Pages - Menu

BERITA

Senin, 30 Juni 2025

STIQ Ar-Rahman Gelar Studium Generale: Melawan Fitnah Rasionalisme Ekstrem di Tengah Revolusi AI

Bogor- Di tengah gelombang pesat perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI), Kampus Tadabbur Qur’an STIQ Ar-Rahman Bogor menggelar Studium Generale bertajuk “Melawan Fitnah Rasionalisme Ekstrem di Tengah Revolusi AI”, Senin (30/6/25). Kegiatan ini sekaligus menjadi penutup rangkaian Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) Semester Genap Tahun Akademik 2024/2025.

Acara yang diselenggarakan di Aula KHBN STIQ Ar-Rahman ini menghadirkan KH. Bachtiar Nasir, Lc., M.M., sebagai narasumber. Turut hadir dalam acara tersebut jajaran pimpinan kampus dan yayasan, antara lain Ketua Yayasan Pusat Peradaban Islam, Buya Iswahyudi Mukhlis, Lc., M.A., Ketua STIQ Ar-Rahman, Dr. Haris Renaldi, M.Pd., para ketua unit AQL Islamic Center, dosen, tenaga kependidikan, dan seluruh mahasiswa.

Dalam sambutannya, Dr. Haris Renaldi menyampaikan apresiasi dan rasa terima kasih yang mendalam atas kehadiran KH. Bachtiar Nasir untuk menyampaikan materi yang sangat relevan dengan tantangan zaman.

“Tema ini sangat penting, khususnya bagi para mahasiswa yang sebentar lagi akan kembali ke masyarakat. Mereka perlu dibekali dengan wawasan kritis dan spiritual untuk menghadapi derasnya arus perkembangan teknologi dan pemikiran kontemporer,” ungkapnya.

Sementara itu Ketua Yayasan Pusat Peradaban Islam, Buya Iswahyudi menegaskan bahwa penguasaan teknologi, terutama AI, adalah sebuah keniscayaan yang harus dimiliki oleh generasi muda Muslim. Ia mengajak mahasiswa untuk tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga aktor yang mampu menentukan arah dan nilai dari perkembangan teknologi itu sendiri.

“Saya berharap kepada mahasiswa dan mahasiswi, jadikan ilmu yang diperoleh hari ini sebagai bekal yang sangat berharga untuk dikembangkan di masa depan. Seperti yang sering disampaikan gurunda kita bahwa ke depan yang dibutuhkan adalah da’i-da’i yang tidak hanya menguasai ilmu agama, tapi juga menguasai teknologi,” tegasnya.

KH. Bachtiar Nasir membuka pemaparannya dengan menyampaikan bahwa fenomena AI hari ini sejatinya mirip dengan tantangan para ilmuwan muslim di masa lalu saat menghadapi gelombang renaisans filsafat Barat.

“AI masa lalu kira-kira begitu, bedanya zaman dulu pikiran orang-orang hebat dituangkan dalam buku, sementara zaman sekarang dituangkan dalam bentuk visual,” ungkap beliau.

Menurut UBN, sapaan akrab beliau, AI bisa menjadi alat yang luar biasa untuk mempercepat akses ilmu dan keterampilan. Namun, pada saat yang sama, AI juga menyimpan potensi bahaya besar jika tidak disikapi dengan bijak.

“AI bukan menggantikan pekerjaan manusia, tapi orang yang menguasai AI lah yang akan menggantikan manusia yang tidak menguasainya. Karena AI mendemokratisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, siapa saja bisa menjadi hebat asal tahu cara menggunakannya,” jelasnya.

Lebih lanjut, UBN menyoroti bahaya rasionalisme ekstrem, yaitu ketika manusia menjadikan akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran, mengesampingkan nilai-nilai spiritual, dan menyerahkan penilaian moral kepada mesin.

“Inilah krisis makna. Ketika algoritma mulai diberi wewenang untuk menilai benar-salah, manusia kehilangan otonomi moralnya,” ujar beliau.

Sebagai solusi, beliau menawarkan tiga strategi utama dalam menyikapi AI secara Islami dan proporsional: pertama, Literasi Teknologi, yaitu memahami cara kerja AI agar tidak terjebak pada mitos netralitas. Kedua, Etika Islam, yaitu menilai penggunaan AI berdasarkan prinsip kemaslahatan dan nilai-nilai syariat. Ketiga, Integrasi Iman dan Akal, yaitu menjadikan AI sebagai alat, bukan sebagai “tuhan baru” dalam kehidupan manusia.

Studium Generale ini menjadi momentum strategis bagi STIQ Ar-Rahman dalam menyiapkan kader-kader da’i Qur’ani yang tidak hanya kuat dalam ilmu keislaman, tetapi juga tangguh dalam menghadapi era digital. Dengan semangat tadabbur Al-Qur’an dan wawasan keilmuan yang luas, kampus ini berkomitmen melahirkan generasi pendakwah yang mampu menjembatani nilai-nilai wahyu dan teknologi demi kemaslahatan umat dan peradaban Islam yang berkelanjutan. (Hidayati)

 


Minggu, 29 Juni 2025

“Langkah Kecil Menuju Gerbang Besar: Sebuah Kisah Anak Kampung Sekolah ke Gontor”

Kalau hari ini orang memanggilku “ustadzah”, itu semua berawal dari satu tekad sederhana yang dulu kutanam saat masih duduk di bangku SMP: ingin belajar di Gontor.

Aku lahir dan besar di Bukittinggi, Sumatera Barat. Gontor bagi ku waktu itu adalah impian yang jauh. Bukan hanya karena jaraknya ribuan kilometer dari rumah, tapi juga karena keadaan ekonomi yang pas-pasan. Tapi entah mengapa, aku begitu yakin: kalau niat ini karena Allah, pasti Allah bantu jalannya.

Berbekal uang lima ratus ribu dan restu kedua orang tua, aku menempuh perjalanan panjang tanpa didampingi keluarga. Tiga hari tiga malam naik Bus Handoyo menuju Pulau Jawa. Letih? Tentu. Tapi semua kelelahan itu lenyap saat bus berhenti tepat di depan gerbang bertuliskan: “Gontor Putri.” Aku menatapnya lekat-lekat, nyaris tak percaya. Impian yang dulu kutulis dalam hati kini berdiri nyata di hadapan mata.

Saat proses pendaftaran, aku sadar, uang yang kubawa tak cukup untuk biaya masuk yang saat itu sekitar 2 juta. Aku hanya diam. Tapi di tengah kegundahan itu, Allah kirimkan pertolongan melalui seorang ustadzah yang belum kukenal pada waktu itu. Ia menawarkan bantuan, bahkan menemaniku membeli perlengkapan asrama. Dari beliau aku belajar makna keikhlasan, bagaimana menolong tanpa melihat siapa, menyentuh hati tanpa banyak kata.

Di Gontor, aku bukan siapa-siapa. Anak kampung yang masih canggung dan jauh dari keluarga. Tapi di sinilah aku menemukan keluarga baru, ustadzah-ustadzah hebat yang melihat potensi di balik diamku. Mereka mendorongku ikut ujian loncatan ke kelas 3 Intensif. Aku sempat ragu. Tapi mereka yakin, dan keyakinan itu menular.

Jarrib wa laahizh, takun ‘arifan,” pesan mereka. “Cobalah, dan kamu akan tahu.”

Aku mencoba, dan Alhamdulillah lulus. Aku bersyukur bisa lulus ujian akselerasi. Perjalanan yang seharusnya kutempuh selama 4 tahun, akan kuselesaikan dalam waktu 3 tahun. Bukan hanya soal waktu, tapi ini juga berarti mengurangi beban biaya sekolah dan biaya hidup satu tahun lebih ringan. ini bukan sekadar prestasi tapi anugerah yang luar biasa. Setiap langkah lebih cepat bukan hanya membawa kebanggaan, tapi juga harapan bagi keluarga.

Aku bergabung dengan teman-teman marhalah (angkatan) Raziev Reynezhwa, sebuah fase yang mulai mengubah hidupku menjadi lebih dewasa dan lebih baik. Meskipun selama menjadi santriwati Gontor, aku cendrung agak pendiam. Namun ada satu pesan yang sampai hari ini tak pernah hilang dari ingatanku. Pimpinan pondok KH. Hidayatullah Zarkasyi berkata,

“Kalau belum bisa jadi pemain, jadilah penonton yang baik. Karena semua yang kamu lihat, dengar, dan rasakan di pondok akan menjadi pelajaran yang tak ternilai saat kamu keluar nanti.”

Alhamdulillah nilai-nilai gontory banyak melekat dalam hidupku. Hari ini aku berdiri sebagai pendidik, di rumah, di kampus, di masyarakat, di mana pun Allah tempatkan. Tapi sesungguhnya, bagian terbaik dari semua itu adalah…aku pernah menjadi santriwati Gontor. Pernah mencium udara Subuh di masjid Gontor. Pernah berdiri dalam barisan pagi di depan rayon. Pernah belajar di bawah langit malam. Pernah menangis, tertawa, dan tumbuh dalam suasana ukhuwah yang tulus.

Terima kasih, Gontor.

Karena bersamamu, aku belajar banyak hal.

 

Kampus Tadabbur Qur’an STIQ Ar-Rahman Gelar Nobar Film Hayya 3 Gaza di Plasa Cibubur

Bogor, 13 Juni 2025 – Sebagai bentuk solidaritas terhadap perjuangan rakyat Palestina, Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an (STIQ) Ar-Rahman Bogor menggelar kegiatan nonton bareng (nobar) film Hayya 3 Gaza pada Kamis, 12 Juni 2025 di Bioskop Plasa Cibubur. Kegiatan ini diikuti oleh seluruh civitas akademika STIQ, mulai dari mahasiswa, dosen, hingga tenaga kependidikan.

Film Hayya 3 Gaza merupakan bagian ketiga dari trilogi Hayya, yang dikenal luas sebagai film religi bertema kemanusiaan. Seri ini secara konsisten menampilkan kisah perjuangan dan penderitaan rakyat Palestina di tengah konflik yang tak kunjung usai. Lebih dari sekadar hiburan, film ini menyentuh sisi emosional dan spiritual penonton.

Ketua STIQ Ar-Rahman, Dr. Haris Renaldi, M.Pd, menyampaikan bahwa nobar ini bukan hanya ajang apresiasi film, tetapi juga bentuk nyata dari edukasi dan aksi kepedulian.

Film Hayya 3 sangat mengedukasi, menggerakkan hati, dan memberi pengalaman sinematik yang utuh. Saya mengajak seluruh pimpinan perguruan tinggi untuk mengajak civitas akademikanya menonton dan mendukung film ini sebagai wujud cinta pada Palestina,” ujarnya.

Menariknya, sebanyak 40 persen dari hasil penjualan tiket film ini disumbangkan langsung untuk rakyat Palestina. Dr. Haris menegaskan bahwa setiap penonton turut serta dalam aksi nyata melalui tiket yang mereka beli.

Satu tiket adalah satu bukti nyata dukungan kita untuk Palestina. Ini bukan sekadar menonton, tapi bentuk kontribusi dan kepedulian kita terhadap saudara-saudara di Gaza,” tegasnya.

Kegiatan ini disambut antusias oleh mahasiswa STIQ Ar-Rahman. Salah satunya, Abdul Halim, mengatakan bahwa film tersebut memberinya pemahaman yang lebih mendalam tentang situasi kemanusiaan di Palestina.

Film ini kental dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kami jadi lebih memahami bagaimana perjuangan dan penderitaan rakyat Palestina yang sesungguhnya. Film ini juga mengajak kita untuk terus memperkuat dukungan kepada saudara kita di Palestina,” ungkapnya.

Melalui kegiatan ini, STIQ Ar-Rahman menunjukkan bahwa institusi pendidikan tidak hanya berperan dalam proses belajar-mengajar, tetapi juga aktif menyuarakan keadilan dan kemanusiaan. Film ini menjadi medium reflektif yang membuka ruang empati dan aksi nyata bagi para akademisi dan generasi muda. Nonton film Hayya 3 Gaza bisa jadi bentuk kepedulian yang sederhana, tapi bermakna besar. (Hidayati)

 

Menjadi Ulama Hadis di Era Digital: Sepenggal Kisah PKU 2 MUI Kab. Bekasi

Siapa sangka, di tengah hiruk-pikuk zaman digital, masih ada ruang untuk mencintai dan menghidupkan sabda Rasulullah Saw dengan cara yang relevan dan membumi. Saya sendiri tak pernah membayangkan bahwa kecintaan terhadap hadis akan membawa saya pada perjalanan yang begitu bermakna, menjadi bagian dari generasi baru ahli hadis berbasis digital.

Semuanya bermula ketika saya menemukan informasi tentang Pendidikan Kader Ulama (PKU) yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bekasi. Program ini menawarkan pendekatan yang unik, yaitu menggabungkan pendalaman ilmu hadis dengan kemampuan teknologi. Seolah menjawab keresahan saya selama ini bagaimana menyampaikan ilmu yang agung di tengah perkembangan teknologi yang semakin canggih?

Awalnya ragu, tapi Allah Swt menuntun saya.

Proses pendaftaran dan tes masuk tidak lah mudah. Ada ujian CBT yang mencakup wawasan kebangsaan dan moderasi beragama, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, kebekasian, ilmu hadis, dan Teknologi Informasi. Ada wawancara juga yang terdiri dari BTQ, Moderasi Beragama, Bahasa Arab dan Inggris, serta membaca kitab kuning. Dalam hati, saya sempat ragu. Apakah saya mampu? Apakah ini jalanku?

Namun keyakinan saya bertambah setiap kali berdoa. Saya percaya, jika niatnya benar, Allah akan bukakan jalan. Dan benar saja, ketika hasil diumumkan, saya dinyatakan lulus, bahkan meraih peringkat teratas. Alhamdulillah. Bukan karena saya hebat, tapi karena saya tahu ini adalah panggilan dari-Nya, panggilan untuk belajar, berkembang, dan menyampaikan warisan Nabi dengan cara yang lebih dekat dengan zaman ini.

Selama enam bulan masa pendidikan, kami sebanyak 40 mahasantri dibimbing oleh para dosen dan kiyai yang ahli di bidangnya. Kami belajar ilmu hadis dengan mendalam, musthalah hadis, sanad, matan, takhrij hadis, kritik hadis, living hadis, digitalisasi hadis, fiqhul hadis, dan lain-lain. Jika dihitung mencapai 60 tema kajian hadis, yang terkadang membuat mahasantri menangis, karena tugas gak habis-habis.

Ada juga keilmuan lain yang kami dapatkan, seperti wawasan kebangsaan, moderasi beragama, wawasan kebekasian, komunikasi dakwah, ilmu tasawuf, metodologi penelitian, dan teknologi informasi.

Kami juga belajar bagaimana membuat infografis, merekam, mengedit video, bahkan merancang platform digital untuk penyebaran hadisRasanya seperti menjadi santri sekaligus kreator konten. Tapi bukan untuk mengejar popularitas melainkan untuk menghidupkan hadis Nabi dalam format yang bisa menyentuh banyak orang.

Yang membuat perjalanan ini semakin berkesan adalah dukungan dari para peserta lainnya. Kami datang dari latar belakang berbeda, ada ustadz muda, ada guru sekolah, ada guru ngaji, ada dosen, dan ada juga yang bekerja di pemerintahan, tapi semangat kami satu, menyebarkan cahaya hadis ke seluruh penjuru negeri, khususnya kabupaten Bekasi.

Ada yang lebih membahagiakan lagi, di PKU MUI Kab Bekasi ini kami difasilitasi pula dengan perangkat digital berupa laptop baru, dukungan finansial berupa uang saku, serta konsumsi dari sarapan, makan siang, dan coffebreak. Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan. Itu semua sebagai bentuk nyata dukungan MUI dan Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk melangkah di jalan dakwah berbasis digital. Di sinilah saya sadar, ketika niat menuntut ilmu dijaga, Allah kirimkan jalan beserta segala kemudahannya.


Kini, setelah pendidikan selesai, saya merasa memikul tanggung jawab besar. Ilmu ini tidak boleh berhenti pada diri saya. Ia harus terus mengalir melalui media sosial, kelas online, artikel, video, hingga dakwah luring. Saya percaya, menjadi ahli hadis di era digital bukan berarti mengorbankan tradisi, tapi justru menghidupkan warisan Nabi dalam wajah yang bisa dirangkul generasi kini.

Kepada sahabat-sahabat muslim yang sedang mencari arah dan ruang kontribusi dalam dakwah, jangan ragu untuk melangkah. Dunia digital bukan penghalang, justru ia adalah lahan dakwah yang luas jika kita mampu mengelolanya dengan ilmu dan adab.

Semoga semakin banyak kader ulama yang lahir dari pesantren, perguruan tinggi, dan rumah-rumah sederhana yang siap menyampaikan sabda Nabi Saw ke seluruh penjuru bumi, melalui layar, suara, dan tulisan. Karena satu hadis yang dipahami dengan benar bisa menjadi cahaya yang menuntun hidup seseorang.

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

"Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga." (HR Imam Muslim)

 -Hiday-