]
Di Qum Ia mengajarkan berbagai ilmu
pengetahuan mulai dari etika, filsafat hingga tafsir al-Qur’a>n.[18]
Selain menulis, membimbing masyarakat,
mengajarkan al-Qur’an dan filsafat, kegiatan T{aba>t}aba>’I sejak
kedatangannya di kota Qum juga berisi kunjungan-kunjungan ke Teheran dan
beberapa kota lain. Menurut Sayyed Hosein Nasr, ada tiga kelompok yang menjadi
sasaran pembelajaran T{aba>t}aba>’i@ ketika di Qum. Pertama,
sejumlah murid tradisional di kota Qum yang kemudian menyebar ke seluruh negara
Iran bahkan ke luar negri. Kedua, sejumlah kelompok mahasiswa pilihan
yang beliau ajari ilmu ma’arif dan ‘irfan. Dan ketiga, sekelompok
orang-orang Iran yang berpendidikan modern, termasuk beberapa orang dari luar
Iran, seperti Henry Corbin.[19]
T{aba>t}aba>'I melalui
pembaharuan-pembaharuannya dinilai telah melahirkan tokoh-tokoh intelektual
yang berhasil membawa perubahan dan kemajuan besar dalam kehidupan masyarakat
Iran. Melalui didikannya, muncul tokoh-tokoh Islam syi’ah yang demikian
terkenal tidak saja dikalangan Syi’ah tetapi juga di masyarakat Sunni, seperti
Murt}ad}a Mut}ahhari, Ayatullah Montazeri, Muh}ammad Mufatteh, Na>sher
Maka>rim Shira>zy, dan Ja’far Subha>ni.[20]
Setelah
sekian lama mengabadikan hidupnya untuk kemajuan ilmu pengetahuan, akhirnya
Al-T{aba>t}aba>'i meninggalkan dunia yang fana ini di daerah Aban pada
tahun 1360 H bertepatan dengan bulan November 1981.[21]
Sayyed Hosein Nasr mengungkapkan bahwa T{aba>t}aba>’I
merupakan seorang ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan
maupun keagamaan, meliputi ilmu fiqh, ushul fiqh, tasawuf sampai ilmu
matematika dan filsafat. Sebagai seorang filosof, kecendrungannya terhadap
filsafat bahkan sangat mewarnai karya-karya intelektualnya, termasuk kitab
tafsirnya Al-mi>zan fi> tafsi>r al-Qur’a>n.[22]
Sebagai
seorang penulis yang produktif, Al-Thabâthabâ'î menulis sejumlah besar karya.
Beberapa karyanya, sebagian ditulis dalam bahasa Arab dan sebagiannya yang lain
dalam bahasa Persia, membahas Al-Qur’an khususnya soal-soal keagamaan.[23]T{aba>t}aba>’i
mulai menulis semenjak masih belajar di Najaf. Karya-karya yang ditulisnya di
Najaf tersebut adalah: Resa>le dar Borha>n (Risalah tentang
penalaran), Rasa>le dar Moghalata. Rasa>le dar Tah}li>l, Rasa>le
dar Tarki>b, Rasa>le dar E’taba>riyat, Rasa>le dar Nobovva>t va
Mana>ma>t. Ketika bermukim di Tabriz, T{aba>t}aba>’I berhasil
menulis buku-buku berikut: Rasa>le dar Asma’ va safa>t, Rasa>le dar
Af’a>l, Rasa>le dar Vas’et Miyan-e Khoda va Ensa>n, dsb. Sedangkan
kitab T{aba>t}aba>’I yang ditulis di Qum adalah: Tafsi>r
al-Miza>n, Us}u>l-e Falsafe wa Ra>ves} Realism, Anotasi untuk
Kifa>yat al-Us}u>l, Anotasi untuk al-Asfa>r al-Arba’ah, Shi’a dar
Islam, Qor’a>n dar Islam, Sunan An-Nabi, dan kumpulan makalah, artikel,
jawaban artikel yang diterbitkan dalam beberapa jurnal.[24]
Di
antara karya-karya T{aba>t}aba>’I, Al-Miza>n-lah yang paling berpengaruh.
Tafsir ini, menurut Abu> al-Qa>sim Razza>qi>, menduduki posisi penting
karena kualitasnya yang istimewa, tidak hanya di antara buku-buku sejenis,
tetapi juga di antara berbagai jenis buku keislaman baik agama, ilmu, filsafat
dan terlebih lagi dalam bidang tafsir yang pernah ditulis sarjana Sunni maupun
Syi’i.[25]
- Motivasi Penulisan Tafsir
Ide
penulisan tafsir ini muncul ketika T{aba>t}aba>’I datang dari Tabriz ke
Qum pada tahun 1325 H. Ia mempelajari dan melihat adanya berbagai kebutuhan
dalam diri masyarakat Islam termasuk situasi yang melingkupi lembaga Qum itu
sendiri. Kemudian menyimpulkan bahwa lembaga tersebut membutuhkan satu tafsir
al-Qur’an untuk mendapatkan sebuah pemahaman yang lebih baik dan instruksi yang
lebih efektif untuk sampai pada makna yang tersirat dalam teks yang paling
tinggi kedudukannya dalam Islam.[26]
Di
sisi lain, T{aba>t}aba>’i@ juga melihat adanya dominasi gagasan-gagasan
materialistik yang berkembang kala itu. Karenanya, T{aba>t}aba>’i@
menginginkan untuk melakukan elaborasi intelektual doktrinal dalam Islam dengan
menggunakan argumen-argumen rasional.[27] Karena
itu ia merasa berkewajiban memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam kuliah-kuliahnya,
T{aba>t}aba>’I memberikan materi tafsir yang kemudian ia tuliskan. Selama
diselenggarakannya kuliah, kemungkinan ia telah menuliskan materinya dalam
bentuk prosa yang padat namun indah, yang belakangan diterbitkan dalam beberapa
volume.[28]
Penting
untuk diketahui bahwa dengan keberadaan tafsir ini, sesungguhnya
T{aba>t}aba>’I sekaligus ingin membantah asumsi yang menyatakan bahwa
Syi’ah memiliki al-Qur’an tandingan, yang berbeda dengan al-Qur’an di dunia
Sunni.[29]
Penulisan al-Mi>za>n
sendiri sebenarnya adalah hasil dari draf-draf kuliah T{aba>t}aba>’i@
semenjak pertama kali ia di Qum tahun 1325 H. Ia orang yang produktif dalam
menulis dan memberikan kuliah dalam berbagai disiplin ilmu. Komentar dan
penulisan terhadap al-Qur’a>n adalah salah satu topik yang didiskusikan pada
lingkungan akademik di Hawzah, Qum. Mahasiswa-mahasiswa di sanalah yang
menginginkan kepada T{aba>t}aba>’i@ untuk membukukan karyanya tersebut.
Akhirnya T{aba>t}aba>’i@ pun melakukannya, dan juz 1 selesai ditulis pada
1375 sampai pada juz yang terakhir, dan selesai pada 23 Ramadlan 1392 H/ 1971
M.[30]
Mengenai latar belakang pemberian nama al-Mi@za>n,
T{aba>taba>’i> sendiri tidak menyebutkannya. Namun, ‘Ali al-Awsy
menyebutkan bahwa hal itu berkaitan dengan karakter kitab tafsirnya yang mengemukakan
berbagai pandangan para mufassir, dan ia memberikan sikap kritis dan menimbang
pandangan mereka untuk mendapatkan tafsiran yang lebih baik.[31] Menurut
Louis Abraham Medoff dalam disertasinya menyatakan bahwa tafsir ini memberikan
pengimbangan antara kaum tradisionalis yang terlalu mengacu para guru-guru
mereka tanpa kritik dengan kaum modernis yang kadang terlalu keras mengkritik
kaum tradisionalis.[32]
Dalam al-Mizan, T{aba>t}aba>’I
mengelompokkan empat golongan yang menafsirkan al-Qur’an yaitu teolog, filosof,
sufi, dan ahli hadis. Setelah melakukan pengelompokan,
T{aba>t}aba>’I mengulas model
penafsiran mereka, lalu kemudian mengkritis pandangan dan pendekatan mereka di
dalam menafsirkan al-Qur’an .[33]
- Sumber Penafsiran T{aba>taba>’I
Sumber
yang digunakan Thabathaba’i dalam karya tafsirnya ini ada dua, yaitu al-Qur’an
dan sumber lainya. Sumber pertama merupakan sumber yang tidak bisa
dilepaskan darinya, karena ia merupakan pondasi dasar dalam menafsirkan setiap
ayat. Ketika mengambil sumber kedua penafsirnya selalu mendiskripsikan
kepribadian tokoh yang dijadikan sebagai sumber. Sumber kedua ini berupa kitab-kitab
tafsir, baik dari kalangan syi’ah Imamiyah atau Sunni, hadis-hadis Nabi, kamus
bahasa Arab, buku-buku suci agama lain, sumber-sumber sejarah, pengetahuan
umum, dan rasional, filsafat, koran serta majalah. Namun terkadang di beberapa
tempat Thabathaba’i tidak menyebutkan sumber rujukanya secara eksplisit,
seperti sewaktu mengutip pendapat Ibn Abbas, Thabathaba’i berkata wa nusiba
ila Ibn Abbas wa mala ilaihi al-jumhur.[34]
Sumber
penafsiran berupa atsar diambil oleh Thabathaba’i dari tafsir Ibn Abbas. Selain
tafsir Ibn Abbas, sumber lain yang dipakai oleh Thabathaba’i adalah kitab
tafsir Jami al-bayan fi tafsir al-Qur’an yang ditulis oleh al-Thabari.
Dari tafsir ini Thabathaba’i menukil qaul shahabah, thabiin, riwayat-riwayat
tentang sebab-sebab turun ayat.
Tafsir
al-Miza>n sebagaimana pujian dari Ilyas Klantre dalam bukunya yang berjudul Dali>l
al-Miza>n adalah bak sebuah ombak yang meninggi dari samudera ilmu-ilmu
al-Quran. Ilmu pengetahuan yang terdapat di dalamnya tak terhingga.[35]Seperti
yang tertera dalam buku-buku ulu>m al-Quran bahwa sumber penafsiran terbagi
menjadi dua, Bi al-Ra’yi dan Bi al-Ma’thu>r.[36] Sementara kitab tafsir al-Miza>n karya T{aba>t}aba>’i
ini sebagaimana diakuinya sendiri adalah sebuah tafsir yang menafsirkan al-Qur’an
dengan al-Qur’an (Bi al-Ma’thu>r). Klaim ini diamini oleh oleh Ilyas
Klantre dengan menuturkan, “Pengakuan T{aba>t}aba>’i
sesuai
dengan bukti.”[37]
Meski demikian, dalam prakteknya ternyata sumber
penafsiran kitab tafsir al-Miza>n tidak hanya berdasarkan Bi al-Ma’thu>r.
Sebab, sebagaimana yang terkandung di dalamnya, T{aba>t}aba>’i juga menggunakan beberapa pendekatan
lainnya dalam menafsirkan teks al-Qur’an, seperti pendekatan linguistik,
filosofis, sejarah, teologi dan sebagainya.
Di
samping itu, T{aba>t}aba>’i
juga kerap mengutip pendapat-pendapat para mufassir sebelumnya, baik klasik
maupun kontemporer. Sebut saja seperti Ibnu Abbas, Tafsir Thabari, Tafsir
al-Kasyâf Zamakhsyari, Tafsir Mafâtîh al-Ghaib Fakhrurrazi, Tafsir al-Manâr dan
sejumlah tafsir lainnya.
Selain
merujuk pada tafsir-tafsir lain, T{aba>t}aba>’i
juga
menggunakan beberapa kitab gramatikal dan kamus bahasa Arab, seperti Lisân
al-Arab, Al-Muhith dan lainnya. Untuk mengkomparatifkan kajian agama-agama, T{aba>t}aba>’i juga mengutip beberapa kitab-kitab agama lain,
seperti Taurat, Injil, Veda, dan lainnya.[38]
- Metode Penafsiran
Al-Mi>za>n adalah
karya tafsir yang memiliki metode berbeda dari kitab tafsir lainnya, klasik
maupun kontemporer. Karya ini lahir dari tangan orang yang tidaksaja menguasai
ilmu-ilmu Islam klasik, namun ia juga sangat akrab dengan filsafat serta
ilmu-ilmu kontemporer. Penulisnya juga telah bersentuhan secara luas dengan
masyarakat modern, walau tidak secara langsung.[39]
Mengenai metode penafsiran
T{aba>>t}aba>’i@ memberikan gambaran penafsiran terhadap al-Qur’a>n
yang paling valid adalah penafsiran yang didapat dari perenungan terhadap
ayat-ayat al-Qur’a>n itu sendiri. Karenanya, bagi T{aba>t}aba>’i@ ada
tiga bentuk metode penafsiran. Pertama, menafsirkan suatu ayat dengan
bantuan data ilmiah dan non-ilmiah. Kedua, menafsirkan suatu ayat dengan
h{adis-h{adis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam-Imam suci. Dalam hal ini h{adis
berfungsi sebagai penambahan atau pelengkap. Ketiga, menafsirkan al-Qur’a>n
dengan jalan memanfaatkan ayat-ayat lain yang berdekatan.[40]
Namun, nampaknya metode yang banyak
dilakukan oleh T{aba>t}aba>’i@ adalah yang ketiga. Karenanya manhaj
tafsir dalam karya T{aba>taba>’i> ini lebih kepada tafsir al-Qur’a>n
bi al-Qur’a>n. Tafsir ini lebih dekat kepada tafsir bi al-ma’thu>r
dari pada tafsir bi al-ra’yi. Bahkan T{aba>t}aba>’i@ menganggap
bahwa metode ini adalah yang dianjurkan oleh Nabi dan ahl al-bait dalam
hadis-hadis mereka.
Dari ketiga metode di atas,
T{aba>t}aba>’i@ menjelaskan bahwa metode yang pertama tidaklah layak diikuti
karena bersumber dari pendapat pribadi, kecuali yang sesuai dengan
al-Qur’a>n. Untuk metode yang kedua, metode ini adalah metode yang banyak
dipakai para ulama tafsir Sunni maupun Syi’ah, hanya menurut
T{aba>t}aba>’i@ hal ini tidak mencukupi kebutuhan ilmiah dan non ilmiah
yang begitu banyak.[41]
Dalam menggunakan hadis-hadis sebagai
sandaran ataupun tambahan dalam penafsiran, T{aba>t}aba>’i@ memberikan
penjelasan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh ahl bait jumlahnya ribuan
dan sebagian besar dapat dijadikan sandaran. Sedangkan, hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh kaum Sunni hanya sekitar dua ratus lima puluh, dan lemah
sanadnya (mungkar).[42]
Dalam
menafsirkan al-Qur’an, T{aba>t}aba>’I juga menggunakan metode tahlīlī,
yaitu menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan urutan surah, dari surah
al-Fa>tih}ah sampai surah an-Na>s. Namun untuk tujuan keselarasan dan
agar penyampaian tafsirnya utuh, T\{aba>t}aba>’i> juga menggunakan
metode tamatik, yaitu dengan mengelompokkan ayat-ayat al- Qur’an -meskipun sesuai dengan urutan ayat
dan surah dalam al-Qur’an- tetapi ia tetap mengusahakan penafsiran sesuai
tema-tema yang dikajinya. Dalam ilmu tafsir penggabungan metode tafsir seperti
ini disebut sebagai metode analitis (tahlīlī) dan tematik (maud}u>‘i>).[43]
- Corak Tafsir
Ada yang berpendapat
bahawa corak penafsiran T{aba>t}aba>’I dalam tafsir Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an adalah
Falsafi. Karena di dalam tafsir tersebut banyak dikemukakan filsafat yang
dijadikan salah satu penunjang dalam menafsirkan Al-Qur’an.[44]
Bukan hal yang mengherankan apabila karya-karya T{aba>t}aba>’I sangat diwarnai
filsafat, mengingat selain bahwa ia adalah seorang filosof, ia juga seorang
ulama beraliran syi’ah. Sedangkan dalam Syi’ah, filsafat memperoleh posisi yang
cukup penting sebagai salah satu cara untuk memahami Islam.[45]
T{aba>t}aba>’i
dalam tafsir al-Mizan fi tafsir
al-Qur’an berpendapat bahwa para filosof menggunakan pemikiran filsafat
dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Sesuai dengan kecenderungan dan
keilmuannya, Diantara tokoh filosof Islam adalah Al-Farabi, Ibnu-Sina. T{aba>t}aba>’i dalam tafsirnya memasukkan pembahasan
filsafat sebagai tambahan dalam menerangkan suatu ayat atau menolak teori
filsafat yang bertentangan dengan al-Qur’an. Ia menggunakan pembahasan filsafat
hanya pada bagian ayat tertentu saja.
Di atas penjelasan itu
semua, ada juga yang menggolongkan model tafsir Thabathaba’i sebagai tafsir
Syi’i. Ini karena penulisnya beraliran Syi’ah. Karena itu, ketika Thabathaba’i
menafsirkan al-Qur’an sering merujuk pada paham Syi’ah dan ulama-ulama Syi’ah
yang ma’shum, khususnya perkataan atau ilham dari Imam dua belas. Meski begitu,
Thabathaba’i juga mengambil pendapat-pendapat Ahlu Sunnah Wal Jama’ah sebagai
penunjang dalam menafsirkan Al-Qur’an.[46]
- Mazhab Tafsir
Sebagai seorang ulama Syi’ah terkemuka,
pemikiran T{aba>t}aba>’I memang sangat kental dengan ideologi kesyi’ahan.
Hal ini terlihat jelas dalam berbagai kajiannya yang tertuang dalam beberapa
karyanya. Bukunya Islam Syi’ah misalnya, sangat memperlihatkan keteguhan
T{aba>t}aba>’I berpegang pada mazhab syi’ah. Begitu juga dalam tafsirnya Al-Mi>za>n,
T{aba>t}aba>’I pun kelihatan sekali berupaya menggeneralisasikan
mazhab syi’ah ketika menafsirkan ayat-ayat yang menurut kaum syi’ah sendiri,
berkenaan dengan pandangan-pandangan ideologis kesyi’ahan mereka.[47]
Sebagaimana telah menjadi dasar
pemikiran keagamaan di kalangan Syi’ah, T{aba>t}aba>’I membagi metode pemikiran
keagamaan menjadi tiga cara.[48] Pertama,
metode lahiriyah dan formal keagamaan yang digunakan untuk memahami
masalah-masalah tauhid, kedaulatan Tuhan, kerasulan dan kehidupan setelah mati,
dll. Kedua, metode intelektual, yang mengacu pada pembuktian rasional.
Pemikirn rasional dalam pengertian Islam memberikan pembuktian-pembuktian
intelektual tentang keabsahan aspek-aspek lahiriah Al-Qur’an dan hadis0hadis
Nabi dan Ahlul Bait.
Ketiga, metode mistikal, yang oleh
T{aba>t}aba>’I dinilai sebagai cara yang dapat mencapai kebenaran batin
agama. Metode ini hanya bisa dicapai olh orang-orang yang telah benar-benar
suci dari dosa, yang mampu melakukan perenungan mendalam sehingga dalam setiap
yang dilakukannya yang dilihatnya hanyalah Tuhan.
- Karakteristik Tafsir
Al-Mi>za>n fi> Tafsi>r
al-Qur’a>n, karya
T\{aba>t}aba>’i> ini selain memiliki karakteristik yang berbeda dengan
tafsir-tafsir yang lain, juga dianggap sebagai
produk
tafsir yang cukup moderat dan akomodatif terhadap zamannya. Meskipun
terlahir
dari tokoh besar Syiah Ima>miyah (Is\na> ‘Asyariyyah), namun
al-Miza>nbanyak menjadi rujukan bagi ulama
dan para mufasir baik dari kalangan Sunni,
kalangan Syiah, maupun kalangan akadimisi
non-muslim. Al-Mizan mempunyai
beberapa macam segi; ilmiah, tekhnis, estetis, filosofis, historis, spiritual,
sosiologis, dan tradisional. Namun ada tiga segi yang paling menonjol dan
mengatasi segi-segi yang lainya:[49]
1.
Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
Dalam komentarnya terhadap al-Qur’an
ini, Thabathaba’i memperlihatkan keaslianya dengan pertama-tama menunjukan
keterkaitan yang dekat antara satu ayat dengan ayat-ayat lainya dalam al-Qur’an
dan mendasarkan koordinasi inheren ini, ia membuktikan bahwa ayat-ayat dalam
al-Qur’an itu saling menjelaskan. Dengan kata lain, Thabathaba’i menjelaskan
fakta yang dinyatakan dalam ayat al-Qur’an yufassir ba’dhuhu ba’adl (beberapa
bagian al-Qur’an menjadi penjelas untuk bagian yang lainya).
Menurut
Thabathaba’i, tafsiran sesungguhnya mengenai al-Qur’an hanya dimungkinkan
dengan melalui kontemplasi yang mendalam atas ayat-ayat al-Qur’an yang
dihubungkan dengan ayat-ayat lain yang berkaitan. Dengan kata lain, salah satu
dari ketiga metode berikut ini terbuka untuk mendapat penjelasan yang benar
mengenai ayat-ayat al-Qur’an.
Ø Penjelasan tentang
ayat tanpa mengaitkanya dengan ayat lain, dengan menggunakan bantuan premis-premis
ilmiah dan non ilmiah yang kita miliki.
Ø Penjelasan atas suatu
ayat dengan memakai bantuan dan penerapan hadis yang sampai kepada kita dari
salah satu imam ma’shum yang diucapkan dalam kontkes ayat yang tengah dibahas.
Ø Penjelasan atas
suatau ayat dengan jalan merefleksikan kata-kata dan makna ayat tersebut dengan
bantuan sejumlah ayat lain yang relevan, dan sebagai tambahan dengan merujuk
kepada hadis-hadis sejauh hal tersebut memang dibutuhkan[50]
Kekhususan al-Mizan ini dinilai sebagai
satu langkah penting yang diambil dalam melangkah menuju pemahaman yang lebih
baik atas kualitas luar biasa yang dimiliki al-Qur’an berdasarkan pada
kogerensi dan keterkaitan ayat-ayatnya[51]
Misalnya penafsiran Thabathaba’i
terhadap surat al-Nisa’ ayat 36 tentang larangan mengikuti hawa nafsu dan
menyembah selain Allah dan menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain. Menurut
Thabathaba’i larangan mengikuti hawa nafsu ini selanjutnya djelaskan dalam
surat Shad ayat 26, yang menyatakan bahwa dengan mengikuti hawa nafsu ini akan
menyesatkan dari jalan Allah.
Dengan analisis yang lain dikatakan bahwa tidak ada perbedaan antara
ketaatan pada diri sendiri dan ketaatan pada yang lain. Karena mengikuti hawa
nafsu merupakan satu bentuk penyembahan kepada selain Allah sebagaimana yang terdapat
dalam surat al-Jatsyah ayat 23.
2. Aspek Sosiologis
Kurang lebih semua komentar al-Qur’an memberikan perhatian pada aspek-aspek
sosiologis dan telah membahas mengenai isu-isu yang relevan. Penjelasan
sosiologis dalam tafsir al-Mizan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif,
jauh di atas penjelasan yang diberikan oleh karya-karya lain dalam kelasnya.
Dengan pendekatan yang multi-dimensional serta pandangan yang luas terhap
berbagai masalah sosial, Thabatahabi berhasil dalam memproyeksikan isu-isu tersebut
dalam sorotan al-Qur’an. Ia berhasil mengetengahkan suatu cara pandang baru
terhadap masalah-masalah sosial dari sudut pandang al-Qur’an yang tetap
diperhatikan sampai sekarang, dan berhasil menggugah para pembaca yang
terilhami untuk semakin berusaha keras untuk menggali dimensi-dimensi baru di
samping berbagai dimensi luar biasa yang terdapat dalam al-Qur’an.
Misalnya, penafsiran Thabathaba’i terhadap surat al-Nisa yang menjelaskan
beberapa persoalan sosiologis Islam yang membahas ihwal abad manusia, munculnya
manusia pertama, proses penciptaan dan evolusi, dan masalah-masalah yang
terkait lainya.[52]
Setelah itu terdapat pembahasan mengenai perkawinan ditinjau dari sudut
pandang ilmiah dan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian ketiga membahas khusus poligami
dalam Islam dengan merujuk kepada pertanyaan mengenai jumlah istri Nabi.[53]
3. Aspek Filosofis
Thabathaba’i yang sekaligus salah seorang dari sedikit filosof yang
memiliki pandangan-pandangan yang jernih dan orsinil, telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai dalam bidang
tafsir dengan mengelaborasikan metafisika al-Qur’an yang akan memebrikan kepada
kita pandangan berharga dan benar mengenai hakikat hidup yang sesungguhnya dari
kerangka metafisika. Ia menyangkal semua salah kaprah yang tidak berdasarkan
yang dinisbatkan kepada al-Qur’an.
Menurut Thabathaba’i, metafisika Islam mempuanya dasar-dasar yang
terkandung di dalam al-Qur’an dan itu tidak lain berupa elaborasi gagasan
al-Quran mengenai Tuhan, manusia, dan alam semesta. Dengan kata lain, Thabathaba’i
menunjukan bahwa faktor utama yang bertanggungjawab atas terjadinya kesalahan
umum yang berkaitan dengan masalah metafisika adalah karena kurangnya pemahaman
yang tepat dan informasi yang benar mengenai masalah ini.
Misalnya penafsiran Thabathaba’i terhadap surat al-Fatihah. Thabathaba’i
memulai penjelasan dengen memberi komentar singkat ayat 1. Kemudian memberikan
penjelasan tentang pengertian kata al-hamd (pujian) dalam konteks
ketuhanan, Yang Maha Suci.[54]
- Ahl al-Bait dalam Pandangan T{aba>t}aba>’I
Ahl al-bait adalah sebuah nama yang cemerlang,
mulia, abadi, dan dicintai setiap jiwa yang mencintai Rasulullah, yang beriman
kepadanya dan yang berjalan di atas petunjuknya. Al-Qur’an telah bercerita
tentang ahl al-bait dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti
berikut:[55]
1)
Dengan
memberikan gelar atau istilah tertentu.
Pada beberapa ayat, Al-Qur’an menyebut
mereka dengan “ahl al-bait” :
Ayat
Pertama
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ
أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“…Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (Q.S. al-Ahzab: 33)
Ayat Kedua
وَحَرَّمْنَا عَلَيْهِ الْمَرَاضِعَ
مِنْ فَقَالَتْ هَلْ اَدُلُّكُمْ عَلىَ أَهْلِ بَيْتٍ يَكْفُلُوْ نَهُ لَكُمْ
وَهُمْ لَهُ نَصِحُوْنَ.
“Dan
Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui (nya)
sebelum itu; maka berkatalah saudara Musa: "Maukah kamu aku tunjukkan
kepadamu ahlulbait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku
baik kepadanya?". (QS. al-Qashash: 12)
Ayat Ketiga
قَالُوْا أَتَعْجَبِيْنَ مِنْ أَمْرِاللهِ رَحْمَتُ اللهِ
وَبَرَكَتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيْدٌ مَّجِيْدٌ.
“Para malaikat itu berkata: "Apakah kamu
merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan
keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha
Terpuji lagi Maha Pemurah." (QS. Hud: 73
Dan dalam ayat lain mereka menyebut “al-Qurba”,
sebagaimana dalam ayat “al-mawaddah”:
Dan
banyak lagi ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang berkaitan dengan Ahl al-bait,
sebagaimana diriwayatkan para ahli tafsir dan ahli hadis dalam kitab-kitab
mereka.
2)
Al-Qur’an mendokumentasikan
beberapa peristiwa dan kejadian khusus berkaitan dengan ahl al-bait.
Beberapa
ayat Al-Qur’an yang diturunkan, banyak menceritakan keutamaan dan kedudukan
mereka, memuji mereka serta mengerahkan umat kepada mereka. Terkadang al-Qur’an
menyebutkan mereka secara bersama-sama, seperti dalam ayat Mubahalah
(QS. Ali Imran:16), ayat it}’a>m dalam surat al-Dahr dan lainnya,
terkadang pula secara terpisah sebagaimana dalam ayat al-wila>yah
(QS. Al-Maidah:55)
Kata Ahlul Bait (keturunan
Nabi Muhammad SAW) ternyata masih banyak pertentangan di kalangan umat Islam,
terlebih adanya perbedaan pendapat di kalangan para mufasir dan tokoh Muslim
dalam memahami kata ini. Penulis mencoba menelaah kembali tentang Ahlul Bait dalam
pandangan T{aba>t}aba>’i.
Sebagai
seorang ulama Syi’ah terkemuka, pemikiran T{aba>t}aba>’I memang sangat
kental diwarnai ideologi kesyi’ahan. Hal ini terihat jelas dalam berbagai
kajian yang dilakukannya sebagaimana tertuang dalam beberapa karyanya.
Misalnya, dalam penafsirannya atas surah Al-Baqarah:124, Al-Nisa>’:59,
al-Ma’idah:3, 55 dan 67 T{aba>t}aba>’I menguraikan tentang
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan dalam Islam,
yang mengacu pada pembelaannya terhadap konsep Ima>mah dalam Syi’ah.
Menurutnya hak kepemimpinan itu sebagai milik ahl al-bait, karena
merekalah yang berhak memegang Ima>mah menggantikan Nabi Muhammad
Saw.[56]
Menurut
mereka kepemimpinan yang diberikan kepada Ahlul Bait telah ditentukan oleh Nas}
(dekrit) dan Was}iyah dari
Nabi Muhammad saw. Sehingga, kepemimpinan mereka sederajat dengan kenabian.[57] Selain
diyakini sebagai pihak yang berhak memegang kepemimpinan setelah Nabi wafat, ahl
al-bait juga dianggap memiliki keistimewaan lain. Karena mereka ma’s}u>m,
memiliki otoritas keagamaan sebagaimana Nabi Muhammad Saw. Kemaksuman para Ahl Bait ini
tercermin dalam ungkapan T{aba>t}aba>’i@ dalam tafsirnya sebagai berikut:
امر
في الإنسان المعصوم يصونه عن الوقوع فيما لا يجوز من الدخطأ والمعصية
Sementara
itu, dalam tafsirnya, T\{aba>t}aba>’i> bahkan menolak pendapat
mayoritas ulama-ulama Sunni tentang penafsiran ’U<lul ’Amri dalam QS. An-
Nisa>’ [4]: 59. Sebagian besar ulama Sunni, seperti Sayyid Rasyi>d
Rid}a> dan Al- Ra>zi>, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
’U<lil ’Amri dalam ayat tersebut adalah Ahlul H{alli wal ‘Aqd. Bagi
T\{aba>t}aba>’i>, pendapat tersebut tidak benar. Menurutnya, perintah
untuk mentaati ‘U<lul ‘Amri sebagaimana terformulasikan dalam ayat tersebut
memberikan suatu kepastian bahwa mereka adalah orang-orang suci, yang tentu
tidak memiliki dosa (ma‘s}u>m), dan seluruh sikap serta tutur kata
dan perbuatannya selalu mencerminkan kebenaran. Dengan menggunakan dalil ayat
yang lain, yaitu QS. al-Ah}za>b [33]: 33, dan beberapa hadis yang lainnya
menjelaskan bahwa orang yang ma‘s}u>m itulah yang tidak lain adalah Ahlul
Bait.[58]
Syi’ah
mengklaim bahwa segala sesuatu yang bersumber dari ahl al-bait harus
diikuti. Dalam kaitan inilah, Syi’ah memandang “hadis” tidak saja terhadap apa
saja yang berasal dari Nabi Muhammad Saw, tapi juga mencakup apa yang berasal
dari ahl al-bait. Di sisi lain, Syi’ah tidak memandang pendapat para
sahabat kecuali Ali yang merupakan ahl al-bait.[59]
Dalam memahami ahl bait, menurut
T{aba>t}aba>’i@ tidaklah bisa disamakan dengan penyebutkan keluarga pada
umumnya ataupun secara harfiyah, namun harus mengikuti apa yang diungkapkan
oleh Allah dan rasul-Nya tentang ahl al-bait Rasulullah itu sendiri.
Adapun jumlahnya menurut T{aba>t}aba>’i@ meliputi Rasulullah, Ali,
Fatimah, Hasan, dan Husain.[60]
Kedudukan kesucian mereka tercermin dalam argumentasi al-Qur’a>n dan hadis
sebagai berikut:
Pertama, dalam al-Qur’a>n
إِنَّمَا يُرِيدُ
اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ
تَطْهِيرًا
Kata “innama” dalam ayat di atas
berfungsi sebagai pembatas. Sehingga, keinginan atau kehendak Allah untuk
melakukan penyucian dan pembersihan dosa sebatas hanya kepada Ahl Bait,
dan bukan kepada kelompok maupun golongan yang lain.[61]
Karena itu, tidak mungkin Ahl Bait memiliki kekeliruan dan kesalahan
bahkan dosa dalam memahami dan mengamalkan al-Qur’a>n.
Kedua,
sesuai dengan hadis Nabi yang dikenal baik oleh Sunni maupun Syi’ah dengan
sebutan hadis tsaqalain, yakni dua warisan Nabi kepada umat muslim yang
menyebutkan bahwa warisan itu adalah Kitabullah dan keluarga Nabi. Hadis
tersebut muncul dengan berbagai redaksi di antaranya:
ياأيها الناس إني
تركت فيكم ما إن أخذتم به لن تضلوا كتاب الله و عترتي أهل بيتي[62]
‘Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya telah aku tinggalkan bagi kalian suatu peninggalan yang tidak akan
sesat selama kalian berpegang teguh kepadanya: Kitabullah dan itrah ahl baitku.’
Selain itu ada pula hadis yang dikutip
oleh T{aba>t}aba>’i@ yang menyebutkan bahwa Nabi pernah bersabda, “Ahl
baitku adalah seperti perahu Nuh, barang siapa naik keatasnya pasti selamat,
dan siapa yang menolaknya akan tenggelam.”[63]
Harus diakui bahwa Syi’ah dalam
memahami al-Qur’a>n kadang terkesan memaksa dalam menakwilkan dengan prinsip
dan ideologi Syi’ah. Hal ini dipahami oleh Zeid B. Smeer dalam disertasinya
terhadap tulisan Rajab al-Birsi, Khumsu Mi’ah Ayah Nazalat fi Amir Mu’minin
Ali in Abi Thalib, terj Muhdhar Assegaf dengan judul Lima Ratus Ayat
untuk Ali ibn Abi T{a>lib. Zeid berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut
sebenarnya bersifat umum dan sama sekali tidak berkaitan dengan doktrin Syi’ah.[64]
- Kesimpulan
Al-Mizan adalah tafsir karya T{aba>t}aba>’i@ yang memiliki ciri khas tersendiri, di
antaranya adalah mengkombinasikan khazanah tafsir klasik Syi’ah dengan khazanah
kontemporer yang dimiliki Thabathaba’i sendiri. Dengan latar belakang teologis
yang dipegangnya, yaitu Syi`ah, Thabathaba’i berusaha menyajikan
penafsiran-penafsiran yang sejalan dengan paham Syi`ah Imamiyah serta
meninggalkan paham yang tidak sesuai dengan keyakinan teologisnya. Meski
demikian, tak jarang Thabathaba’i mengutip dan mengambil pendapat ulama dari
kalangan Sunni sebagai bentuk
komparasi ide dan gagasan.
Daftar Pustaka
Al-Ausi>, Ali>. Al-T}aba>t}aba>’i
wa Manhajuh fi> Tafsi>rih Al-Mi>za>n. Iran: Mua>waniyah Al-Ri’a>sah li
Al-Ala>qa>t Al-Dauliyah,1985.
Al-T{aba>t}aba>’I,
Muhammad Husein. Al-Qur’an fi
al-islam. Teheran: Sajehhar, 1985.
_______________________________ Tafsir
Al-Miza>n, terj. Ilyas Hasan. Jakarta: Lentera,
2010.
Al-Zara>ni>, Muhammad ‘Abd
al-‘Azhim. Mana>hil al-Irfa.n Fi ‘Ulu>m al-Qur’an. Beirut; Dâr
al-Fikr, tt. vol 2.
Anwar,
Rosihon. Tafsir Esoterik Menurut Pandangan T{aba>t}aba>’I. Disertasi
UIN Jakarta, 2004.
Asrori,
Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an . Makalah Tafsir Timur Tengah SPS UIN
Jakarta, 2011.
Baidowi,
Ahmad. Mengenal T{abat}aba’i dan Kontroversi Nasikh Mansukh<.
Bandung: Penerbit Nuansa, 2005.
Board
Writing Translation and publication, Al-Mi>za>n an Exegesis of
Qur’a>n. Teheran: Word Organization for Islamic Services, 1981.
Dzikron, Mohammad. Us}u>l
Al-Syi>’ah Ithna> asha>riyah Dalam Tafsir Al-Mizan Karya
T{aba>y{aba>’I. Tesis. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga<, 2012.
Klantre, Ilyas. Dali>l al-Miza>n. Libanon;
Mu’assasah al-A’la>mi> Li al-Mat}bu>’at, 1985.
Lajnah
al-Ta’lif muassasah al-bala>gh, Mengenal Lebih Jauh Ahlulbait, terj.
Abdur Rauf. Jakarta: Islamic Center, 2002.
Nasr, Seyyed Hossein. “Thabâthabâ'î,
Muhammad Husain”, dalam John L. Esposito, (Ed.), The Oxford Encyclopedia of
the Modern IslamicWorld. New York: Oxford University Press, 1995.
Parlindungan,
Andian. “Konsep Jihad Menurut al-T{aba>taba>’i> dalam Tafsir al-Mi>za>n”.
Disertasi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2008.
Razzaqi,
Abu> al-Qa>sim. Pengantar pada Tafsir al-Miza>n, terj. Nurul
Agustina dalam Al-Hikmah No.8 Rajab-ramadhan 1413.
Smeer,
Zeid B. Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari Terhadap Hadis-Hadis Syi’ah
Imamiyah. Jakarta: Arifa Publishing, 2011.
Willya, Evra. Hubungan Antar Umat
Beragama Menurut T{aba>t}aba>’I dalam Tafsi>r al-Miza>n. Disertasi.
Jakarta: UIN Syarif Hidayatulah, 2008.
[1]Ahmad Baidowi, Mengenal
T{abat}aba’i dan Kontroversi Nasikh Mansukh<, (Bandung: Penerbit Nuansa,
2005), 24.
[2] Kitab-kitab
tafsir Sunni yang menjadi rujukan Thabathaba’i adalah Al-Durr Al-Mantsur
ditulis oleh Jalal Al-Din Al-Suyuthi (849-911 H/1505), Jami’ Al-Bayan fi
tafsir Al-Qur’an karya Jarir Al-Thabari (224-310 H/839-922 M), Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an karya Abu Al-Qasim
Al-Husain ibn Muhammad yang dikenal dengan nama Raghib Al-Ashfhahani (w. 502
H/1108 M), Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil karya Nashir Al-Din
‘Abdullah ibn ‘Umar Muhammad ibn ‘Ali Al-Baidhawi (w. 691 H/1292 M), Ruh
Al-Ma’ani fi Tafsir Al-Qur’an karya Syihab Al-Din Al-Sayyid Mahmud Al-Alusi
(w. 1270 H/1853 M), dan Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an karya Syaikh
Thanthawi Jauhari.
[3] T{aba>t}aba>’i@, al-Quran
fi al-Islam (Iran: Teheran Press, 1404 H), 39
[4] Al-Ah{za>b [33]:33
[5] Al-Wa>qi’ah [56]: 77-9
[6] Selama tiga abad terakhir
keluarga ini telah mencetak generasi demi generasi ulama terkenal di Azarbaijan
(Iran). Mereka adalah keturunan Imam kedua, al-Hasan bin Ali. Keluarga besar
ini juga di rujuk dengan gelar al-Qad}i. Lihat Muhammad Husain T{aba>t}aba>’I, Tafsir
Al-Miza>n, terj. Ilyas Hasan (Jakarta: Lentera Hati, 2010), 11.
[7] Evra Willya, Hubungan Antar Umat Beragama Menurut
T{aba>t}aba>’I dalam Tafsi>r al-Miza>n (Disertasi: UIN Syarif
Hidayatulah Jakarta, 2008), 23.
[8] Mengenai tahun kelahiran T{aba>t}aba>’I terdapat beberapa
pendapat yang berbeda. Tahun 1904 M disebutkan dalam Al-Mizan: an exegesis of
Qur’an, terj. Ilyas Hasan. Sementara Ahmad Baidowi menyebutkan pada tahun 1902
M. Lihat Ahmad
Baidowi, Mengenal T{abat}aba’i dan Kontroversi Nasikh Mansukh<, 38.
Sedangkan Sayyed Hossein Nasr dalam ‘About the Author’ dalam ‘Allamah
Sayyid Muhammad Husain al-Taba’tabai, Shi’a (Manila: al-Hidayah, 1995), 22
menyebutkan bahwa tahun lahirnya adalah 1282 H/ 1903 M.
[9] Ahmad Baidowi, Mengenal
T{abat}aba’i dan Kontroversi Nasikh Mansukh<, 38. Lihat juga disertasi
Andian Parlindungan dalam, “Konsep Jihad Menurut al-T{aba>taba>’i>
dalam Tafsir al-Mi>za>n” Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2008, 24.
[10] Muhammad Husain T{aba>t}aba>’I, Tafsir
Al-Miza>n, terj. Ilyas Hasan (Jakarta: Lentera, 2010) 12.
[11]Ahmad Baidowi, Mengenal
T{abat}aba’i dan Kontroversi Nasikh Mansukh<, 39.
[12] Rosihon Anwar,
Tafsir Esoterik Menurut Pandangan T{aba>t}aba>’I, (Disertasi UIN
Jakarta, 2004), 39. Lihat juga
Seyyed Hossein Nasr, “Thabâthabâ'î, Muhammad Husain”, dalam John L. Esposito,
(Ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern IslamicWorld, (New York:
Oxford University Press, 1995), Jilid 4, 161—162. Lihat pula Ahmad Baidowi, Mengenal
T{aba>t}aba>’I, 40.
[13] Ahmad Baidowi mengungkapkan
bahwa alasan kembalinya T{aba>t}aba>’I ke Tabriz adalah karena kesulitan
ekonomi yang melilitnya.
[14] Lihat Ahmad Baidowi, mengenal
T{aba>t}aba>’I, 40.
[15] T{aba>t}aba>’I, Tafsi>r
al-Miza>n, 13.
[16] Ahmad Baidowi, Mengenal
T{aba>t}aba>’I, 40.
[17] Rosihon Anwar, Tafsir
Esoterik Menurut Pandangan T{aba>t}aba>’I, 41.
[18]Board Writing Translation and
publication, Al-Mi>za>n an Exegesis of Qur’a>n, (Teheran: Word
Organization for Islamic Services, 1981), 3
[19] Ahmad Baidowi, Mengenal
T{aba>t}aba>’I, 42.
[21] Rosihon Anwar, Tafsir
Esoterik Menurut Pandangan T{aba>t}aba>’I, 48.
[22] Ahmad Baidowi, Mengenal
T{aba>t}aba>’I, 44.
[23]Ali> Al-Ausi>, Al-T}aba>t}aba>’i wa Manhajuh
fi> Tafsi>rih Al-Mi>za>n, (Iran: Mua>waniyah Al-Ri’a>sah
li Al-Ala>qa>t Al-Dauliyah,1985), 53-56.
[24] Ahmad Baidowi, Mengenal
T{aba>t}aba>’I, 45-46.
[26] Abu> al-Qa>sim Razzaqi, Pengantar
pada Tafsir al-Miza>n, terj. Nurul Agustina dalam Al-Hikmah No.8
Rajab-ramadhan 1413, 6.
[27]Andian Parlindungan, Konsep
Jihad Menurut T{aba>t}aba>’i@. 53
[29] Muhammad Husein
at-T{aba>t}aba>’I, Al-Qur’an
fi al-islam (Teheran: Sajehhar, 1985), 13-28.
[30]Andian Parlindungan, Konsep
Jihad, 62. Ada juga pendapat lain seperti disertasi Louis Abraham Medoff
yang menyatakan bahwa penulisan tafsir ini berlangsung selama 20 tahun. Lihat
Louis Abraham Medoff, Ijtihad and Renewal in Qur’anic Hermeneutics: An
Analisis of Muhammad Husayn Tabatabai’s al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an.
Desertasi, Berkeley: Universitas of California, 2007”, ii
[32] Louis Abraham Medoff, Ijtihad
and Renewal in Qur’anic Hermeneutics., 36.
[33]T{aba>t}aba>’I,
Tafsir Al-Mizan, Jilid I, 5
[35] Ilyas Klantre, Dali>l al-Miza>n dialihbahasakan
ke dalam bahasa Arab oleh Abbas Tarjuman (Libanon; Mu’assasah al-A’la>mi> Li al-Mat}bu>’at, 1985) cet 1, 7.
[36] Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Zara>ni>, Mana>hil al-Irfa.n Fi ‘Ulu>m al-Qur’an (Beirut; Dâr al-Fikr, tt) vol 2, 10-69.
[38]Mengenai
rujukan-rujukan T{aba>t}aba>’I terhadap kitab
tafsir, kamus, hadis, kitab-kitab agama lainnya, lihat ‘Ali al-Awsiy, Al-T{aba>t}aba>’I Wa Manhajuhu fi Tafsi>rihi al-Mi>za>n, 49-70.
[40] Sayyed Muhammad Husain
T{aba>t}aba>’i>, al-Qura>n fi> al-Isla>m (Iran:
Teheran Press, 1404 H), 82.
[41] Tabataba’I, al-Qura>n
fi> al-Isla>m., 85.
[42]Andrian Parlindungan, Konsep
Jihad. 36
[43]
Mohammad Dzikron, Us}u>l
Al-Syi>’ah Ithna> asha>riyah Dalam Tafsir Al-Mizan Karya
T{aba>y{aba>’I (Tesis
UIN Sunan Kalijaga< Yogyakarta, 2012) 57.
[44] Asrori,
Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an (Makalah Tafsir Timur Tengah SPS UIN
Jakarta, 2011), 15.
[46] Asrori,
Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, 16.
[55] Lajnah al-Ta’lif muassasah
al-bala>gh, Mengenal Lebih Jauh Ahlulbait, terj. Abdur Rauf (Jakarta:
Islamic Center, 2002), 9.
[56] Ahmad Baidowi, Mengenal
T{aba>t}aba>’I, 47-48.
[57] Mohammad
Dzikron, Us}u>l
Al-Syi>’ah Ithna> asha>riyah Dalam Tafsir Al-Mizan Karya
T{aba>y{aba>’I, 6.
[58]
Mohammad Dzikron, Us}u>l
Al-Syi>’ah Ithna> asha>riyah Dalam Tafsir Al-Mizan Karya
T{aba>y{aba>’I,
7.
[59] Ahmad Baidowi, Mengenal
T{aba>t}aba>’I, 49.
[60] Muh{ammad H{usain
T{aba>t}aba>’i@, Inilah Islam: Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam
Secara Mudah, 113
[61] T{aba>t}aba>’i@, al-Mi@za>n,
juz 16, 309
[62] Al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi,
Kita>b al-Mana>qib, ba>b al-mana>qib ahl bait. Menurut
beliau, hadis ini berstatus hasan gharib, dan Ahmad ibn Hanbal dalam musnad Abi
Said al-Khudri. Muslim dalam Sahihnya juga meriwayatkan hal yang sama, namun
dengan redaksi yang agak berbeda.
[63] Muh}ammad H{usain
T{aba>t{aba>’i@, Inilah Islam:Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam
Secara Mudah, 115-116
[64] Zeid B Smeer, Kredibilitas
Kritik Nashir al-Qifari Terhadap Hadis-Hadis Syi’ah Imamiyah (Jakarta:
Arifa Publishing, 2011) 151-152
maksih makalahnya,,,semoga bermanfaat
BalasHapus