Acara yang diselenggarakan di Aula KHBN STIQ Ar-Rahman ini menghadirkan
KH. Bachtiar Nasir, Lc., M.M., sebagai narasumber. Turut hadir dalam acara
tersebut jajaran pimpinan kampus dan yayasan, antara lain Ketua Yayasan Pusat
Peradaban Islam, Buya Iswahyudi Mukhlis, Lc., M.A., Ketua STIQ Ar-Rahman, Dr.
Haris Renaldi, M.Pd., para ketua unit AQL Islamic Center, dosen, tenaga
kependidikan, dan seluruh mahasiswa.
Dalam sambutannya, Dr. Haris Renaldi menyampaikan apresiasi dan rasa
terima kasih yang mendalam atas kehadiran KH. Bachtiar Nasir untuk menyampaikan
materi yang sangat relevan dengan tantangan zaman.
“Tema ini
sangat penting, khususnya bagi para mahasiswa yang sebentar lagi akan kembali
ke masyarakat. Mereka perlu dibekali dengan wawasan kritis dan spiritual untuk
menghadapi derasnya arus perkembangan teknologi dan pemikiran kontemporer,”
ungkapnya.
Sementara itu Ketua
Yayasan Pusat Peradaban Islam, Buya Iswahyudi menegaskan bahwa penguasaan teknologi,
terutama AI, adalah sebuah keniscayaan yang harus dimiliki oleh generasi muda
Muslim. Ia mengajak mahasiswa untuk tidak hanya menjadi konsumen teknologi,
tetapi juga aktor yang mampu menentukan arah dan nilai dari perkembangan
teknologi itu sendiri.
“Saya
berharap kepada mahasiswa dan mahasiswi, jadikan ilmu yang diperoleh hari ini
sebagai bekal yang sangat berharga untuk dikembangkan di masa depan. Seperti
yang sering disampaikan gurunda kita bahwa ke depan yang dibutuhkan adalah
da’i-da’i yang tidak hanya menguasai ilmu agama, tapi juga menguasai teknologi,”
tegasnya.
KH. Bachtiar Nasir membuka pemaparannya dengan menyampaikan bahwa
fenomena AI hari ini sejatinya mirip dengan tantangan para ilmuwan muslim di
masa lalu saat menghadapi gelombang renaisans filsafat Barat.
“AI masa lalu
kira-kira begitu, bedanya zaman dulu pikiran orang-orang hebat dituangkan dalam
buku, sementara zaman sekarang dituangkan dalam bentuk visual,” ungkap
beliau.
Menurut UBN, sapaan
akrab beliau, AI bisa menjadi alat yang luar biasa untuk mempercepat akses ilmu
dan keterampilan. Namun, pada saat yang sama, AI juga menyimpan potensi bahaya
besar jika tidak disikapi dengan bijak.
“AI bukan
menggantikan pekerjaan manusia, tapi orang yang menguasai AI lah yang akan
menggantikan manusia yang tidak menguasainya. Karena AI mendemokratisasi ilmu pengetahuan
dan teknologi, siapa saja bisa menjadi hebat asal tahu cara menggunakannya,”
jelasnya.
Lebih lanjut, UBN menyoroti bahaya rasionalisme ekstrem, yaitu ketika
manusia menjadikan akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran, mengesampingkan
nilai-nilai spiritual, dan menyerahkan penilaian moral kepada mesin.
“Inilah
krisis makna. Ketika algoritma mulai diberi wewenang untuk menilai benar-salah,
manusia kehilangan otonomi moralnya,” ujar beliau.
Sebagai solusi, beliau
menawarkan tiga strategi utama dalam menyikapi AI secara Islami dan
proporsional: pertama, Literasi Teknologi, yaitu memahami cara kerja AI
agar tidak terjebak pada mitos netralitas. Kedua, Etika Islam, yaitu menilai
penggunaan AI berdasarkan prinsip kemaslahatan dan nilai-nilai syariat. Ketiga,
Integrasi Iman dan Akal, yaitu menjadikan AI sebagai alat, bukan sebagai “tuhan
baru” dalam kehidupan manusia.
Studium Generale ini menjadi momentum strategis bagi STIQ Ar-Rahman dalam
menyiapkan kader-kader da’i Qur’ani yang tidak hanya kuat dalam ilmu keislaman,
tetapi juga tangguh dalam menghadapi era digital. Dengan semangat tadabbur
Al-Qur’an dan wawasan keilmuan yang luas, kampus ini berkomitmen melahirkan
generasi pendakwah yang mampu menjembatani nilai-nilai wahyu dan teknologi demi
kemaslahatan umat dan peradaban Islam yang berkelanjutan. (Hidayati)