Pages - Menu

BERITA

Minggu, 29 Juni 2025

“Langkah Kecil Menuju Gerbang Besar: Sebuah Kisah Anak Kampung Sekolah ke Gontor”

Kalau hari ini orang memanggilku “ustadzah”, itu semua berawal dari satu tekad sederhana yang dulu kutanam saat masih duduk di bangku SMP: ingin belajar di Gontor.

Aku lahir dan besar di Bukittinggi, Sumatera Barat. Gontor bagi ku waktu itu adalah impian yang jauh. Bukan hanya karena jaraknya ribuan kilometer dari rumah, tapi juga karena keadaan ekonomi yang pas-pasan. Tapi entah mengapa, aku begitu yakin: kalau niat ini karena Allah, pasti Allah bantu jalannya.

Berbekal uang lima ratus ribu dan restu kedua orang tua, aku menempuh perjalanan panjang tanpa didampingi keluarga. Tiga hari tiga malam naik Bus Handoyo menuju Pulau Jawa. Letih? Tentu. Tapi semua kelelahan itu lenyap saat bus berhenti tepat di depan gerbang bertuliskan: “Gontor Putri.” Aku menatapnya lekat-lekat, nyaris tak percaya. Impian yang dulu kutulis dalam hati kini berdiri nyata di hadapan mata.

Saat proses pendaftaran, aku sadar, uang yang kubawa tak cukup untuk biaya masuk yang saat itu sekitar 2 juta. Aku hanya diam. Tapi di tengah kegundahan itu, Allah kirimkan pertolongan melalui seorang ustadzah yang belum kukenal pada waktu itu. Ia menawarkan bantuan, bahkan menemaniku membeli perlengkapan asrama. Dari beliau aku belajar makna keikhlasan, bagaimana menolong tanpa melihat siapa, menyentuh hati tanpa banyak kata.

Di Gontor, aku bukan siapa-siapa. Anak kampung yang masih canggung dan jauh dari keluarga. Tapi di sinilah aku menemukan keluarga baru, ustadzah-ustadzah hebat yang melihat potensi di balik diamku. Mereka mendorongku ikut ujian loncatan ke kelas 3 Intensif. Aku sempat ragu. Tapi mereka yakin, dan keyakinan itu menular.

Jarrib wa laahizh, takun ‘arifan,” pesan mereka. “Cobalah, dan kamu akan tahu.”

Aku mencoba, dan Alhamdulillah lulus. Aku bersyukur bisa lulus ujian akselerasi. Perjalanan yang seharusnya kutempuh selama 4 tahun, akan kuselesaikan dalam waktu 3 tahun. Bukan hanya soal waktu, tapi ini juga berarti mengurangi beban biaya sekolah dan biaya hidup satu tahun lebih ringan. ini bukan sekadar prestasi tapi anugerah yang luar biasa. Setiap langkah lebih cepat bukan hanya membawa kebanggaan, tapi juga harapan bagi keluarga.

Aku bergabung dengan teman-teman marhalah (angkatan) Raziev Reynezhwa, sebuah fase yang mulai mengubah hidupku menjadi lebih dewasa dan lebih baik. Meskipun selama menjadi santriwati Gontor, aku cendrung agak pendiam. Namun ada satu pesan yang sampai hari ini tak pernah hilang dari ingatanku. Pimpinan pondok KH. Hidayatullah Zarkasyi berkata,

“Kalau belum bisa jadi pemain, jadilah penonton yang baik. Karena semua yang kamu lihat, dengar, dan rasakan di pondok akan menjadi pelajaran yang tak ternilai saat kamu keluar nanti.”

Alhamdulillah nilai-nilai gontory banyak melekat dalam hidupku. Hari ini aku berdiri sebagai pendidik, di rumah, di kampus, di masyarakat, di mana pun Allah tempatkan. Tapi sesungguhnya, bagian terbaik dari semua itu adalah…aku pernah menjadi santriwati Gontor. Pernah mencium udara Subuh di masjid Gontor. Pernah berdiri dalam barisan pagi di depan rayon. Pernah belajar di bawah langit malam. Pernah menangis, tertawa, dan tumbuh dalam suasana ukhuwah yang tulus.

Terima kasih, Gontor.

Karena bersamamu, aku belajar banyak hal.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar